Lilis Ummu Hafshah
#Wacana — Awal Juni 2025, media sosial dibuat gaduh dengan viralnya video promosi wisata religi yang disampaikan oleh seorang wanita dengan latar belakang Candi Borobudur. Di antara narasinya menyebutkan, "Kebudayaan kita tidak kurang tanah suci. Leluhur kita udah warisakan tanah suci. Biaya wisata religi terjangkau." "Orang-orang mah mau ke tanah suci kudu bayar puluhan juta, kadang sampai antre. Kita mah modal Rp1 juta udah bolak-balik," ujarnya. Ditambah lagi dengan menyebut umrah ke Pringgodani, Gunung Lawu, Candi Ceto, Candi Sukuh, Candi Borobudur sebagai tanah suci para leluhur.
Respon pun bermunculan, pro dan kontra terjadi, termasuk dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) bidang Dakwah dan Ukhuwah Amanah, K.H. Cholil Nafis yang mengatakan, "Ini kok istilahnya umrah ya, yang disuruh ngomong anak-anak. Mau wisata ke Borobudur atau ke sungai silakan suka-suka. Tapi juga jangan nyenggol agama lain yang puluhan juta umrah maupun yang antre haji ya suka-suka aja. Toh kita menganut bebas menjalankan ajaran agama masing-masing. Agama tidak boleh dijadikan bahan candaan, lawakan, dan humor untuk tontonan, karena itu bisa termasuk ke dalam kategori menodai agama," ujarnya (detik.com, 07/2025).
Dalam narasinya, meski tidak menyebutkan secara langsung agama Islam, tetapi dengan membandingkan peribadatan agama lain dan meminjam kata "umrah" ke berbagai candi sebagai tanah suci leluhur, jelas itu telah menyindir, memperolok, dan bahkan bisa masuk dalam penistaan agama Islam. Karena kata umrah melekat pada ibadah sucinya umat Islam, tidak pantas menyindir ibadah umrah dengan ibadah agama lain yang dalam pandangan Islam ibadah ke candi tu merupakan aktivitas kemusyrikan.
Mengapa berbagai kasus penistaan terhadap agama Islam di negeri yang mayoritas muslim ini terus berulang terjadi? Masalahnya adalah terletak pada tata aturan yang dipakai dalam berbangsa dan bernegara di negeri ini yang menggunakan sistem demokrasi, karena sistem ini dianggap sistem yang terbaik.
Demokrasi adalah produk Barat yang menafikan peran agama dalam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Tuhan hanya cukup diibadahi di gereja dalam urusan spiritual, terbatas pada urusan individu saja dan bukan dalam mengatur urusan sosial kemasyarakatan dan bernegara.
Ini adalah sekularisme yang menjiwai sistem demokrasi dan akibatnya lahirlah masyarakat yang berkarakter bebas. Apalagi demokrasi ditopang oleh empat pilar kebebasan, yaitu kebebasan beragama, berekspresi, berpendapat, dan bertingkah laku. Sehingga perilaku menebarkan berita hoax, bohong, sindiran seperti saat ini di dunia media sosial, bebas-bebas saja yang penting "viral" dan menguntungkan. Tanpa peduli apakah akan menyinggung nilai-nilai agama lain. Padahal ini bisa termasuk dalam melanggar sikap toleransi yang sedang digalakkan.
Sanksi hukum terhadap penistaan agama tidak tegas dan tidak menimbulkan efek jera, paling berat hanya dipenjara beberapa tahun saja, atau hanya sekedar memberi teguran. Dan herannya, ketika umat Islam merespon dan meminta adanya tindakan hukum secara tegas terhadap para pelaku penistaan agama, umat Islam malah sering dituduh sebagai umat yang gampang marah, intoleran, dan bahkan dicap radikal. Inilah gambaran buruknya sistem demokrasi yang tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap agama dan pemeluknya.
Sementara Islam dan syariatnya telah mengatur dan menjamin agama dan pemeluknya, sebagaimana yang terdapat di dalam Al-Qur'an, al-Hadis, dan juga dilanjutkan oleh para sahabat dan khalifah berikutnya. Allah subhanahu wa taala melarang untuk mencaci maki sesembahan selain Allah.
"Dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, Kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan tempat kembali mereka, lalu Dia akan memberitahukan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan." (TQS al-An'am: 108)
Tidak ada paksaan dalam Islam dan muslim bisa hidup berdampingan dengan agama lain. “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..…” (TQS al-Baqarah: 256) "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku." (TQS al-Kaafirun : 6)
Dalam Daulah Islam yang dipimpin oleh Rasululllah ﷺ ada kafir dzimmy yang tinggal di dalamnya—mereka bebas menjalankan agama sesuai keyakinannya, boleh bermuamalah ekonomi, mendapat jaminan kesejahteraan dan keamanan. Rasulullah ﷺ pernah menulis surat kepada penduduk Yaman, ”Siapa saja yang tetap memeluk agama Nasrani dan Yahudi, mereka tidak akan dipaksa untuk keluar dari agamanya,….” (HR Abu Ubaid)
Rasulullah ﷺ bersabda, “Saya berwasiat untuk khalifah sesudahku begini dan begitu. Saya juga berwasiat kepadanya untuk melakukan dzimmah (janji) Allah dan Rasul-Nya agar perjanjian dengan mereka ditunaikan, sehingga mereka berada di belakang (mendukung) ketika berperang dan agar tidak membebani mereka di luar kemampuan mereka.” (HR Bukhari)
Pada masa Khalifah Umar bin al-Khattab di tahun 636 M, Baitul Maqdis atau Yerusalem berhasil dibebaskan dengan damai tanpa pertumpahan darah. Tiga penganut agama samawi Islam, Kristen, dan Yahudi bisa hidup rukun berdampingan. Namun, di tahun 1099 M, Baitul Maqdis jatuh ke dalam kekuasaan Pasukan Salib. Baitul Maqdis baru dapat dikuasai kaum muslimin kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi (1137 M–1193 M) pada 1187 M. Shalahuddin mengizinkan tentara Salib untuk pergi meninggalkan Yerusalem dengan damai dan bersumpah tidak akan menyakiti satu pun dari mereka. Bahkan, ia memerintahkan pasukannya untuk mengawal tentara Salib.
William Monahan dan Ridley Scott sampai mendokumentasikan percakapan Shalahuddin dalam film Kingdom of Heaven. Dalam percakapan tersebut, Shalahuddin berkata, “Saya akan memberikan jaminan keamanan tiap nyawa menuju wilayah Kristen. Setiap orang, wanita, anak-anak, orang tua, semua tentara, dan ratumu. Rajamu, aku serahkan padamu dan bagaimana kehendak Tuhan atasnya. Tidak ada yang akan disakiti, aku bersumpah pada Tuhan.”
Balian de Ibelin, pemimpin pengganti Yerusalem kagum dan menjawab, “Tentara Salib membantai semua orang ketika mereka menaklukkan kota ini.” Shalahuddin menjawab “Aku bukan orang yang seperti itu, aku Shalahuddin.” Terbukti tidak ada darah yang tertumpah, tidak ada rumah ibadah yang hancur, dan penganut agama lain tetap diberikan kebebasan untuk berziarah.
Begitupun juga yang terjadi saat Muhammad al-Fatih (1432 M–1481 M) yang berhasil menaklukkan Konstantinopel pada tahun 1453 M. Al-Fatih telah menunjukkan sikap toleransi dengan memberikan kebebasan beragama kepada penduduk Konstantinopel, termasuk mereka yang beragama Kristen Ortodoks dan Yahudi. Hal ini diakui oleh seorang orientalis dan sejarawan seni rupa Islam asal Inggris T.W. Arnold (1864–1930) dalam The Preaching of Islam, yang menyatakan bahwa “Ketika Konstantinopel kemudian dibuka oleh keadilan Islam, pada tahun 1453 Sultan Muhammad II menyatakan dirinya sebagai pelindung Gereja Yunani. Penindasan pada kaum Kristen dilarang keras dan untuk itu dikeluarkan sebuah dekrit yang memerintahkan penjagaan keamanan pada Uskup Agung yang baru terpilih, Gennadios, beserta seluruh uskup dan penerusnya. Hal yang tidak pernah didapatkan dari penguasa sebelumnya. Gennadios diberi staf keuskupan oleh Sultan Muhammad II memberikan Gennadios staf keuskupan. Sang Uskup juga berhak meminta perhatian pemerintah dan keputusan Sultan untuk menyikapi para gubernur yang tidak adil.”
Demikianlah keagungan syariat Islam yang jika diterapkan dalam kehidupan, berbangsa, dan bernegara maka akan mampu menciptakan kedamaian, keadilan, dan kesejahteraan. Fakta sejarah telah membuktikannya selama 14 abad lamanya. Syariat Islam yang datang dari Pencipta manusia, Allah subhanahu wa taala adalah yang paling layak untuk membuat seperangkat aturan hukum. Sementara demokrasi melahirkan seperangkat hukum yang dibuat oleh manusia yang lemah, tidak ada aspek spiritualitas di dalamnya dan mengabaikan nilai-nilai agama. Penetapan hukum berdasarkan suara terbanyak yang datang dari parlemen karena suara rakyat itu adalah suara Tuhan.
Karenanya, sudah saatnya kita menyadari untuk kembali diatur oleh syariat Islam yang kafah, memperjuangkan dan mendakwahkannya secara berjemaah.
وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلَا مُؤْمِنَةٍ اِذَا قَضَى اللّٰهُ وَرَسُوْلُهٗٓ اَمْرًا اَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ اَمْرِهِمْ ۗوَمَنْ يَّعْصِ اللّٰهَ وَرَسُوْلَهٗ فَقَدْ ضَلَّ ضَلٰلًا مُّبِيْنًاۗ
"Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata." Wallahualam.[]
0 Komentar