Jabodetabek Berkabut, Paru-paru Kita Aman?

 


Karina Fitriani Fatimah 


#TelaahUtama — Julukan ‘Bekaswiss’ akhir-akhir ini viral di media sosial menyusul fenomena Bekasi yang tampak berkabut. Kondisi serupa juga terjadi di area Jakarta pada akhir Juni lalu hingga awal Juli 2025. Beberapa warganet menganggap fenomena ini terjadi karena curah hujan tinggi dan hawa sejuk yang menyelimuti ibu kota. Namun, tidak sedikit yang menyangsikan dan kemudian menilai kondisi ini terjadi justru karena Jakarta serta area sekitarnya ditutupi polusi tebal. 


Menanggapi fenomena Jabodetabek berkabut, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebut kabut yang terlihat oleh warga di area Jabodetabek terjadi karena cuaca dingin dan kelembapan udara yang tinggi. Suhu udara terpantau lebih rendah dari biasanya terutama pada malam hingga dini hari. Kota Baru Cikampek di Bekasi dan Jakarta Utara misalnya mencapai suhu 23,1°C, sedangkan Jakarta Timur 23,3°C dan Depok 22,1°C (bbc.com, 01/07/2025). Dari sini pihak BMKG menilai pemicu utama kabut adalah curah hujan yang persisten dan tutupan awan tebal. 


Di sisi lain, Nafas Indonesia perusahaan aplikasi untuk solusi kualitas udara menilai kabut yang dilihat warga pada akhir Juni lalu mengandung polusi. Data yang diambil oleh jaringan sensor Nafas memperlihatkan kualitas udara Jabodetabek sejak Mei 2025 hingga akhir Juni 2025 cenderung memburuk. Angka PM2.5, partikel polutan yang bisa masuk ke paru-paru, di beberapa wilayah di Jakarta sudah mencapai angka 150 dan bahkan menembus angka 160 di wilayah lainnya (cnbcindonesia.com, 01/07/2025).  


Kondisi kualitas udara yang buruk kemudian diperparah dengan kemarau basah yang menjadikan lapisan udara cenderung diam. Karena inversi suhu, lapisan udara dingin yang biasanya berada di lapisan atas awan justru berada di bawah dan memerangkap polutan yang berada di permukaan. Walhasil, polusi udara yang berasal dari kendaraan bermotor, limbah industri hingga pembakaran sampah warga tidak tersebar di atmosfer yang lebih tinggi, tetapi justru bertahan di sekitar permukaan. 


Kondisi curah hujan yang tinggi di area Jabodetabek dalam beberapa pekan ini memang berkontribusi atas munculnya kabut. Namun, tetap saja warga harus waspada akan bahaya polusi udara yang senantiasa mengintai Jakarta. Pasalnya, fenomena tebalnya polusi udara ibu kota sudah menjadi makanan sehari-hari bagi warga. Bahkan pada Senin (02/06) situs kualitas udara IQAir megklaim kualitas udara Jakarta menempati posisi kelima terburuk dunia dengan angka PM2.5 mencapai 140. Angka tersebut jelas menunjukkan kualitas udara Jakarta yang tidak baik-baik saja. Angka tersebut masuk ke dalam kategori tidak sehat khususnya bagi kelompok sensitif semisal pengidap asma ataupun gangguan pernapasan lainnya. 


Kondisi udara yang berpolusi adalah ‘lagu lama’ yang senantiasa berulang kali terjadi di area Jakarta dan sekitarnya. Berdasarkan data IQAir 2022, Indonesia menempati posisi 26 sebagai negara dengan polusi terburuk dunia. Namun, posisi tersebut ‘kalah pamor’ jika dibandingkan dengan Jakarta yang rajin ‘nongkrong’ di posisi 10 besar untuk kota paling berpolusi di dunia. Pada 10 Agustus 2023 misalnya, kualitas udara buruk Jakarta menempatkan kota tersebut sebagai kota dengan udara terkotor nomor satu di dunia (cnbcindonesia.com, 10/08/2023). 


Fenomena Jakarta ‘berkabut’ bukanlah sekedar permasalahan musim atau cuaca ekstrem, melainkan cerminan buruknya tata kelola emisi. Masalah polusi udara yang senantiasa membayangi warga Jakarta merupakan masalah struktural ekonomi kapitalis yang menjunjung tinggi pertumbuhan ekonomi tetapi mengenyampingkan aspek kesehatan dan lingkungan. Di sisi lain, lemahnya penegakan hukum terkait regulasi emisi khususnya untuk wilayah perkotaan menjadi faktor penunjang sulitnya warga Jakarta untuk keluar dari ‘kubangan’ polusi udara. 


Sejauh ini terdapat 3 PLTU (Pembangkit Listrik Tenaga Uap) yang beroperasi di area Jabodetabek yakni PLTU Suryalaya, PLTU Banten dan PLTU Lontar. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan mengklaim ketiga PLTU tersebut sudah menerapkan teknologi Electrostatic System Precipitator (ESP) yang membantu mengendalikan abu hasil proses pembakaran dan menjaring partikel polutan PM2,5. Namun, bagaimana dengan sektor industri lainnya? Apakah para penggerak industri yang membangun pabriknya di Jabodetabek menerapkan teknologi serupa? Sayangnya, hingga detik ini belum ada laporan transparan terkait pengolahan limbah industri terutama pengelolaan asap hasil pembakaran industri. 


Pada akhir 2023 lalu, Dinas Lingkungan Hidup pernah menunjuk 48 industri yang teridentifikasi sebagai penyumbang polusi udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Namun, tampaknya hingga kini belum ada langkah konkret pemerintah untuk menindak lebih lanjut para pengusaha ‘nakal’ yang malas mengelola limbah industri dengan benar. Sebut saja kasus pelaporan pengolahan batubara di wilayah Marunda, Cakung dan Karawang Baru yang diprotes para pegiat lingkungan justru baru direspon oleh Kemeterian Lingkungan Hidup empat tahun kemudian (bbc.com, 25/08/2023). 


Penguasa terlihat jelas tidak memandang masalah polusi udara sebagai prioritas utamanya. Apalagi untuk polusi udara yang terkait dengan industri, pemerintah cenderung lamban bergerak dan hanya bereaksi tatkala sudah ada banyak keluhan yang datang dari masyarakat. Maka dari itu wajar jika kita menilai bahwa penguasa berat sebelah terhadap pengusaha. Kepentingan korporasi lebih utama ketimbang kepentingan rakyat banyak, sekalipun harus mengorbankan kesehatan masyarakat. 


Tidak hanya limbah industri, tersangka utama lainnya yang menyebabkan kualitas udara super buruk Jakarta tidak lain adalah asap kendaraan bermotor. Badan Pusat Statistik menyebut jumlah kendaraan bermotor di Jakarta terus meningkat dari tahun ke tahun. Per 5 Mei 2024 total kendaraan di wilayah tersebut sudah mencapai 24,3 juta atau sekitar 15.04% dari total kendaraan di seluruh Indonesia (kompas.com, 06/05/2024). Padahal pertumbuhan jalan ibu kota hanya berkisar 0,01%. Pertumbuhan jumlah kendaraan yang tidak dibarengi dengan pertumbuhan jalan Jakarta membuat kota metropolitan tersebut senantiasa mengalami lonjakan kepadatan yang berujung pada kemacetan. 


Sekalipun sudah ada upaya pengurangan polusi udara seperti pemberlakuan zona rendah emisi di area vital semisal sekolah dan rumah sakit ataupun kewajiban uji emisi bagi pemilik kendaraan bermotor, tampaknya tidak banyak berdampak pada pengurangan polusi. Pasalnya pemerintah secara nyata masih berpihak pada industri otomatif dengan segala kemudahannya dalam ‘menggaet’ konsumen semisal dengan suku bunga pinjaman rendah ataupun syarat-syarat kepemilikan kendaraan bermotor yang mudah. Dari sini pemerintah bukannya membatasi jumlah kendaraan bermotor tetapi justru mendorong pertumbuhannya dengan dalih mendorong perekonomian rakyat. 


Upaya lain yang dilakukan pemerintah untuk mengurangi polusi seperti dengan pemberlakuan ganjil-genap di jalan-jalan utama Jakarta, justru menemui jalan buntu. Kebijakan tersebut celakanya dijadikan alasan bagi banyak pihak untuk memiliki kendaraan lebih dari satu untuk memenuhi kebutuhan mobilitas warga. Imbauan Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta bagi Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menaiki transportasi umum setiap hari Rabu yang tertuang dalam Instruksi Gubernur DKI Jakarta No. 6/2025 juga belum banyak membuahkan hasil. 


Dari sini kian jelas terlihat bagaimana sistem kapitalisme yang menjadi primadona ekonomi negeri telah menjadikan penguasa lebih mengedepankan kepentingan cuan di atas kepentingan rakyat. Sekalipun telah nyata bahaya yang mengintai warga akibat dari kualitas buruk udara Jakarta, tidak kemudian serta-merta menggerakkan hati pemimpin negeri ini untuk lebih serius dalam menangani polusi udara. Pemerintah justru sibuk merangkul para cuan sebagaimana kebijakan dalam industri otomotif yang justru kian memudahkan rakyat untuk memiliki kendaraan bermotor. Demikian pula dengan pengelolaan limbah industri yang serampangan, justru tidak banyak diperhatikan oleh pemerintah. Dengan dalih ekonomi, penguasa tetap membiarkan asap-asap industri mengisi langit Jakarta. Maka dari itu, sistem ekonomi kapitalis telah benar-benar menutup jalan bagi Jakarta untuk terbebas dari polusi udara. Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar