Sekitar Jakarta Diselimuti Kabut, karena Hujan atau Polusi?

 



Hanin Syahidah 



#CatatanRedaksi — Beberapa waktu yang lalu muncul kabut di Bekasi, Depok, dan sekitarnya. Fenomena yang cukup ramai diunggah di X membuat respon beragam, sebagian warganet menyampaikan bahwa kabut di sekitar Jakarta karena polusi bahkan salah satu penduduk Bekasi menyampaikan bahwa tidak bisa dibedakan apa yang terjadi karena cuaca atau karena polusi, tapi memang polusi adalah hari-hari hidup penduduk Bekasi. Meskipun beberapa hari wilayah jakarta dan sekitarnya, waktu itu suhunya cukup dingin seperti di puncak. Ada beberapa  pendapat yang menyampaikan asal kabut tersebut seperti dilansir BBC.com (01/07/2025), menyampaikan bahwa Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyatakan kabut di sebagian wilayah di Jabodetabek disebabkan cuaca yang lebih dingin dari biasanya serta kelembapan udara.



Berdasarkan data BMKG, suhu udara di Jabodetabek lebih rendah dari kondisi normal "terutama pada malam hingga dini hari", menurut Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Ida Pramuwardhani. Beberapa wilayah seperti Kota Baru Cikampek di Bekasi dan Jakarta Utara tercatat mencapai 23,1°C, sementara Jakarta Timur 23,3°C, dan Depok 22,1°C.



Menurut Ida, curah hujan yang persisten dan tutupan awan tebal menjadi pemicu utama kabut. "Pada dasarnya, jika kabut terjadi pada periode yang masih banyak kejadian hujan seperti sekarang ini, hampir dapat dipastikan bahwa kabut tersebut bukan disebabkan oleh polusi," tutur Koordinator Bidang Analisis Variabilitas Iklim BMKG, Supari, dalam pernyataan kepada BBC News Indonesia.



Polemik di media sosial mengenai penyebab kabut tipis mencerminkan keresahan masyarakat atas isu polusi yang tidak kunjung usai. Hal itu dipaparkan Syahroni Fadhil, Divisi Advokasi Walhi Jakarta, kepada BBC News Indonesia. "Polemik di media sosial mengenai penyebab kabut tipis mencerminkan keresahan masyarakat atas isu polusi yang tidak kunjung usai. Memang terlalu dini untuk mengatakan apakah kabut ini disebabkan polusi atau tidak," ujar Syahroni. "Tapi di sisi lain, Jabodetabek sudah punya catatan yang sangat berat berkaitan dengan polusi udara."



Menurut Syahroni, meski kabut tipis kemungkinan disebabkan gejala alam, buruknya kualitas udara di Jabodetabek adalah fakta yang tidak terhindarkan. Dengan begitu, sambung dia, masyarakat yang langsung menuding polusi sebagai penyebab kabut "tidak bisa disalahkan". "Polemik yang terjadi murni menunjukkan ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, khususnya untuk menangani polusi udara di Jabodetabek," tegas Syahroni.



Jadi sangat wajar distrust ini muncul. Meskipun sudah jelas masalah polusi udara ini terjadi karena sumbangan dari berbagai penjuru Jabodetabek termasuk juga kawasan industri dan pembangkit listrik di beberapa lokasi di Jawa barat dan Banten, tetapi  belum ada langkah solutif untuk menanganinya, sehingga polusi menjadi "hal biasa" bagi masyarakat Jakarta dan sekitarnya, padahal penyakit pernafasan dan kardiovaskular terus menghantui warganya. Terlebih pengguna kendaraan bermotor terus meningkat dari tahun ke tahun, inilah penyumbang polusi terbesar di ibukota dan sekitarnya.



Hal ini tidak mengherankan terjadi apalagi Jakarta adalah pusat kegiatan ekonomi di Indonesia, bahkan digadang-gadang sekitar 70% aktivitas ekonomi Indonesia ada di Jakarta. Tentu berhubungan langsung dengan kota-kota penyangga disekitarnya. Bisa karena penduduk yang tinggal di Jakarta bekerja di kota sekitarnya, atau sebaliknya penduduk penyangga bekerja di Jakarta. Perputaran aktivitas yang menghasilkan polutan terus terjadi, ditambah aktivitas kawasan industri dan pembangkit listrik dengan berbahan bakar fosil. Harusnya ada solusi komprehensif dan holistik menangani hal ini, bukan hanya tambal sulam yang ujung-ujungnya memunculkan masalah baru. Contoh yang paling gampang adanya car free day di berbagai kota, alih-alih mengurangi polusi ternyata hanya mengalihkan polutan itu ke tempat sekitarnya, atau malah menjadi lapak dagang yang akhirnya terjadi penumpukan sampah di jalanan.



Maka, solusi perubahan fundamental harus diteliti demi perbaikan ke depan yang utuh dan menyeluruh termasuk bagaimana pemerataan pembangunan juga bisa terjadi di berbagai wilayah agar ada pembagian yang sesuai dan proporsional di setiap wilayah di  negeri ini. Sehingga tidak hanya terpusat  di Jakarta dan sekitarnya. Di samping itu juga, perlu ada perubahan paradigma bahwa pembangunan bukan melulu tentang uang dan keuntungan materi ala sistem kapitalisme-sekuler yang abai terhadap kelestarian lingkungan, melainkan lebih kepada apakah memang rakyat membutuhkan itu dan dipastikan memberi kesejahteraan bagi rakyat serta  ramah lingkungan bukan malah memunculkan bencana dan mudarat bagi rakyat. 



Perlu dipikirkan sistem alternatif yang lebih ramah lingkungan dan didasarkan kepada proporsi penciptaan manusia sebagai Khalifah di muka bumi yakni mengatur semua keseimbangan alam dengan aturan dari Allah Pencipta alam semesta. Sebagaimana Allah berfirman 


dalam Al-Qur'an Surah al-Araf ayat 56 yang artinya, "Dan janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah (diciptakan) dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat kepada orang yang berbuat kebaikan." Wallahualam bisawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar