Noer Layla
#Bekasi — Berlakunya
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) membawa
perubahan dalam tatanan aturan kepegawaian negara baik di pemerintahan pusat
dan daerah. Dalam UU tersebut Aparatur Sipil Negara (ASN) terdiri dari Pegawai
Negeri Sipil (PNS) dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kontrak atau
familiar dengan istilah P3K. Tindak lanjut dari Undang Undang ini adalah
mengharuskan tenaga honorer berstatus
menjadi P3K. Perubahan status dari
tenaga honorer menjadi P3K dimulai dengan diselenggarakannya seleksi P3K baik
di pusat atau di daerah. Seleksi ini diikuti oleh umum dan honorer yang telah
lama mengabdi/bekerja di instansi pemerintahan bukan secara otomatis menjadi
P3K.
Berdasarkan sumber dari
Radar Bekasi (11/06/2025) ribuan honorer yang telah mengikuti seleksi P3K baik
ditahap satu dan dua jumlahnya mencapai ribuan, tenaga honorer yang berhasil
lolos dan dilantik oleh Pemerintah Kota Bekasi sebanyak 7.969 orang, status
mereka adalah R3 karena mereka sudah masuk ke data base Badan kepegawaian
Negara (BKN). Di sisi lain, masih ada kurang lebih 3.000 orang belum lolos
seleksi P3K dan belum mendapat kejelasan status yang artinya belum
terdaftar di dalam database BKN, statusnya
disebut sebagai R4.
Ribuan tenaga honorer
terjebak pada kastanisasi “Kode R“ ini, honorer yang sudah lama mengabdi dan
kini sudah tua banyak yang berada di kode R4 tanpa L (tidak lulus). Sedangkan
regulasi yang sudah ada mengatur bahwa PPPK Paruh Waktu disediakan untuk
honorer database BKN. Terbayang bagaimana kegelisanan dan ketakutan yang mereka
alami.
Gelojak status honorer dan
P3K pun terjadi. Menciptakan jarak, kesenjangan, dan privilege dalam
kehidupan masyarakat. Status ini berdampak pada perbedaan besaran gaji, jenjang
karir, sistem pensiun dan tunjangan hari tua, hak cuti, dll..
Pada sisi lain, perubahan
status ini sangat erat dengan pembiayaan belanja pegawai serta biaya lainnya
baik di pusat atau daerah. Tenaga P3K
seolah menjadi alat politik, jargon untuk mengatasi pengangguran,
menciptakan lapangan pekerjaan, akan tetapi sekaligus menunjukkan adanya
kelemahan negara dalam mengatur pegawainya, mengelola SDA, dan keuangan negara.
Proses transformasi
honorer menjadi P3K juga sebagai “ujian” aparat pemerintah dalam membela
hak-hak pegawai dan rakyatnya. Korupsi, nepotisme, suap-menyuap dapat merubah
aturan yang mengakibatkan kegelisahan rakyat dalam hal ini status tenaga
honorer. Keputusan/kebijakan yang dapat
dinegosiasi ini tidak hanya terjadi pada kasus transformasi status honorer ke
P3K akan tetapi merata dan kompleks di
segala bidang peraturan kehidupan masyarakat dari hulu sampai hilir. Ini
menyebabkan kehidupan rakyat menjadi lebih sulit dan berkurangnya kepercayaan
terhadap pemerintah.
Dalam hal pengaturan
pengangkatan honorer menjadi P3K, bukankah negara berwenang untuk menetapkan atau mengganti status dari honorer
menjadi P3K atau PNS? tanpa harus ruwet
di tataran administrasi, karena secara faktanya mereka sudah terbukti memiliki
masa kerja yang lama di instansi tersebut. Mengapa pemerintah tidak melakukan
itu semua? Apakah kenaikan status honorer menjadi P3K akan menambah beban
pengeluaran negara?
Adanya kastanisasi status
pegawai sangat merugikan rakyat dan bentuk kezaliman. Hal ini akibat
diterapkannya sistem yang berlandaskan kapitalisme sekuler. Pengaturan urusan
rakyat Insyaallah akan adil dan bijaksana jika dilaksanakan oleh para aparat
yang kompeten, taat kepada aturan Allah di segala bidang kehidupan, meyakini
bahwa hukum Islam adil mengatur hak dan kewajiban setiap rakyat, pejabat,
pegawai negara, akad muamalah, serta sistem kerja yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat.
Tidak akan terjadi
kegelisahan hanya karena stasus kepegawaian, karena negara memberi gaji yang
layak dan cukup, menyediakan fasilitas umum dengan murah atau bahkan gratis
baik pendidikan, kesehatan, lapangan pekerjaan terutama bagi para kepala
keluarga. Hukum Islam juga mengatur dan mengurusi distribusi kebutuhan pokok
rakyat, menjaga dan mengelola SDA untuk kepentingan rakyatnya. Wallahualam.[]
0 Komentar