Kedaulatan Bangsa yang Tergadai demi Kepentingan Adidaya

 



Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Gedung Putih telah secara resmi merilis kesepakatan terkait tarif resiprokal antara Indonesia–AS dalam laman resminya yang berjudul “Joint Statement of Framework for United States-Indonesia Agreement on Reciprocal Trade”. Selain empat lsyarat ‘viral’ penurunan tarif, nyatanya masih ada kesepakatan lain yang tidak kalah berbahaya. Salah satu poin kesepakatan yang harus diwaspadai berikutnya adalah tentang transfer data keluar wilayah Indonesia ke AS. Dalam pernyataan resmi pihak USA disebutkan dengan jelas bahwa pemerintah Indonesia telah berkomitmen mengatasi hambatan dalam perdagangan—jasa dan investasi digital melalui pemberian akses transfer data pribadi keluar dari wilayahnya ke Amerika Serikat (cnbcindonesia.com, 24/07/2025).

 

Sontak, pernyataan tersebut menimbulkan banyak pro dan kontra di masyarakat. Banyak pihak menilai pemberian akses data pribadi warga Indonesia kepada AS harus disikapi dengan sangat hati-hati mengingat hal tersebut termasuk ke dalam ranah privasi warga negara. Di sisi lain, banyak pula pakar yang melihat kondisi ini sebagai bagian dari peluang kian terbukanya transaksi digital Indonesia secara global.

 

Menanggapi hal tersebut, Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid menyebutkan pihaknya akan segera berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Lebih jauh Meutya menegaskan bahwa kesepakatan tersebut tetap memiliki pijakan hukum yang sah, aman, dan terukur berdasarkan UU No. 27/2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (PDP). Kesepakatan tersebut diklaim akan diberlakukan berdasarkan hukum Indonesia sebagaimana pernyataan Gedung Putih, '... adequate data protection under Indonesia's law.' (telset.id, 24/07/2025)

 

Sayangnya, pernyataan Meutya belum bisa benar-benar meredam kekhawatiran publik. Pasalnya UU PDP 2022 hingga kini masih belum memiliki lembaga pengawas independen yang mumpuni. Masalah payung hukum digital tidak hanya datang dari pihak Indonesia tetapi juga Washington. Hingga detik ini Amerika Serikat belum memiliki UU yang komprehensif dan spesifik terkait perlindungan data pribadi secara umum. Kondisi tersebut jauh berbeda dengan Uni Eropa misalnya yang telah menerapkan regulasi data pibadi yakni GDPR (General Data Protection Regulation). GDPR bahkan dijadikan referensi pembentukan UU PDP di Indonesia.

 

Transfer data pribadi dari Indonesia ke luar negeri jelas bukan tanpa syarat. Disebutkan dalam UU PDP bahwa negara penerima data haruslah memiliki tingkat perlindungan hukum bagi data pribadi yang setara atau bahkan lebih tinggi dari regulasi yang tertuang pada UU PDP. Jika syarat tersebut tidak terpenuhi, khususnya dalam kasus data transfer yang terjadi dalam kesepakatan Jakarta-Washington, pengendali data harus menjamin mekanisme perlindungan data yang memadai dan bersifat mengikat. Jika kedua syarat tersebut masih belum juga bisa dipenuhi, setiap transaksi transfer data pribadi harus memperoleh persetujuan langsung dari subjek data pribadi, orang per orang.

 

Sayangnya, regulasi perlindungan data pribadi setara GDPR Uni Eropa hanya ada dalam regulasi sektoral AS seperti California Consumer Privacy Act (CCPA) yang hanya berlaku pada negara bagian California. Selebihnya, resiko data justru tunduk pada Clarifying Lawful Overseas Use of Data Act (CLOUD) Act AS—UU yang memberi peluang bagi pihak Gedung Putih untuk mengakses data yang disimpan oleh seluruh perusahaan AS, baik yang berada di dalam maupun di luar Amerika. UU tersebut memungkinan pemerintah AS untuk melakukan investigasi hukum secara langsung tanpa membutuhkan persetujuan negara asal data.

 

Dari sini terlihat jelas bahwa kesepakatan transfer data pribadi dari Indonesia ke AS bukan hanya sekedar untuk kepentingan ekonomi sebagaimana yang digembar-gemborkan oleh penguasa negeri ini. Lebih jauh dari itu, kesepakatan tersebut telah menyentuh aspek geopolitik bangsa yang secara langsung mempertaruhkan martabat dan kedaulatan digital negeri. Hal ini karena data merupakan aset nasional setara dengan Sumber Daya Alam (SDA) yang harus dijaga dan dipelihara. Di era digital seperti saat ini, data telah menjadi suatu komoditas penting yang menentukan arah perekonomian baik dalam ruang lingkup negara maupun global. Oleh karenanya, pengelolaan data secara serampangan; salah satunya dengan penyerahan data pribadi warga Indonesia kepada pihak asing, sangat berpotensi ‘menelanjangi’ prinsip kedaulatan digital.   Wallahualam bisawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar