Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Data yang dikeluarkan Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, dalam Kajian Tengah Tahun (KTT) INDEF 2025 menunjukkan sekitar 1,01 juta sarjana Indonesia menganggur. Sementara itu jumlah pengangguran Indonesia per Mei 2025 telah menyentuh angka 7,28 juta jiwa. Di luar angka 1 juta pengangguran yang merupakan lulusan S1, 177 ribu pengangguran lainnya adalah lulusan diploma, 1,62 juta orang merupakan tamatan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dan 1,03 juta pengangguran berasal dari lulusan SMA (Sekolah Menengah Atas). (radioidola.com, 14/07/2025)
Lebih lanjut, Yassierli menyatakan bahwa permasalahan utama pengangguran Indonesia ialah rendahnya kualitas tenaga kerja. Jumlah usia produktif Indonesia yang mencapai angka 145,77 juta jiwa kini menghadapi tantangan serius dalam meningkatkan daya saing dan kualifikasi pendidikan secara nasional dan global. Dari sini tidak mengherankan jika kemudian pemerintah Indonesia cukup getol menggelontorkan program-program pendidikan yang dimaksudkan untuk ‘update’ skill pekerja di sektor industri.
Strategi pemerintah sejauh ini fokus pada ‘bridging’ antara sektor pendidikan dan industri. Jajaran kementerian dan lembaga pendidikan di Indonesia cukup banyak menekankan adanya mismatch yang tinggi antara kebutuhan industri dan ketersediaan lapangan kerja. Oleh karenanya banyak pakar yang mengklaim adanya kebutuhan akan kolaborasi yang kuat antara kampus, pelatihan vokasi, dan sektor usaha. Namun, apakah dengan meningkatkan 'skill' (calon) pekerja bisa benar-benar menyelesaikan masalah pengangguran para sarjana negeri ini?
Sejauh ini sudah ada cukup banyak upaya dari pemerintah guna meningkatkan keterampilan teknis tenaga kerja seperti dengan pelatihan vokasi, penyempurnaan kurikulum pendidikan dan program kartu prakerja. Selain itu program-program kampus semisal program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) ataupun program PRIMA (Professional Readiness Through Internship and Mentorship for Academics) yang baru dirilis Direktorat Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam (DIktis) Kemenag tengah digenjot sebagai upaya menjembatani mahasiswa sebagai calon tenaga kerja dengan dunia industri. Tidak hanya itu, pada 2024 Pembinaan Mahasiswa Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi (Ditjen Diktiristek) Kemendikbudristek membuka Program Pembinaan Mahasiswa Wirausaha (P2MW) untuk mencetak mahasiswa berjiwa wirausaha serta mendorong perguruan tinggi mengembangkan ekosistem kewirausahaan.
Program-program peningkatan keterampilan termasuk skill wirausaha untuk calon tenaga kerja yang digenjot pemerintah sejauh ini, sayangnya belum banyak membuahkan hasil. Dalam satu dekade terakhir, angka pengangguran Indonesia yang merupakan lulusan perguruan tinggi tidak banyak mengalami perbaikan. Pada Februari 2022 jumlah pengangguran level sarjana tercatat sebanyak 844 ribu orang dan sempat turun pada Agustus 2022 menjadi 673 ribu. Namun, angka tersebut justru mengalami peningkatan di tahun berikutnya yakni sebanyak 753 ribu jiwa pada Februari 2023 dan 787 ribu di Agustus 2023. Memasuki tahun 2024 angka pengangguran lulusan S1 terus merangkak naik yakni 871 ribu orang pada Februari. Kini, angka pengangguran level sarjana di Indonesia memecahkan rekor hingga 1,01 juta jiwa pada Februari 2025 (goodstats.id, 03/07/2025).
Perlu kita pahami bersama bahwa upaya teknis yang selama ini dilakukan oleh penguasa belum benar-benar menjangkau akar masalah pengangguran. Pengangguran sesungguhnya tercipta karena adanya kesenjangan antara jumlah lapangan kerja dengan permintaan (pelamar kerja). Sering kita temukan adanya penawaran satu atau dua posisi di suatu perusahaan tapi pelamarnya mencapai ratusan orang. Kondisi tersebut kemudian memaksa banyak sarjana bekerja di sektor informal bahkan sebagai supir, driver ojol, pramukantor hingga banting setir menjadi baby sitter atau menjadi Asisten Rumah Tangga (ART). Dari sini terlihat jelas bahwa masalah pengangguran bukan lagi masalah kurangnya keterampilan para pencari kerja, tetapi lebih karena memang lapangan kerja yang tidak tersedia.
Tidak tersedianya lapangan kerja yang sejatinya adalah akar masalah pengangguran negeri ini terjadi karena katidakmampuan sistem ekonomi kapitalis yang diterapkan negeri ini dalam menyediakan kesempatan kerja yang layak dan merata bagi rakyat. Penyediaan lapangan pekerjaan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara justru diserahkan sepenuhnya kepada pasar industri. Kondisi semacam ini wajar terjadi karena memang sistem kapitalisme meniscayakan negara berlepas tangan dalam mengurusi urusan rakyatnya, terutama dalam sektor ekonomi.
Setidaknya terdapat dua alasan mendasar sistem ekonomi kapitalis dipastikan gagal mengatasi masalah pengangguran. Pertama, kapitalisme secara asasi memberikan kebebasan seluas-luasnya bagi pihak swasta untuk menguasai Sumber Daya Alam (SDA) negeri ini. Walhasil, negara tidak lagi bisa berperan sebagai pengendali utama industri yang kemudian mampu menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat. Padahal, ketika sektor industri diserahkan ke tangan swasta, fokus industri beralih dari kesejahteraan rakyat menjadi profit korporat. Para pengusaha bisa dengan semena-mena melakukan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja), menekan upah hingga mempekerjakan TKA (Tenaga Kerja Asing) dengan dalih profit. Dari sini, wajar jika pengangguran akan makin merebak dan kesenjangan sosial kian terasa.
Kedua, sistem ekonomi kapitalis bertumpu pada sektor nonriil yang menjadikan uang sebagai salah satu komoditas utama perekonomian. Berkembang pesatlah skema eksploitasi uang baik dalam bursa efek, sistem saham, perbankan ribawi hingga asuransi. Celakanya dalam sistem busuk kapitalisme, sektor nonriil justru tumbuh lebih cepat bahkan nilai transaksinya mencapai sepuluh kali lipat dari sektor riil. Pertumbuhan uang yang beredar di masyarakat mendorong inflasi dan penggelembungan nilai aset sehingga menurunkan produksi serta investasi di sektor riil. Kondisi semacam ini pada akhirnya berakibat pada peredaran harta di kelompok tertentu dan tidak berkontribusi pada penyediaan lapangan kerja secara nyata.
Negara penganut kapitalisme seperti Indonesia yang memfokuskan perhatian ekonominya pada sektor nonriil justru membiarkan sektor riil terbengkalai. Kita bisa melihat bagaimana sektor-sektor riil perekonomian seperti perikanan, pertanian dan industri berat yang berpotensi menyerap tenaga kerja dalam jumlah besar justru dipandang sebelah mata. Para lulusan sarjana perikanan dan pertanian malah sibuk mencari pekerjaan ‘bergengsi’ di sektor lain khususnya perbankan. Lahan-lahan pertanian di pedesaan banyak disulap menjadi beton-beton tinggi dengan dalih pembangunan. Sedangkan laut dipagari oleh para cuan dengan persetujuan penguasa. Oleh karenanya, tidak mengherankan jika Indonesia yang katanya memiliki SDA melimpah kini justru gagal mencapai swasembada pangan. Alih-alih mampu mencapai ketahanan pangan, negeri ini terjebak dalam ketergantungannya pada impor pangan.
Di sisi lain, sistem pendidikan kapitalisme kian menjerumuskan masyarakat dalam kebodohan. Sistem pendidikan yang seharusnya berfokus pada pembentukan pola pikir masyarakat yang cemerlang, kini didangkalkan secara struktural untuk tujuan materialisme. Sistem pendidikan negeri ini secara sengaja digiring dan dikerdilkan hanya sebatas menjadi pabrik tenaga kerja murah guna mengisi kebutuhan industri. Hal ini jelas terlihat tatkala negara dan lembaga pendidikan selalu memprioritaskan ‘link and match’ antara sekolah dan pendidikan tinggi dengan dunia industri yang kemudian memaksa sektor pendidikan mengekor pada sektor industri. Alih-alih menciptakan generasi emas, dunia pendidikan justru sibuk melayani kepentingan korporasi.
Padahal pengalihan fokus sistem pendidikan kepada industri secara nyata menimbulkan stagnansi bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan riset. Kondisi ini menjadikan negara bergantung pada ilmu dan teknologi asing dan melemahkan Sumber Daya Manusia (SDM) dalam negeri. Alhasil, tidak mengherankan jika kini Indonesia dipenuhi generasi muda yang justru malas dan tidak bercita-cita tinggi. Hal ini terbukti dari menurunnya minat Gen Z baik di Indonesia maupun tingkat dunia untuk mengenyam pendidikan tinggi. Tidak sedikit dari generasi muda yang lebih memilih jalur nonformal seperti kelas-kelas pelatihan, program magang ataupun on-the-job training (OJT) sebagai solusi murah dan berbasis keterampilan ketimbang harus kuliah.
Dengan demikian, pemerintah seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh atas penerapan sistem kapitalisme yang benar-benar telah mengobrak-abrik pembangunan SDA dan SDM negeri. Paradigma Islam juga mewajibkan negara untuk hadir sebagai pengurus dan penjaga urusan rakyat, bukan justru menyerahkan segala urusan masyarakat kepada pihak swasta. Negara wajib menghentikan penguasaan SDA di tangan swasta yang sejatinya adalah milik rakyat dan mengelola SDA negeri ini hanya untuk kesejahteraan rakyat banyak. Hal ini sebagaimana sabda Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, “Imam adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat yang diurusnya.” Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar