Akankah Indonesia Tangguh, Mandiri, dan Sejahtera dengan Modal Pajak dan Utang?



Ia juga menegaskan bahwa arsitektur APBN 2026 yang ia susun bersama Wapres Gibran merupakan implementasi dari visi dan misi pemerintahannya yang diarahkan untuk mewujudkan Indonesia tangguh, mandiri, dan sejahtera. Itulah sebabnya, saat itu ia menyampaikan harapan agar DPR RI memberi dukungan penuh dalam pembahasan RUU APBN ini sehingga arah kebijakan fiskal yang ditetapkannya sejalan dengan visi besar menuju Indonesia Emas 2045.

Kental Populisme dan Kapitalisasi Layanan Publik

Adapun perincian arsitektur RAPBN 2026 tersebut meliputi Belanja Negara sebesar Rp3.786,5 triliun, pendapatan negara (Rp3.147,7 triliun), dan defisit sebesar (Rp638,8 triliun atau 2,48% terhadap PDB). Semua itu ditetapkan berdasarkan tujuh asumsi makro yang meliputi, pertumbuhan ekonomi 2026 sebesar 5,4%, inflasi 2,5%, kurs dolar AS Rp16.500, tingkat suku bunga SBN 10 tahun 6,9%, harga minyak mentah Indonesia (ICP) US$70 per barel, lifting minyak 610 ribu barel per hari m, dan lifting gas bumi 0,984 juta barel setara minyak per hari.

Presiden mengeklaim bahwa RAPBN ini diarahkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan rakyat, yakni dengan memberi prioritas belanja negara pada delapan agenda utama.

Pertama, mewujudkan ketahanan dan kedaulatan pangan sebagai fondasi kemandirian bangsa. Dana yang dialokasikan sebesar Rp164,4 triliun untuk lumbung pangan dan cadangan pangan, subsidi pupuk dan untuk Bulog sebagai penjaga harga dan stok pangan.

Kedua, memperkuat ketahanan energi untuk kedaulatan bangsa yang ditempuh melalui pemberian subsidi energi, insentif perpajakan, pengembangan EBT, serta penyediaan listrik desa dengan alokasi anggaran Rp402,4 triliun.

Ketiga, membangun generasi unggul melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG) dengan target menjangkau 82,9 juta siswa, ibu hamil, dan balita di seluruh pelosok negeri dengan alokasi anggaran sebesar Rp335 triliun.

Keempat, mewujudkan pendidikan bermutu, dengan fokus pada peningkatan kualitas guru, pendidikan vokasi, dan penyelarasan kurikulum dengan kebutuhan dunia kerja. Alokasi anggaran sebesar 20% dari APBN, yaitu sekitar Rp757,8 triliun yang disebut-sebut terbesar sepanjang sejarah. Dialokasikan antara lain untuk pemberian beasiswa bagi 21,1 juta siswa melalui Program Indonesia Pintar (PIP) dan bagi 1,2 juta mahasiswa melalui KIP Kuliah. Juga dialokasikan untuk peningkatan kualitas fasilitas sekolah/kampus, dan untuk gaji guru, penguatan kompetensi dan kesejahteraan guru serta dosen.

Kelima, menghadirkan kesehatan berkualitas yang adil dan merata dengan memperkuat efektivitas dan memperluas akses layanan asuransi kesehatan melalui Program Jaminan Kesehatan Nasional. Dialokasikan dana sebesar Rp244 triliun yang diprioritaskan untuk revitalisasi rumah sakit, percepat penurunan stunting, bantuan gizi untuk balita dan ibu hamil, pengendalian penyakit menular, penurunan TBC, Cek Kesehatan Gratis (CKG), juga peningkatan fasilitas kesehatan. Pemerintah juga berjanji akan menanggung sepenuhnya biaya asuransi kesehatan bagi 96,8 juta jiwa masyarakat miskin dan rentan.

Keenam, menghidupkan perekonomian rakyat melalui penguatan Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih dan UMKM dengan alokasi sebesar Rp83 Triliun.

Ketujuh, memperkuat sektor pertahanan untuk kedaulatan bangsa dengan alokasi Rp185 triliun melalui modernisasi alutsista, pengadaan dan perawatan kapal perang, pesawat, kendaraan tempur, serta penambahan batalion dan kodam.

Kedelapan, mempercepat investasi dan perdagangan global melalui Danantara Indonesia, proyek hilirisasi senilai USD38 miliar dan pembangunan 3 juta rumah rakyat.

Menyambut rancangan tersebut seluruh fraksi DPR tampak antusias dan menyatakan siap untuk membahas lebih lanjut. Beberapa pernyataan Presiden bahkan berulang disambut standing applause, yakni ketika ia menyampaikan tekad bahwa 2027—2028 siap dengan APBN tanpa defisit, dan ketika ia berjanji bahwa belanja akan dijaga benar-benar efisien dan produktif—agar selain mendukung program prioritas pemerintah juga dapat menghasilkan multiplier effects yang kuat terhadap perekonomian.

Namun, menilik postur seperti itu dan melihat track record politik APBN sebelumnya, terlihat bahwa pemerintah belum beranjak dari paradigma populisme dan pragmatisme terkait janji politik, dan tentu saja iklan politik. Misal, melanjutkan program MBG yang kontroversial dan terbukti sarat masalah dengan alokasi dana yang jauh lebih besar dari tahun sebelumnya (sebesar Rp71 triliun pada 2025); serta program CKG yang terkesan seremonial, tidak merata, dan rentan pemotongan anggaran sehingga mengurangi kualitas layanan.

Postur RAPBN 2026 ini juga kental kapitalisasi yang mana pemerintah ada di posisi melayani kepentingan modal atau industri. Misalnya, pembangunan sektor pendidikan yang fokus mencetak buruh murah untuk industrialisasi di tengah makin bobroknya moral generasi.

Dalam pernyataannya pun, Presiden bertekad memperkuat peran perusahaan pelat merah dan swasta sebagai operator utama dalam proyek-proyek pembangunan sektor-sektor strategis dan penyediaan layanan publik atas nama investasi dan perdagangan global. Padahal, selama ini terbukti skema seperti itu telah membebani kehidupan masyarakat. Juga sarat kebocoran dan inefisiensi, sekaligus selalu berkelindan dengan penambahan utang.

Istikamah dengan Pajak dan Utang

Adapun dari aspek pos pendapatan, Prabowo menegaskan akan terus mengoptimalkan rasio perpajakan untuk memperkuat ruang fiskal. Caranya adalah dengan tetap menjaga iklim investasi dan keberlanjutan dunia usaha, mengeliminasi tindakan curang, serta melindungi daya beli masyarakat agar tetap stabil.

Dari pernyataan tersebut tampak bahwa pajak masih menjadi pos pemasukan utama bagi APBN 2026. Lihat saja, dari total target pendapatan negara sebesar Rp3.147,7 triliun dengan defisit Rp638,8 triliun, ditargetkan pemasukan dari pajak sebesar Rp2.062 triliun (65,5%), Rp455 triliun dari pendapatan negara bukan pajak (PNBP), dan Rp700 miliar dari hibah.

Namun, selain soal pajak, RAPBN 2026 juga menyebut bahwa pemerintah akan mengalokasikan anggaran sebesar Rp599,44 triliun untuk pembayaran bunga utang pada 2026. Lalu pada saat yang sama, pemerintah juga merencanakan menarik utang baru sebesar Rp781.868,6 miliar yang akan dipenuhi melalui penerbitan SBN dan penarikan pinjaman. Padahal, berdasarkan data Kementerian Keuangan yang diolah INDEF, total utang lama yang harus dibayar pemerintah pada 2026 dan akan menjadi beban APBN—pokok jatuh tempo maupun bunganya—sudah mencapai Rp1.433,40 triliun. Angka itu lebih tinggi dibandingkan 2025 yang sebesar Rp1.352,48 triliun.

Oleh karenanya, bisa disimpulkan bahwa politik APBN yang pemerintah jalankan, khususnya terkait sumber-sumber pendapatan negara, masih sangat bertumpu pada pajak dan utang dengan skema “gali lubang tutup lubang”.

Terkait hal ini, pemerintah selalu berdalih bahwa sumber-sumber pemasukan APBN sangat terbatas, sedangkan pertumbuhan ekonomi harus didorong demi mengejar ketertinggalan. Begitu pun kualitas SDM, harus ditingkatkan melalui alokasi anggaran pendidikan, kesehatan, dan perlindungan sosial yang cukup besar.

Walhasil, pada situasi seperti ini, utang diposisikan sebagai bagian instrumen fiskal selain pajak yang digunakan untuk mendanai pembangunan nasional dan menutup defisit anggaran, termasuk membayar utang. Hal itu tentu sangat disayangkan karena dipastikan akan memberatkan rakyat dan generasi mendatang, sekaligus memperlemah posisi negara di hadapan investor, alias para pemilik modal.

Perlu diingat bahwa apa yang disebut dengan “pendapatan negara” dalam APBN itu masih dalam konteks perkiraan atau belum sepenuhnya ada di tangan. Adapun untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan riil pembangunan dan operasional pemerintahan, sekaligus untuk menutup defisit anggaran dan utang, pemerintah tentu harus berupaya menggenjot capaian target pendapatan, terutama dari sumber pajak, seperti menambah objek pajak (termasuk retribusi dan besarannya), dan itu semua, sasarannya adalah rakyat!

Adapun dari pendapatan nonpajak, pemerintah juga harus berupaya mereformasi pengelolaan SDA, baik migas maupun nonmigas. Masalahnya, meski Indonesia memiliki kekayaan SDA melimpah ruah, pendapatan dari sektor ini tidak terlalu bisa diharapkan karena pengelolaannya sudah diserahkan ke tangan swasta dan pihak asing. Dalam hal ini, negara hanya bisa berharap dari fee konsesi yang jumlahnya sangat kecil dibanding keuntungan yang diperoleh perusahaan. Itulah sebabnya, dalam postur APBN, jumlah pendapatan dari yang bukan pajak ini proporsinya selalu jauh lebih kecil dari target pendapatan pajak.

Melihat situasi demikian, kita layak mempertanyakan, mungkinkah terwujud visi Indonesia tangguh, mandiri, dan sejahtera, sedangkan negara sudah ada di ambang kebangkrutan hingga rakyatnya terus dikorbankan? Mungkinkah rakyat hidup bahagia, sedangkan penguasanya menjadi “si raja tega” dengan menggadaikan aset-aset milik rakyatnya, memalak mereka dengan berbagai jenis pajak, dan menyerahkan layanan hak-hak dasar mereka untuk dikapitalisasi oleh para pengusaha?

Sejatinya, itu semua merupakan dampak penerapan sistem sekuler kapitalisme yang tegak di atas asas kebebasan, terutama kebebasan kepemilikan sehingga APBN kehilangan pos-pos pemasukan yang melimpah. Berupa aset-aset strategis (seperti SDA) karena bisa dimiliki individu, bahkan asing yang dilegalkan undang-undang. Sistem ini juga memosisikan negara sekadar sebagai regulator dan pelayan kepentingan para pemodal sehingga keadilan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat dipastikan cuma jadi impian.

APBN Islam Jaminan Rakyat Sejahtera dan Negara Digdaya

Sebagai sistem hidup yang sahih dan sempurna, Islam juga memiliki regulasi tentang politik APBN yang dikenal dengan istilah baitulmal. Konsep tentang baitulmal ini bukan sesuatu yang baru karena sudah diterapkan sejak masa Rasulullah ﷺ hingga era kekhalifahan. Salah satu referensi yang bisa dikaji adalah kitab Al-Amwal karya amir kedua Hizb ut-Tahrir Syekh Abdul Qadim Zallum rahimahullah, serta kitab Muqaddimah ad-Dustûr yang dikeluarkan oleh Hizb ut-Tahrir.

Di sana dijelaskan bahwa baitulmal adalah institusi negara yang khusus menangani harta yang diterima negara dan dialokasikan bagi rakyat yang berhak menerimanya sesuai tuntunan syariat. Landasannya adalah QS Al-Anfal ayat 1 yang turun untuk mengatur harta rampasan Perang Badar, serta dalil lain yang berasal dari sunah dan ijmak sahabat.

Secara sederhana, syarak menetapkan tiga pos pemasukan baitulmal. Pertama, sektor kepemilikan individu, seperti sedekah, hibah, zakat, dsb. Khusus untuk zakat tidak boleh bercampur dengan harta yang lain. Kedua, sektor kepemilikan umum yang haram diprivatisasi, seperti pertambangan, minyak bumi, gas, batu bara, kehutanan, dsb. Ketiga, sektor kepemilikan negara yang menjadi pemasukan tetap, seperti jizyah, kharaj, ganimah, fai, ‘usyur, dsb.

Adapun pengaturan belanjanya juga khas. Islam menetapkan soal kewenangan khalifah dalam mengatur belanja negara. Basisnya adalah prinsip kemaslahatan dan keadilan bagi seluruh rakyatnya berdasarkan pada ketentuan syariat Islam. Misal, pos kepemilikan umum hanya digunakan untuk kepentingan maslahat umum, seperti untuk pembiayaan pendidikan, kesehatan, keamanan, subsidi BBM, listrik, juga termasuk biaya jihad, serta maslahat publik lainnya. Sementara itu, santunan bagi penguasa, gaji pegawai negara, hakim, dana kedaruratan, dll., diambil dari kepemilikan negara. Adapun harta zakat hanya diberikan kepada delapan asnaf.

Yang paling hebat, politik APBN dalam Islam tidak bertumpu pada pajak dan utang. Pajak hanya ditarik jika baitulmal kosong itu pun sasarannya hanya orang kaya dari kalangan muslim. APBN Islam juga tidak mengenal skema defisit karena pos pemasukannya sangat banyak dan dikelola negara dengan penuh amanah dan profesional. Begitu pula pembelanjaannya, diatur sedemikian sehingga seluruh urusan umat dan negara tertunaikan sesuai tuntutan syarak.

Potensi kebocoran, inefisiensi, dan intervensi asing benar-benar tertutup dengan dukungan penerapan sistem Islam lainnya, seperti sistem pendidikan dan i’lamiyah (kominfo), sistem ekonomi Islam, sistem penggajian, sistem birokrasi, sistem hukum dan sanksi, dll.

Semua itu akan mengondisikan individu dan masyarakat, termasuk para penguasa dan strukturnya selalu ada dalam suasana iman dan hidup dengan tradisi amar makruf nahi mungkar. Semua inilah yang menjadi jaminan terwujudnya kehidupan masyarakat yang aman dan tenteram, serta terwujudnya negara yang kuat dan adidaya.

Khatimah

Dengan demikian, penerapan syariat Islam kafah dalam naungan sistem politik Khilafah sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Selain merupakan sebuah kewajiban bagi setiap mukmin, keberadaannya menjadi kunci kembalinya kemuliaan dan kesejahteraan umat yang tidak bisa diwujudkan dalam sistem sekuler kapitalisme yang diterapkan hari ini.

Selama belasan abad, umat Islam tampil sebagai negara adidaya sekaligus pemimpin peradaban. Semua ini membuktikan janji Allah dalam Al-Qur’an, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” (QS Al-A’raf: 96).

Posting Komentar

0 Komentar