Politik Jadi Hiburan, Alam Jadi Komoditas




Shazia Alma 


#TelaahUtama — Fenomena politik Indonesia terus saja memunculkan wajah ironis. Tugas dan aksi selalu tak sesuai harapan. Anggota DPR berjoget riang usai Sidang Tahunan MPR/DPR (detik.com, 15/08/2025; antaranews.com, 15/08/2025). Sementara itu, rakyat dikejutkan dengan kabar yang datang dari ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) bahwa kicauan burung bisa terkena royalti jika diputar dalam bentuk rekaman di ruang komersial (cnnindonesia.com, 04/08/25). Dua peristiwa ini memperlihatkan bagaimana akal sehat rakyat kerap berjarak dengan logika penguasa dan regulasi negara.


Masyarakat tidak membaca peristiwa itu sebatas “hiburan”. Kritik menguat, menyebut bahwa DPR gagal membaca suasana kebatinan rakyat. Bagaimana mungkin, ketika harga kebutuhan pokok melambung, pengangguran masih tinggi, pajak mencekik, korupsi tak terkendali, masalah sosial dan generasi tak tertangani—wakil rakyat justru tampil seperti berada di panggung pesta? Tempo.co (19/08/2025), mencatat kritikan yang sinis: DPR terlihat “lebih sibuk bergoyang daripada bekerja”.


Politik akhirnya menjadi tontonan tak elok. Ruang sidang yang mestinya sebagai prasarana berjibakunya 'wakil rakyat' memperjuangkan kepentingan masyarakat justru menjadi arena yang dipenuhi tawa, tepuk tangan, dan goyangan.


Politik dan Alam dalam Perspektif Islam Ideologis


Dalam pandangan Islam kafah (Islam sebagai ideologi menyeluruh), kedua fenomena ini menunjukkan cacat mendasar dari sistem sekuler-kapitalistik. Pertama, politik dalam Islam bukanlah hiburan. Politik dipahami sebagai aktivitas mengurus urusan umat (ri‘ayah syu’unil ummah). Buya Hamka menyebut Islam kafah sebagai keislaman yang menyeluruh, menata seluruh sendi kehidupan dengan prinsip rahmat untuk semesta kehidupan (rahmatan lil ‘alamin). (repository.uinsaizu.ac.id)


Rasulullah ﷺ dan para khalifah setelahnya menjadikan politik sebagai amanah besar, bukan panggung pencitraan atau ajang pertunjukan. Pemimpin akan dituntut secara khusus. Dari Abu Umamah, Nabi ﷺ bersabda, “Tidaklah seorang muslim memimpin sepuluh orang atau lebih, kecuali ia akan datang pada Hari Kiamat dengan tangannya terikat hingga leher—kebaikannya membebaskannya atau dosa-dosanya menghancurkannya. Awalnya celaan, pertengahan penyesalan, akhirnya siksaan.” (Hadis Riwayat al-Tabrani, al-Mu‘jam al-Kabir) 


Maka aksi berjoget di ruang sidang, betapapun dianggap ringan, menunjukkan degradasi makna politik yang sebenarnya, dari amanah menjadi tontonan.


Kedua, alam dalam Islam adalah milik bersama, bukan komoditas pribadi atau kelompok. Burung, sungai, udara, dan pohon adalah bagian dari karunia Allah untuk seluruh makhluk. Firman Allah, “Dia-lah yang menciptakan untuk kamu segala apa yang ada di bumi.” (Surah Al-Baqarah Ayat 29)


Soal kepemilikan publik atas alam, menurut ulama seperti Syekh Zallum, hutan termasuk milik umum (al-milkiyah al-‘ammah). Hadis Nabi menjelaskan bahwa umat manusia berserikat dalam tiga hal—air, padang rumput, dan api—mencakup hutan, sebagai kebutuhan bersama. Al-Shaukani menyebutkan bahwa ruang-ruang publik seperti hutan tidak boleh diprivatisasi, melainkan dikelola oleh negara sebagai amanah dalam pengurusan kepentingan rakyat. (ppi.unas.ac.id)


Dengan demikian, menjadikan kicauan burung sebagai objek royalti yang dipungut dalam logika bisnis kapitalistik adalah bentuk privatisasi terhadap sesuatu yang semestinya bebas dinikmati. Dalam wawasan kritis terhadap sistem kapitalisme-individualistik, permasalahan regulasi lingkungan sering muncul karena ideologi kapitalisme menomorsatukan kepemilikan individu dan kemanfaatan (utilitarian), bukan keseimbangan moral dan ekologi (ppi.unas.ac.id).


 Dalam kerangka Islam, hukum tidak boleh lahir dari sekadar akal manusia yang terbatas, apalagi dari logika pasar yang eksploitatif. Hukum lahir dari wahyu Sang Pencipta dan Pengatur manusia, alam semesta, dan kehidupan—Allah Swt.. Alhasil, pengelolaan politik dan alam pun seharusnya tunduk pada prinsip syariat, bukan pada kepentingan pragmatis sesaat.


Dari dua kasus ini, terlihat jelas bahwa sekularisme melahirkan politik tanpa arah. Politik sekuler membuat ruang sidang berubah menjadi arena goyangan, bukan ruang musyawarah yang berwibawa. Kemudian, tampak dengan nyata bahwa kapitalisme menjerat alam menjadi komoditas, masuk dalam kalkulasi pasar. Watak ekonomi kapitalistik mendorong segala sesuatu—bahkan suara burung—masuk dalam logika komersial dan perhitungan keuntungan. Inilah yang disebut Islam sebagai fasad (kerusakan) akibat menjauhkan hukum Allah dari kehidupan (sekuler).


Dua peristiwa yang berbeda—joget di Senayan dan kicauan burung kena royalti—pada hakikatnya sama-sama memperlihatkan ketidakselarasan antara kebutuhan rakyat dengan logika penguasa dan sistem. Politik berubah jadi hiburan, sementara alam berubah jadi komoditas.


Islam kafah menawarkan jalan lain: politik yang berorientasi pada pelayanan umat dan alam yang dikelola sebagai amanah, bukan sebagai barang dagangan. Tanpa kembali kepada paradigma itu, rakyat hanya akan terus disuguhi 'wakil rakyat' yang asyik berjoget di panggung politik, dan kicau burung yang ironisnya justru dihargai dengan kalkulator kapitalisme. Wallahualam.[]


Posting Komentar

0 Komentar