Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Sejak pertengahan Agustus lalu, viral di media sosial video yang menampilkan sejumlah anggota dewan asyik berjoget di sela rangkaian Sidang Tahunan MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat). Suasana sidang tampak dimeriahkan lagu “Sajojo” dan “Gemu Fa Mi Re” dalam rapat anggota dewan yang digelar di kompleks parlemen, Senayan pada Jumat (15/08/2025). Spontan Sidang Tahunan MPR RI yang biasanya dianggap ‘sakral’ justru menuai sejumlah kritikan pedas dari masyarakat.
Momen para wakil rakyat yang menari mengikuti irama lagu dalam sidang anggota dewan dinarasikan khalayak publik sebagaimana para anggota dewan yang tengah menari di atas penderitaan rakyat. Pasalnya kondisi ‘meriah’ para wakil rakyat tersebut sangat kontras dengan situasi rakyat yang harus menghadapi berbagai himpitan ekonomi. Suasana kemudian kian memanas tatkala kenaikan besaran gaji dan tunjangan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mencuat.
Kenaikan tersebut diumumkan oleh Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir pada Selasa (19/08/2025). Beberapa tunjangan yang mengalami kenaikan yakni tunjangan beras dan bensin. Adies merinci tunjangan bensin dinaikkan dari Rp4–5 juta per bulan menjadi Rp7 juta per bulan. Sedangkan tunjangan beras ikut naik dari Rp10 juta menjadi Rp12 juta per bulan. Selain kedua tunjangan tersebut, anggota DPR mendapat tunjangan rumah senilai Rp50 juta per bulan atas kompensasi tidak disediakannya rumah dinas (tempo.co, 22/08/2025).
Besaran penghasilan para anggota dewan kian terkuak ketika anggota Komisi I DPR, TB Hasanuddin, menanggapi sejumlah pertanyaan wartawan akan sulitnya mencari uang halal di parlemen. Hasanuddin kemudian menuturkan bahwa penghasilan resmi yang diterimanya berikut gaji pokok, tunjangan rumah, dan tunjangan lainnya sudah ‘lebih dari cukup’ dan diklaim menutup pintu korupsi. Dalam kesempatan yang sama Hasanuddin membeberkan bahwa uang yang dikantonginya per bulan melebihi angka Rp100 juta (bbc.com, 19/08/2025).
Untuk menutupi besaran tunjangan rumah ‘tambahan’ para anggota dewan tentu saja harus merogoh kas negara. Lembaga Indonesia Corruption Watch (ICW) bahkan menghitung pemborosan anggaran yang timbul dari kebijakan tersebut mencapai angka Rp1,74 triliun untuk periode 2024—2029 dengan asumsi besaran tunjangan rumah Rp50 juta dikalikan 60 bulan dan 580 anggota DPR yang tengah menjabat (bbc.com, 19/08/2025). Lucunya, pemborosan anggaran tersebut dilakukan saat pemerintah mengklaim tengah melakukan efisiensi anggaran.
Efisiensi anggaran yang katanya untuk memaksimalkan kinerja pemerintah justru berimbas pula pada kebutuhan dasar negara yakni pendidikan dan kesehatan. Dalam sektor pendidikan misalnya, efisiensi anggaran berdampak pada Kementerian Pendidikan Dasar dan Menengah (Kemendidasmen) yang mengalami perampingan sebesar Rp7,2 triliun, sedangkan anggaran Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains dan Teknologi (Kemendiksaintek) berkurang sebesar Rp14,3 triliun (mojok.co, 13/02/2025). Belum lagi, sektor-sektor lain terutama sektor primer semacam kesehatan yang ikut terkena dampak.
Efisiensi anggaran yang dilakukan pemerintah pusat juga turut berdampak pada munculnya berbagai kebijakan zalim pemerintah daerah. Sebut saja kasus demo besar-besaran di wilayah Pati yang timbul akibat reaksi dari naiknya tarif Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250% (tempo.co, 14/08/2025). Sedangkan wilayah lain mengalami hal serupa dengan kenaikan besaran PBB-P2 bahkan mencapai 1000%.
Dari sini, wajar saja jika kenaikan tunjangan para anggota dewan membuat masyarakat kian meradang. Kebijakan tersebut secara nyata menunjukkan ketimpangan antara kesejahteraan para anggota dewan dengan kondisi ekonomi rakyat yang kian hari kian sulit. Kebijakan kenaikan tunjangan anggota DPR tersebut juga dianggap terlalu berlebihan sebagaimana tunjangan rumah senilai Rp50 juta yang dianggap ‘tidak peka’ atas penderitaan rakyat.
Jumlah uang yang dikantongi para wakil rakyat justru berbanding terbalik dengan gaji guru yang tidak juga mengalami kenaikan bahkan tidak sedikit yang justru mengalami pemangkasan. Menteri Keuangan Sri Mulyani sempat melontarkan ujaran ‘nonempati’ yang menyebut gaji pengajar tidak seharusnya dibebankan sepenuhnya pada keuangan negara. Dari sini saja tampak jelas bagaimana pemerintah justru berlepas tangan akan masalah rendahnya kesejahteraan para guru dan dosen.
Kesenjangan sosial para wakil rakyat dan masyarakat kian kentara jika kita membandingkan besaran gaji dan tunjangan anggota DPR RI senilai lebih dari Rp100 juta dengan Upah Minimum Regional (UMR). UMR Jakarta pada 2025 misalnya hanya sebesar Rp5.396.761. Sementara, UMR Jawa Tengah hanya mencapai Rp2.169.349 (tribunnews.com, 18/08/2025). Minimnya upah rakyat sayangnya kian diramaikan oleh merebaknya kasus Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) oleh sejumlah pelaku usaha.
Bukan hanya makin sempitnya akses lapangan kerja, masyarakat kini juga disuguhkan dengan kebijakan zalim lainnya yang ‘didiamkan’ oleh penguasa. Sebut saja penetapan tarif royalti untuk komersil termasuk di restoran, kafe, pub, bar, bistro, kelab malam, dan diskotek. Yang paling mengiris hati rakyat adalah besaran royalti di restoran dan kafe yang mencapai Rp60.000/kursi. Kebijakan tersebut kemudian membuat berbagai pelaku usaha F&B (Food and Beverage) mengganti alunan lagu yang biasa terdengar di ruang usaha mereka menjadi suara-suara alam seperti kicauan burung, gemericik air atau semacamnya. Sayangnya, upaya tersebut tidak juga melepaskan para pelaku usaha dari kewajiban membayar royalti. Pasalnya, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN) menegaskan bahwa rekaman suara apa pun tidak terkecuali kicauan burung tetap dikenai kewajiban royalti.
Ironis memang, para penguasa negeri ini begitu gemar menghisap darah darah dari berbagai sektor kehidupan dengan dalih wajib bayar pajak. Di sisi lain, para pejabat kian hidup makmur bergelimpangan harta yang justru ‘dibiayai’ oleh keringat rakyat. Celakanya, tingginya besaran tunjangan dan gaji para penguasa tidak juga menghentikan mereka untuk melakukan tindak korupsi ‘berjemaah’ yang kian hari besarannya kian tak masuk akal.
Kondisi mengenaskan semacam ini sayangnya adalah hal yang wajar terjadi di dalam alam demokrasi-kapitalisme. Sistem pemerintahan demokrasi-kapitalisme meniscayakan para penguasa membuat hukum perundang-undangan seenak jidatnya sekalipun harus dibayar dengan darah dan keringat rakyat. Apalagi sistem demokrasi yang dikenal ‘mahal’ membuat para penguasa harus ‘menutupi kerugian’ yang mereka alami selama pemilu, salah satunya dengan menuntut gaji dan tunjangan ‘fantastis’. Pada akhirnya, para pejabat melihat kursi kekuasaan mereka sebagai peluang emas guna meraup keuntungan sebanyak-sebanyaknya selama mereka menjabat. Sayangnya, dana jumbo yang mereka terima setiap bulannya tidak membuat mereka merasa bertanggung jawab atas penderitaan rakyat, apalagi menjadi pelayan rakyat.
Sejatinya, status penguasa yang melekat pada para anggota dewan bukanlah status yang mudah dan murah. Di dalamnya tercakup kewajiban dunia dan akhirat yang nantinya akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt.. Rasulullah saw. bahkan tidak segan memanjatkan doa bagi para penguasa, “Ya Allah, barang siapa mengemban tugas mengurusi umatku kemudian dia menyusahkan mereka, maka susahkanlah dia. Barang siapa mengemban tugas mengurusi umatku dan memudahkan mereka, maka mudahkanlah dia.” (Hadis Riwayat Muslim)
Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]
0 Komentar