Annisa
#Wacana — Gelombang protes rakyat kembali mencuat di berbagai daerah akibat kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang mencapai ratusan hingga ribuan persen. Melangsir dari CNNIndonesia.com (14/08/2025), bahwa ada warga Jombang yang sampai melakukan aksi simbolis dengan membayar pajak menggunakan koin celengan anak, sebagai bentuk protes atas kenaikan yang tak masuk akal.
Kompas.tv (12/08/2025), juga melaporkan bahwa Trubus Rahardiansah, Dosen Hukum Universitas Trisakti, menilai kenaikan PBB-P2 di berbagai daerah terjadi karena kebijakan efisiensi anggaran pusat. Pemangkasan dana transfer membuat daerah kekurangan, sehingga terpaksa menutupinya dengan menaikkan pajak.
Kenaikan PBB-P2 berakar pada paradigma kapitalistik dalam kebijakan fiskal yang memosisikan rakyat sebagai objek pungutan untuk menutup defisit. Setiap kali anggaran bermasalah, solusi instan yang diambil oleh para penguasa selalu saja menaikkan pajak tanpa berpikir bahwa hal ini memberatkan rakyat. Akibat kelalaian negara dalam mengelola kekayaan alam, beban fiskal justru makin membebani rakyat kecil. Maka dari itu, tentu saja ini menegaskan bahwa persoalan PBB-P2 bukan hanya masalah teknis, melainkan cerminan cacatnya sistem kapitalisme yang menzalimi rakyat.
Efisiensi anggaran seringkali menjadi alasan bagi pemerintah dalam membenarkan pengeluaran negara. Alhasil, efisiensi anggaran seringkali memunculkan masalah baru. Terlebih efisiensi yang diterapkan lebih cenderung mengorbankan kepentingan rakyat kecil daripada memangkas pengeluaran yang tidak esensial.
Jika dilihat dari perspektif Islam tentu terlihat jauh perbedaannya. Sebab pada masa Rasulullah saw., zakat menjadi pilar utama dalam distribusi kekayaan. Terlebih zakat yang diwajibkan atas kaum muslim memiliki kadar dan nisab yang jelas, serta penyalurannya yang transparan untuk kepentingan delapan asnaf. Dengan mekanisme ini, harta tidak menumpuk pada segelintir orang, tapi berputar di tengah masyarakat sehingga kesenjangan sosial dapat ditekan secara nyata.
Bukan hanya dari zakat saja, Negara Islam saat itu juga memiliki berbagai sumber pemasukan lain yang menopang kesejahteraan umat. Sumber-sumber tersebut antara lain khumus (seperlima dari harta rampasan perang), fai’ (harta yang diperoleh dari musuh tanpa melalui peperangan), jizyah (kontribusi dari nonmuslim yang tinggal dalam wilayah Islam), serta kharaj (pungutan atas tanah pertanian di wilayah yang ditaklukkan). Semua pemasukan itu dikelola untuk kepentingan publik, bukan untuk memperkaya elite penguasa.
Selain itu terdapat pula ushr yakni pungutan perdagangan yang dikenakan kepada pedagang asing yang melintas di wilayah Islam. Semua instrumen keuangan tersebut dirancang untuk menciptakan kemandirian negara sekaligus menghilangkan beban yang menindas rakyat.
Karena itu, jalan keluar yang hakiki bagi umat dan bangsa ini adalah kembali kepada syariat Islam yang mengatur seluruh aspek kehidupan, termasuk dalam tata kelola ekonomi. Tak seperti kondisi saat ini, ketika rakyat dipaksa memikul beban kenaikan PBB-P2 akibat efisiensi anggaran dan buruknya pengelolaan kekayaan alam, Islam justru menghadirkan sistem yang benar-benar menyejahterakan, bukan menyusahkan.
Keresahan yang kini dirasakan rakyat sejatinya adalah tanda kuat bahwa sistem yang berjalan sudah gagal memberi keadilan. Karena itu, umat harus menyadari bahwa perubahan mendasar hanya dengan kembali kepada syariat Islam secara kafah, persoalan pajak yang menjerat rakyat akan menemukan titik akhir, dan kesejahteraan yang hakiki dapat diwujudkan.
Fakta bahwa Khilafah Islam eksis selama lebih dari 13 abad adalah bukti yang tak terbantahkan. Dalam sistem Islam kebutuhan dasar rakyat ditanggung negara, sumber daya alam dikelola untuk kepentingan umat, dan kas baitulmal menjadi instrumen distribusi kekayaan yang adil. Pajak hanya diberlakukan dalam kondisi tertentu, sifatnya temporer, dan tidak pernah menjerat rakyat kecil. Alhasil, kesejahteraan tercipta bukan dari eksploitasi, melainkan dari keadilan yang ditegakkan berdasarkan syariat.[]
0 Komentar