Siti Rima Sarinah
#Bogor — Maraknya kasus PHK yang berujung meningkatnya angka pengangguran masih menjadi PR pemangku kebijakan di negeri ini. PT Sritex salah satu pabrik tekstil terbesar di Indonesia melakukan PHK massal terhadap 10.665 orang karyawannya pada akhir Februari 2025. Kebangkutan PT Sritex menambah daftar panjang pengangguran dan menjadi bukti nyata makin sulit dan sempitnya lapangan pekerjaan di negeri ini.
Kasus pengangguran terjadi di seluruh negeri ini, termasuk Kota Bogor. Berbagai upaya dilakukan oleh Pemkot Bogor, salah satunya adalah Program Padat Karya. Program ini bertujuan untuk menekan angka pengangguran dan diikuti 1.700 orang se-kota Bogor. Agar program ini berjalan sesuai harapan, Pemkot Bogor menggelontorkan dana hingga miliaran rupiah. (radarbogor, 21/07/2025)
Adapun kegiatan yang dilakukan dalam Program Padat Karya tersebut adalah pembangunan/rehabilitasi drainase atau saluran air yang seringkali menjadi penyebab banjir dan mampet, serta pembersihan berbagai fasilitas umum, dan lain-lain. Ada beberapa kategori peserta yang ikut dalam program tersebut di antaranya pekerja rentan, perempuan kepala rumah tangga, penyandang disabilitas, masyarakat yang tercatat dalam kategori miskin ekstrem, dan pengamen jalanan.
Program ini menjadi harapan baru bagi masyarakat untuk bisa bertahan hidup di tengah maraknya angka pengangguran dan diharapkan mampu mengubah perekonomian masyarakat menuju sejahtera. Namun, apakah bisa dipastikan program ini bisa mengatasi angka pengangguran dalam jangka waktu yang lama?
Jika kita mencermati maraknya angka pengangguran di negeri yang terkenal dengan sebutan Zamrud Khatulistiwa, sungguh mengherankan. Pasalnya negeri yang kaya akan sumber daya alam seharusnya mampu menciptakan lapangan pekerjaan yang seluas-luasnya bagi masyarakat. Namun fakta berbicara lain, sistem kapitalisme yang mencengkeram semua lini aturan dan kebijakan di negeri ini telah merampas semua kekayaan alam untuk dikelola oleh korporasi. Mereka diberi kebebasan untuk berinvestasi dengan dalih untuk meningkatkan perekonomian negara, padahal semua hasil kekayaan dari Indonesia dibawa kabur ke luar negeri. Ditambah lagi, lapangan pekerjaan makin sempit karena adanya era globalisasi yang membuka kesempatan bagi pekerja asing bersaing dengan pekerja pribumi.
Ironisnya, pekerja asing dengan mudah mendapatkan pekerjaan di sektor strategis dengan jabatan dan gaji yang jumlahnya sangat fantastis. Sedangkan pekerja pribumi yang notabene rakyat yang bermukim di negeri ini diperlakukan bak “anak tiri”, tidak diberi kesempatan yang luas untuk bisa mendapatkan pekerjaan karena kesempatan tersebut diprioritaskan untuk pekerja asing. Maka wajarlah di tengah maraknya pengangguran, bersamaan itu pula gempuran massifnya pekerja asing masuk ke negeri ini makin leluasa.
Berbagai fakta di atas seharusnya bisa membukakan mata kita untuk menyadari bahwa apa pun program dan solusi yang ditawarkan oleh sistem kapitalisme, hanya berujung pada kemiskinan dan penderitaan rakyat semata. Sebab, solusi tersebut tak menyentuh akar persoalan yang sesungguhnya, yakni mengapa persoalan pengangguran terus terjadi. Mirisnya, persoalan pengangguran dan persoalan kehidupan lainnya justru bersumber dari penerapan sistem kapitalisme yang menjadi asas lahirnya aturan dan kebijakan di negeri ini.
Persoalan pengangguran dan persoalan lainnya akan sirna dari kehidupan masyarakat, apabila sistem pembuat masalah diganti dengan sistem yang shahih (benar) yaitu sistem yang berasal dari Allah Swt., Sang Pencipta manusia. Sebab, Islam hadir sebagai pemecah problematika kehidupan manusia. Bak obat yang mampu mengobati orang yang sakit, Islam memiliki seperangkat aturan yang sempurna agar perekonomian rakyat berjalan dengan sempurna dan semua individu rakyat bisa merasakan hidup makmur dan sejahtera.
Dalam sistem Islam, negara bertanggung jawab untuk menyediakan lapangan pekerjaan, sehingga setiap laki-laki yang sudah menikah dapat menafkahi keluarganya dengan cara yang layak. Bagi perempuan, tidak ada kewajiban untuk menanggung nafkah baik bagi dirinya sendiri maupun keluarganya. Justru perempuanlah yang dinafkahi, bukan menafkahi. Kalaupun perempuan bekerja, maka Islam membolehkannya tapi bukan karena tanggungan nafkah—lebih untuk mengabdikan ilmu dan keahliannya.
Sedangkan penyandang disabilitas, mereka akan mendapatkan santunan dari negara karena keterbatasan gerak mereka. Kalaupun mereka bekerja, maka harus dipastikan jenis pekerjaan tersebut memang mampu dilakukan oleh penyandang disabilitas. Jangan sampai negara justru membebani mereka, dengan kata lain negara menzalimi mereka.
Negara menghidupkan perekonomian sektor riil, sehingga mampu menyerap tenaga kerja di perusahaan atau pabrik-pabrik. Negara juga bisa memberikan bantuan modal usaha kepada individu rakyat, memberikan sebidang tanah pertanian untuk digarap, atau memberikan modal berupa hewan ternak yang bisa dibudidayakan oleh rakyatnya. Penyediaan lapangan kerja ini juga disertai dengan pendampingan atau pelatihan-pelatihan, sehingga bukan by project semata, tapi murni dalam rangka mengurusi rakyatnya agar mereka mendapatkan penghidupan yang layak. Negara harus memastikan setiap individu rakyat merasakan hidup yang layak dan jauh dari kemiskinan ekstrem.
Di sisi lain, dalam pandangan Islam semua kekayaan alam hakikatnya adalah milik rakyat. Kekayaan alam yang berlimpah ini dikelola dan dikontrol langsung oleh negara, tapi tidak dimiliki oleh negara. Negara tidak memberikan celah sedikit pun bagi swasta apalagi korporasi untuk mengelola kekayaan alam yang tujuannya hanya untuk kepentingan mereka sendiri, seperti yang terjadi di negeri ini.
Selain itu, hasil dari pengelolaan kekayaan alam akan dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk jaminan pendidikan, kesehatan, keamanan, tersedianya sarana prasarana (fasilitas) umum, transportasi, dan kebutuhan pokok lainnya, termasuk anggaran untuk menyediakan lapangan kerja seluas-luasnya.
Inilah mekanisme negara dalam naungan syariat Islam yang mampu menuntaskan masalah pengangguran, juga masalah kehidupan lainnya. Walhasil, negeri ini akan terbebas dari berbagai masalah kehidupan, jika syariat Islam dijadikan asas bagi lahirnya berbagai aturan dan kebijakan. Menjadi suatu hal yang urgen untuk segera melepaskan diri dari sistem kapitalisme—dalang pembuat masalah. Dengan demikian, rakyat akan dapat merasakan hidup makmur dan sejahtera dalam naungan Islam. Wallahualam.[]
0 Komentar