Payment ID Bikin Cemas, Privasi Keuangan Jadi Taruhan?

 



Hanin Syahidah 



Catatan Redaksi — Sudah jatuh tertimpa tangga pula. Begitu mungkin pepatah yang cocok bagi rakyat negeri ini, pascapemblokiran saldo dorman 3 bulan yang sudah banyak makan korban. Kembali publik dihebohkan dengan rencana peluncuran payment ID oleh Bank Indonesia dilansir laman Tempo.co (20/07/2025), bahwa Bank Indonesia (BI) akan meluncurkan sistem pembayaran digital baru bernama Payment ID pada 17 Agustus 2025. Sistem ini merupakan bagian dari Blueprint Sistem Pembayaran Indonesia (BSPI) 2030 dan dirancang sebagai kode unik berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang mengintegrasikan seluruh aktivitas keuangan individu. 

"Payment ID akan menjadi fondasi dari sistem pembayaran yang transparan dan bertanggung jawab," ujar Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dudi Dermawan. Menurutnya, sistem ini bagian dari langkah penting pemerintah menghadirkan sistem keuangan yang sehat dan inklusif. Payment ID dapat mencatat dan menggabungkan data dari berbagai sumber keuangan seperti rekening bank, kartu kredit, dompet elektronik, hingga pinjaman daring. Banyak pihak merespon hal ini, bahkan tidak jarang menuai kontroversi.

Ciri khas penggunaan teknologi adalah dua mata pisau. Satu sisi akan mempermudah negara membaca mobilitas dan dinamisasi keuangan warga negara bahkan sampai kepada mengukur pertumbuhan ekonomi negara. Di sisi lain, ada kondisi yang dikhawatirkan oleh masyarakat adalah terkait privasi keuangan mereka dan keamanan data pribadi yang hari ini rawan bocor. Apalagi adanya distrust kepada penjagaan dan perlindungan negara terhadap data pribadi rakyat. Seperti yang ramai dibicarakan di X di antaranya respon netizen.

"17 Agustus 2025. BI akan meluncurkan Payment ID. Hal ini sangat parah... Gak ada privasi data keuangan. Mereka (Pemerintah) bisa melihat asset kita dmn," cuit akun @ba**yu dilihat Minggu (10/08/2025).

"Pemerintah selalu selangkah ke depan tiap urusan penarikan pajak. Tapi urusan yang lain malah ribuan langkah di belakang. Mending urusin pungli dulu tuh, biar sistem ekonomi dan investasi indo membaik," tulis akun @Le***un (Finance.detik.com, 10/08/2025).

Memang masih banyak PR terkait hal ini, terlebih kondisi distrust yang cukup besar kepada pemerintah. Benarkah program ini untuk memudahkan rakyat ataukah untuk menekan keuangan rakyat yang sudah sangat sekarat? Sebab muncul opini, ini adalah salah satu upaya "stalker" keuangan rakyat agar mudah diciduk untuk ditarik pajak. Jadi, rakyat makin terjepit dari banyak arah. Apalagi kondisi ekonomi rakyat hari ini yang sudah sulit, terlebih kelas menengah "mengap-mengap". Sebagai penduduk mayoritas negeri ini,  sudahlah gaji numpang lewat, biaya hidup mahal, tabungan juga seret, paket komplit sengsaranya. 

Seharusnya pemerintah hadir untuk mengurusi mereka dengan meringankan tekanan hidup rakyatnya, bukan malah menambah beban dan tekanan baru yang membuat mumet rakyat menghadapi hidupnya. Namun, kondisi ini memang wajar terjadi dalam sistem kapitalisme hari ini—posisi negara bukan mengurusi rakyat tapi negara menjadikan rakyat sebagai aset yang menguntungkan bahkan menjadi lahan bisnis besar bagi negara—aktor intinya adalah kongkalikong antara penguasa dan pengusaha untuk mengambil keuntungan yang besar dari rakyat.

Dengan kata lain, rakyat adalah sapi perah bagi penguasa. Meskipun kadangkala ada kebijakan yang mungkin terkesan memihak rakyat, sejatinya itu adalah lips service sesaat yang hanya memberi sedikit hiburan bagi rakyat, tapi porsi besarnya tetap mengincar aneka proyek yang bisa mendapatkan keuntungan dari rakyat, termasuk perputaran dana-dana pribadi rakyatnya. Padahal, itu tidak jarang adalah uang hasil keringat dan peluh rakyat. Ketika itu sudah menjadi kepemilikan individu harusnya negara justru melindunginya dari pungli ataupun pajak, bukan mengincarnya dengan berbagai dalih.

Kondisi ini sangat berbeda secara diametral dengan sistem Islam—posisi negara adalah sebagai Raain (pengurus) bagi rakyatnya sebagaimana gembala yang mengurusi binatang gembalaannya. Dalam Islam, kepemilikan individu sangat dilindungi oleh negara—tidak diawasi, bahkan didikte nilai transaksinya. Karena itu bukan ranah urusan negara, justru negara memberi perlindungan keamanan akses keuangannya dari pencurian, penipuan, bahkan perampokan baik secara offline atau online. Perputaran dana-dana pribadi tidak akan diawasi oleh negara, semua berjalan sesuai kepentingan warga negara sebagai hak pribadinya Negara Daulah. 

Dalam Daulah Islam, fokus aktivitas pengawasan, pengelolaan, dan pemanfaatannya, semua untuk kepentingan rakyat adalah pada aset kepemilikan umum dan kepemilikan negara. Negara juga benar-benar memperhatikan secara detil dan menyeluruh semua pemenuhan kebutuhan rakyat terutama kebutuhan pokoknya. Hal ini menjadikan rakyat akan tenang dan tentram dalam hidupnya, karena kebutuhan pokoknya benar-benar telah terjamin dan mudah untuk dipenuhi, bukan serba was-was seperti saat ini. Begitulah perbedaan nyata antara sistem kapitalisme-sekuler dengan Islam. Maka, sudah saatnya sistem Islam menjadi solusi alternatif rasa was-was dan distrust yang terus menggejala dalam sistem saat ini. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar