Halima Noer
Muslimah News, FOKUS TSAQAFAH — Menteri Agama (Menag) Nasaruddin Umar menegaskan pentingnya peran Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) dalam menjaga stabilitas sosial dan menjadi perisai kerukunan antar-umat beragama di Indonesia. Hal itu dikatakan Menag dalam forum Silaturahmi Nasional Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), Rabu (6-8-2025), “Alhamdulillah, pertemuan ini luar biasa. Forum Kerukunan Umat Beragama inilah yang akan menjadi perisai kerukunan kita,” ujar Menag.
Menag juga mengatakan bahwa kegiatan Silaturahmi Nasional FKUB ini menjadi garda terdepan dalam merespons isu-isu keagamaan di masyarakat. Ia mendorong seluruh pejabat, baik di tingkat pusat maupun daerah, untuk memberikan dukungan nyata kepada FKUB dengan menyediakan ruang dan fasilitas yang memadai dalam menjalankan tugas-tugasnya.
Menurutnya, FKUB terbukti menjadi pihak yang paling tanggap, cepat, dan efektif dalam menyelesaikan persoalan-persoalan yang berkaitan dengan kehidupan keagamaan di tengah masyarakat.
“Semakin kuat daya kerja FKUB, semakin stabil bangsa kita. Maka saya mengimbau sekali lagi kepada semua pihak, khususnya pemerintah daerah, untuk memberikan perhatian dan mendukung pelaksanaan program-program budaya FKUB,” kata Menag.[i]
Namun, benarkah keberadaan FKUB bisa mewujudkan kerukunan? Atau klaim belaka yang jauh dari kenyataan?
Problem Kerukunan
Indonesia dengan penduduknya yang plural, baik dari sisi suku, warna kulit, bahasa hingga agama, dari dahulu dikenal sebagai negara yang sangat rukun. Kalaupun ada konflik-konflik kecil, itu wajar saja. Dalam masyarakat yang majemuk memang memungkinkan terjadinya hal tersebut. Namun, beberapa tahun belakangan cukup banyak bermunculan konflik antarumat beragama yang dipicu izin pendirian rumah ibadah.
Sebut saja pendirian Gereja Yasmin yang berpolemik belasan tahun, pendirian gereja di Cilegon, pembangunan Gereja Santa Monica di Tangerang, dan yang lainnya. Ironisnya, akibat konflik pendirian rumah ibadah ini, sebagian pihak kerap menuduh umat Islam sebagai umat yang intoleran. Padahal faktanya, banyak kasus terjadi karena persyaratan administrasi yang tidak memadai, bahkan hingga pemalsuan KTP.
Dalam berbagai konflik pendirian rumah ibadah tersebut, FKUB telah mengambil peran yang penting. Sebagaimana diketahui, FKUB memang dibentuk oleh pemerintah pada 2006 melalui Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri untuk memberikan peran konsultatif pada tingkat provinsi, kabupaten, dan kota dalam masalah hubungan antaragama.
Pertanyaannya, apakah keberadaan FKUB mampu menjaga stabilitas sosial dan menjadi perisai kerukunan antarumat beragama di Indonesia?
Ternyata tidak! Konflik-konflik baru terus bermunculan. Pemicunya bukan hanya pendirian rumah ibadah, tetapi juga bermunculannya rumah-rumah doa di permukiman muslim. Misal, konflik rumah doa di Padang yang terjadi pengrusakan dan pembubaran sebuah rumah doa milik Gereja Kristen Setia Indonesia (GKSI) Anugerah pada Ahad (27-7-2025).
Sebelumnya, konflik rumah doa juga terjadi di Desa Tangkil, Kecamatan Cidahu, Sukabumi (27-6-2025). Rumah tersebut sebelumnya digunakan untuk produksi jagung dan peternakan ayam, tetapi mulai difungsikan sebagai tempat ibadah sejak April 2025. Meskipun warga telah menyampaikan keberatan secara persuasif, aktivitas ibadah tetap berlangsung dan memicu ketegangan hingga berujung pada perusakan. Siapa yang disalahkan? Lagi-lagi, umat Islam yang dituduh tidak memberikan kebebasan beribadah bagi nonmuslim.
Namun, masalahnya bukanlah pada tidak memberi kebebasan beribadah, tetapi bermunculannya rumah-rumah doa di permukiman muslim yang mengandung ancaman terselubung bagi umat Islam, yakni gerakan pemurtadan yang makin masif dilakukan. Warga setempat yang mayoritas muslim pasti ingin menjaga akidah mereka dan keluarga mereka. Wajar jika kemudian mereka menolak. Hal inilah yang kemudian memicu konflik. Nyatanya, keberadaan FKUB belum mampu menjadi perisai kerukunan.
Kegagalan Negara Sekuler
Kegagalan FKUB menjamin kerukunan adalah cerminan kegagalan negara sekuler hari ini karena FKUB adalah lembaga bentukan negara. Berbagai pengaturan yang dilakukan negara nyatanya belum mampu mewujudkan kerukunan. Peraturan yang dibuat terus berubah-ubah. Hari ini dipandang baik, belum tentu besok ataukah lusa.
Misalnya, Peraturan Bersama Menteri (PBM) Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri No. 9/2006 dan No. 8/2006 terkait Pendirian Rumah Ibadah yang digugat oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Pada Maret 2023, melalui beberapa kadernya, PSI meminta penghapusan aturan terkait syarat memperoleh IMB rumah ibadah yang mewajibkan adanya rekomendasi dari FKUB. FKUB dianggap kerap menghambat pembangunan rumah ibadat. Namun, gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung (MA) pada 8-6-2023.
Bertolak belakang dengan MA, Kemenag justru menargetkan terbitnya perpres tentang Kerukunan Umat Beragama yang di dalamnya bakal mempermudah izin pendirian rumah ibadah. Alih-alih menyelesaikannya, perpres tersebut dianggap makin memperuncing konflik kerukunan antarumat beragama. Pasalnya, alasan Kemenag mengubah PBM adalah karena terjadi diskriminasi mayoritas atas minoritas.
Ternyata, semua itu hanya narasi palsu. Jumlah umat Islam sangat besar, yaitu 86,93% dari penduduk Indonesia, tetapi jumlah masjid yang didirikan hanya 74% dari total rumah ibadah. Bandingkan dengan gereja, populasi umat Nasrani hanya 10,55%, tetapi jumlah gereja jauh lebih besar, mencapai 22,28% dari jumlah total rumah ibadah. Jumlah gereja yang ada sudah lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan seluruh jemaat Nasrani. Artinya, tidak ada diskriminasi terhadap nonmuslim di negeri ini. Justru sebaliknya, umat Islam yang mengalami diskriminasi melalui berbagai kebijakan pemerintah.
Umat Islam Terdiskriminasi
Beberapa kebijakan pemerintah terkait masalah kerukunan nyatanya sangat diskriminatif terhadap umat Islam. Lihat saja, banyak ulama yang menyuarakan kebenaran Islam justru dipersekusi dan dikriminalisasi, dituduh radikal dan menentang pemerintah. Bahkan baru-baru ini, dua ASN di Aceh langsung diciduk dan dicap teroris, padahal belum diadili. Lalu di mana letak keadilan hukum bagi umat Islam hari ini?
Tidak hanya itu, sebagian ajaran Islam—seperti jihad dan Khilafah—juga distigma, dituduh sebagai ajaran radikal dan merusak persatuan dan kesatuan bangsa. Padahal, keduanya adalah ajaran Allah, Al-Mudabbir, Sang Pembuat hukum dan aturan. Bagaimana bisa ajaran Allah dianggap radikal dan berbahaya?
Masjid sebagai tempat umat Islam beribadah dan menimba ilmu agama pun tidak luput dari stigma. Ada larangan membicarakan politik di masjid, padahal politik adalah bagian dari ajaran Islam. Lalu sertifikasi dai dan wacana penyeragaman teks khotbah Jumat—yang pada akhirnya mengebiri ajaran Islam sebatas kepentingan penguasa. Inikah yang disebut toleransi? Inikah yang dimaksud dengan kerukunan?
Faktanya, berbagai konflik yang terjadi adalah karena tidak adanya peran negara dalam menjamin pelaksanaan ajaran agama bagi seluruh warga negaranya. Bagi warga nonmuslim, jaminan itu memang ada. Namun, bagi warga muslim, mereka tidak memiliki hak untuk menjalankan syariat agamanya secara kafah, padahal Islam merupakan agama mayoritas di negeri ini. Sering kali pula seruan penerapan Islam kafah diidentikkan dengan intoleransi dan radikalisme. Apa arti semua ini? Ya, kita masih terjajah!
Kondisi umat yang dipaksa mengamalkan toleransi kebablasan, dihalangi dalam menjalankan ajaran agamanya secara kafah, lalu distempel dengan sebutan radikal, semua itu adalah bukti bahwa kita hari ini masih belum merdeka secara hakiki. Umat Islam masih terjajah secara pemikiran sehingga tidak mampu berpikir melainkan sesuai dengan cara berpikir Barat yang kufur.
Isu kerukunan sejatinya hanyalah upaya untuk menjejali benak umat Islam dengan pluralisme agama yang mengajarkan toleransi kebablasan ala Barat yang jauh bertentangan dengan Islam. Dalam kaca mata Barat, sah-sah saja mendirikan rumah ibadah sebanyak apa pun, di mana pun, dan melakukan aktivitas apa pun, termasuk melakukan pemurtadan terhadap warga muslim.
Atas nama menjaga kerukunan, warga muslim didorong untuk masuk rumah ibadah nonmuslim. Jika tidak mau, harus siap-siap dicap radikal dan intoleran. Mereka juga didorong mengucapkan selamat hari raya umat lain, mau merayakan hari raya bersama, bahkan dipaksa mengakui bahwa semua agama adalah benar. Padahal, dalam keyakinan muslim, hanya Islam agama yang benar.
Allah Swt. berfirman,
إِنَّ ٱلدِّينَ عِندَ ٱللَّهِ ٱلْإِسْلَٰمُ ۗ وَمَا ٱخْتَلَفَ ٱلَّذِينَ أُوتُوا۟ ٱلْكِتَٰبَ إِلَّا مِنۢ بَعْدِ مَا جَآءَهُمُ ٱلْعِلْمُ بَغْيًۢا بَيْنَهُمْ ۗ وَمَن يَكْفُرْ بِـَٔايَٰتِ ٱللَّهِ فَإِنَّ ٱللَّهَ سَرِيعُ ٱلْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridai) disisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Alkitab, kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barang siapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah, maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (QS Ali Imran: 19).
Khilafah, Jaminan Terwujudnya kerukunan
Negara yang berasaskan sekularisme tidak akan pernah mampu menciptakan kerukunan antarumat beragama. Selain sistemnya lemah karena buatan manusia sehingga pasti menimbulkan konflik, sistem ini juga menafikan Islam sebagai agama rahmatan lil alamin yang mengatur umat manusia dalam seluruh aspek kehidupannya.
Negara semacam ini juga akan melakukan berbagai upaya untuk menyingkirkan Islam politik, dan menghadirkan Islam ritual yang telah disesuaikan dengan kepentingan penguasa. Lahirlah kebijakan-kebijakan yang diskriminatif terhadap Islam dan umat Islam sehingga justru memperuncing konflik antara umat Islam dengan nonmuslim.
Oleh karenanya, mengganti sistem sekuler ini dengan sistem Islam adalah solusi tuntas mengatasi konflik kerukunan umat beragama. Islam adalah satu-satunya agama yang benar—yang Allah Swt. turunkan untuk mengatur umat manusia. Penerapan seluruh aturan Islam meniscayakan terciptanya kerukunan antarumat beragama.
Pengaturan Islam terhadap nonmuslim juga telah diimplementasikan sejak masa Rasulullah ﷺ hingga masa kekhalifahan Islam selama berabad-abad lamanya. Dalam Kitab Syakhshiyyah Islamiyah Juz 2 yang ditulis oleh Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dijelaskan bahwa dalam sistem Islam terdapat kaum kafir yang menjadi warga negara (Daulah) Khilafah. Mereka disebut sebagai kafir zimi. Mereka wajib membayar jizyah yang ditarik hanya bagi yang mampu membayarnya. Setiap warga negara, baik muslim ataupun nonmuslim, akan diperlakukan sama sebagai penduduk negara. Tidak boleh ada paksaan untuk masuk dalam agama Islam. Tidak boleh ada pula kebijakan yang menzalimi mereka sehingga keadilan akan benar-benar dirasakan seluruh umat manusia.
Syekh Taqiyuddin an-Nabhani juga menyatakan dalam kitabnya yang lain (Ad-Daulah fil Islam), “Sesungguhnya di antara kewajiban setiap muslim terhadap kafir zimi (nonmuslim yang dilindungi dalam negara Islam) adalah berbuat lembut kepada kaum lemah mereka, menutup kebutuhan kefakiran mereka, memberi makan orang yang kelaparan dari kalangan mereka, memberi pakaian kepada mereka yang telanjang, mengajak mereka berbicara dengan kata-kata yang lembut, dan menanggung penderitaan tetangga dari mereka semampunya. Bersikap lembut kepada mereka bukan dengan cara menakuti, bukan pula dengan cara penghormatan yang berlebihan. Ikhlas memberi nasihat kepada mereka dalam semua urusannya, melawan orang yang hendak menyerang dan mengganggu mereka, menjaga harta, keluarga, kehormatan, dan seluruh hak serta kepentingan mereka. Setiap muslim bergaul dengan mereka sebaik mungkin dengan akhlak mulia yang dapat ia lakukan.”
Adapun aturan mengenai pembangunan rumah ibadah nonmuslim, hanya boleh dibangun di permukiman mereka. Di permukiman warga muslim, tidak boleh dibangun rumah ibadah, kecuali masjid. Hal ini merupakan penjagaan Khilafah terhadap akidah umat Islam sebab tempat peribadatan adalah sarana untuk syiar agama. Warga negara nonmuslim diberikan kebebasan beribadah, tetapi mereka tidak boleh mensyiarkan agama mereka, kecuali hanya di kalangan mereka. Itulah bentuk toleransi yang diajarkan Islam.
Tinta sejarah menorehkan berbagai peristiwa terkait praktik toleransi pada masa Islam. Misalnya dalam kitab As-Sirah an-Nabawiyah, Muhammad Shallabi menceritakan pada 9 Hijriah, ketika utusan Kristen Najran pergi ke Madinah, mereka disambut dengan baik oleh Rasulullah. Rasul berkirim surat kepada uskup mereka, Abu al-Harist. Intinya tentang jaminan keamanan dalam melaksanakan ibadah. Jaminan ini tidak berlaku bagi agama Nasrani, tetapi juga untuk agama-agama lain, selama mereka mau menaati perjanjian dalam Piagam Madinah. Jaminan melaksanakan ibadah sama saja dengan kebolehan mendirikan rumah ibadah.
Syekh Yusuf al-Qardhawi memberikan catatan menarik dalam Kitab Al-Aqalliyât ad-Dîniyyah wa al-Hall al-Islâmi bahwa sejak masa Khulafaurasyidin, orang Yahudi dan Nasrani bisa menunaikan ibadah dengan penuh kebebasan dan aman. Bahkan, Tembok Ratapan (yang merupakan bagian penting yang dijadikan tempat ritual Yahudi di Yerusalem saat ini) yang dahulunya tertimbun bangunan, saat Khalifah Utsmani Sulaiman al-Qanuni tahu hal itu, beliau mengutus Gubernur Al-Quds untuk membersihkannya dan mengizinkan orang Yahudi untuk menziarahinya. Ini dikisahkan oleh Shâlih bin Husain al-‘Abid dalam Huqûq Ghayr al-Muslimîn fî Bilâdi al-Islâm.
Khatimah
Demikianlah, kaum muslim mempunyai sejarah gemilang yang mencatat kerukunan umat beragama selama 14 abad lamanya. Di bawah naungan Khilafah, ribuan bahkan ratusan ribu suku dan kabilah hidup damai dan rukun dengan toleransi yang luar biasa. Belum pernah ada dalam sejarah peradaban mana pun saat semuanya bersatu, kecuali di dalam naungan Khilafah.
Oleh karena itu, mengganti sistem hari ini dengan Khilafah Islamiah—yang telah terbukti berabad-abad mampu menciptakan kerukunan dan keharmonisan antarumat manusia—merupakan perkara penting untuk diperjuangkan. Wallahualam bissawab.
0 Komentar