Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Jelang
perayaan Hari Ulang Tahun Republik Indonesia (HUT RI) ke-80, marak fenomena
pengibaran bendera serial animasi Jepang, One Piece. Salah satu lembaga monitor
dan analisis sosial media Drone Emprit menyatakan bahwa gerakan pemasangan
Jolly Roger (bendera bajak laut) berlangsung bahkan sebelum Juli 2025. Namun, seruan
memasang Jolly Roger ala One Piece mulai viral di media sosial sejak 26 Juli
lalu dan mencapai puncak pada 28–30 Juli 2025 (bbc.com, 02/08/2025).
Berbagai lembaga analisis
media sosial menyebutkan seruan tersebut bersifat organik, tanpa disertai
mobilisasi tokoh berpengaruh ataupun kelompok tertentu. Perbincangan terkait
seruan tersebut pun berlangsung cukup natural di berbagai media sosial antara
akun-akun yang terindikasi organik serta beragam.
Fenomena tersebut kemudian
menuai berbagai tanggapan dari jajaran pemerintah. Menteri Koordinator Politik
dan Keamanan (Menko Polkam) Budi Gunawan menilai bahwa pengibaran bendera topi
jerami menjelang HUT RI secara nyata mengandung unsur tindak pidana. Ia
menyebut pemerintah akan segera mengambil tindakan hukum atas perbuatan yang
dianggap mencoreng martabat dan simbol negara.
Di sisi lain, Wakil Ketua
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) Sufmi Dasco Ahmad menyebut adanya upaya
memecah-belah persatuan dan kesatuan bangsa melalui viralnya seruan pemasangan
bendera One Piece tersebut. Senada dengan Ahmad, Anggota DPR dari fraksi Golkar
Firman Soebagyo menyatakan bahwa pengibaran bendera selain merah putih dalam
nuansa hari kemerdekaan sebagai bagian dari provokasi untuk menyerang
pemerintahan yang sah (tempo.co, 01/08/2025).
Berbeda dengan menko polkam
dan kedua anggota DPR tersebut, Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Siti
Hediati Hariyadi Soeharto (Titiek Soeharto) menekankan bahwa Indonesia
selayaknya sebuah negara besar tidak seharusnya menanggapi masalah ‘sepele’
semisal pengibaran bendera anime tersebut. Ia menyebut saat ini terdapat lebih
banyak sejumlah masalah yang membutuhkan perhatian pemerintah. Titiek bahkan
menyatakan tersebarnya isu pemberontakan seiring dengan pengibaran bendera topi
jerami adalah hal yang tidak perlu ditanggapi serius (rmol.id, 02/08/2025).
Dalam anime One Piece,
bendera topi jerami bukan sekedar simbol kelompok kriminal (bajak laut). Jolly
Roger ikonik tersebut adalah simbol kebebasan, solidaritas dan bentuk
perlawanan atas otoritas korup yang berkuasa di lautan lepas. Bendera tersebut
kemudian digunakan para ‘pembebas’ yang menolak untuk tunduk atas perlakuan
korup “World Government”—sistem global represif—yang dalam anime One Piece
berperan mengontrol hukum, sejarah, dan tata nilai kebenaran masyarakat.
Dari sini jelas bahwa
pengibaran Jolly Roger ala One Piece menjelang HUT RI ke-80 tidak bisa kita
pandang sebelah mata. Fenomena tersebut bisa kita simpulkan sebagai bentuk
ekspresi masyarakat menyampaikan kekecewaannya atas situasi sosial dan
pemerintah sebagai penyelenggara kebijakan negara. Seperti halnya simbol garuda
“Indonesia Darurat” yang ramai tersebar di media sosial pada awal tahun ini,
seruan pengibaran bendera One Piece secara jelas mengandung sentimen serupa.
Lebih jauh, fenomena ‘tergesernya’ simbol negara yakni bendera merah putih
dengan simbol fiksi budaya populer semisal Jolly Roger versi One Piece
menunjukkan adanya distorsi makna simbolik. Aksi tersebut bahkan bisa dinilai
sebagai bentuk ‘protes diam’ masyarakat melalui penggunaan simbol global yang
dianggap lebih relevan dibanding dengan simbol resmi kenegaraan.
Ekspresi kekecewaan
masyarakat yang disampaikan melalui seruan pengibaran bendera One Piece muncul
seiring dengan masih kuatnya ingatan mereka akan pelaksanaan pesta demokrasi
2024 silam. Kekecewaan timbul tatkala janji-janji manis pemilihan umum (pemilu)
para calon wakil rakyat tidak kunjung terealisasi. Celakanya bukan hanya
dibohongi janji-janji manis, rakyat juga disajikan berbagai kebijakan
pemerintah yang secara nyata merugikan masyarakat. Sebut saja kebijakan
kenaikan pajak, kebijakan pembokliran rekening ‘nganggur’, pengambilalihan
tanah ‘nganggur’, pengesahan KUHAP hingga karut-marutnya pelaksanaan program
Makan Bergizi Gratis (MBG) membuat rakyat kian jengah. Kekecewaan demi
kekecewaan yang dirasakan rakyat jelata kemudian memunculkan gerakan resistensi
(perlawanan) melalui simbolisme pengibaran bendera topi jerami.
Kekecewaan masyarakat yang
kian menumpuk seharusnya tidak hanya ditunjukkan melalui simbol. Lebih dari itu,
rakyat Indonesia sepatutnya melihat lebih jauh arah gerakan perubahan yang
dibutuhkan negeri ini guna mencapai kesejahteraan. Sayangnya, gerakan perubahan
yang selama ini banyak diinisiasi masyarakat masih terkungkung oleh paradigma
penjajah—ideologi kapitalisme-sekuler. Walhasil, perubahan yang ditawarkan oleh
segelintir anggota masyarakat tidak lebih sekedar upaya “tambal sulam” yang
tidak pernah benar-benar mengurai akar masalah sosial-ekonomi negeri ini.
Perlu dipahami bersama
bahwa kerusakan negeri ini justru berakar dari penerapan sistem kapitalisme-sekuler
yang membuat negeri ini tidak pernah bisa merasakan ketenteraman. Masyarakat
senantiasa diiming-imingi hal-hal ‘artifisial’ setiap kali berupaya melakukan
perubahan. Tidak jarang penguasa menggencarkan pemberian bansos (bantuan
sosial), ‘priviledge’ bagi masyarakat miskin melalui berbagai program
‘gratis’ hingga pemberian subsidi sebagai bentuk pencitraan. Pemerintah juga
secara aktif mempekerjakan buzzerRp di media sosial guna menutup mata rakyat
dari buruknya sistem kepemimpinan demokrasi melalui pemberitaan ‘keberhasilan’
semu pemerintah.
Celakanya, kerusakan
akibat penerapan sistem kapitalisme-sekuler telah menjangkiti sistem pendidikan
negeri. Sistem pendidikan ala penjajah yang diterapkan bangsa ini secara
struktural menjadikan taraf berpikir mayoritas masyarakat begitu pragmatis dan
dangkal. Penjajahan pemikiran semacam ini secara nyata menyebabkan generasi
muda kehilangan daya kritis dan daya tolak atas penjajahan politik-ekonomi yang
berlangsung secara masif di negeri ini. Jika pun kemudian masyarakat menyatakan
penolakan atas kebijakan penguasa, sebagaimana munculnya fenomena pengibaran
bendera One Piece, mereka tidak memiliki kemampuan berpikir politis dan
mengalami ‘kebingungan akut’ atas langkah selanjutnya yang harus diambil dalam
mencapai perubahan asasi.
Dari sini, muncul berbagai
macam makna ‘perubahan’ di tengah-tengah masyarakat. Sayangnya, perubahan yang
dimaksud lagi-lagi hanya sebatas merubah kebijakan tanpa adanya perubahan
sistem politik-sosial-ekonomi negara. Mobilisasi pergerakan umat cenderung
bersifat sporadis tanpa arah pandang yang jelas. Gerakan semacam ini kemudian
bisa dengan mudah dibungkam oleh penguasa melalui kekuatan undang-undang.
Suara-suara vokal rakyat dibungkam melalui pembubuhan label radikal sebagaimana
yang terjadi dalam penerapan UU Ormas guna menyingkirkan organisasi-organisasi
masyarakat yang dianggap tidak sejalan dengan penguasa.
Perubahan hakiki menuju
kemerdekaan sejati hanya dapat terwujud tatkala manusia terbebas dari
penghambaan kepada sesama makhluk beserta aturan-aturan yang dibuatnya. Bukan
kemerdekaan namanya jika kita masih terjebak dalam sistem pemerintahan yang
menjadi buah hasil pemikiran manusia semisal sistem kapitalisme-sekuler. Kemudian,
makna kemerdekaan kian sulit digapai ketika kebijakan negeri ini justru
dikendalikan oleh asing dan aseng. Jangankan untuk menyejahterakan masyarakat,
penguasa negeri ini sibuk memenuhi dompet-dompet mereka sembari menyumpal mulut
rakyat dengan berbagai kebijakan represif.
Perubahan dan kemerdekaan
hakiki hanya bisa terwujud ketika manusia hanya tunduk pada aturan Allah Swt.. Hal
ini tampak jelas sebagaimana yang tertulis dalam surat Rasulullah saw. yang
dikirimkan kepada penduduk Najran yang berbunyi, “...Amma ba’du. Aku menyeru
kalian untuk menghambakan diri kepada Allah dan meninggalkan penghambaan kepada
sesama hamba (manusia). Aku pun menyeru kalian agar berada dalam kekuasaan
Allah dan membebaskan diri dari penguasaan oleh sesama hamba (manusia)...”
(Al-Hafizh Ibnu Katsir, Al-Bidâyah wa an-Nihâyah, v/553)
Wallahualam bisawab.[]
0 Komentar