Irawati Tri Kurnia
#Bekasi — Tuntutan modernisasi dan keinginan untuk mereguk keuntungan maksimal seringkali mengorbankan kepentingan rakyat. Termasuk masalah transformasi pasar tradisional.
Peraturan Wali Kota (Perwal) No. 8 Tahun 2025 diterbitkan pemerintah kota Bekasi tentang transformasi pasar tradisional menjadi kawasan multifungsi. Pasar akan diberi ruang untuk bertransformasi (berubah wujud). Jika mengacu pada Perwali ini, pasar tidak hanya sebatas tempat jual beli tapi bisa untuk pusat kuliner, hiburan, perkantoran, bahkan hunian vertikal yang hanya diperuntukkan bagi badan hukum (www.bekasisatu.com, 10/07/2025).
Budiman, Kepala Bidang Pasar Dinas Perdagangan dan Perindustrian (Disdagperin) Kota Bekasi menyampaikan bahwa gambaran 10 tahun ke depan pasar diproyeksikan akan menjadi pusat kegiatan masyarakat yang lengkap dengan mengusung konsep “Mixed-Use Development”. Ini karena berkiblat pada tren modernisasi kawasan kota, di mana ada upaya menggabungkan berbagai fungsi dalam satu lokasi. Dalam rangka mewujudkan hal ini, sebagai langkah awal, pemerintah berencana melakukan sosialisasi kepada pedagang dan investor.
Penataan ruang publik dengan model perubahan dari pasar tradisional ke arah multifungsi ini sangat khas kapitalisme. Seharusnya pasar adalah sebagai tempat rakyat beraktivitas untuk transaksi ekonomi, tapi malah dikomersialkan. Hal ini rawan berpotensi menghilangkan akses pedagang kecil di pasar sebagai fasum yang merupakan hak rakyat karena seringkali berujung pada tingginya biaya sewa atau alih fungsi lahan.
Penyediaan hunian vertikal khusus bagi badan hukum jelas menampakkan keberpihakan pada kepentingan korporasi dan investor, bukan rakyat. Dengan demikian, makin terbuka kesempatan untuk masuknya elemen hiburan dan bisnis yang berdampak makin kaburnya fungsi sosial dan budaya pasar tradisional sebagai ruang interaksi rakyat. Dalam sistem ekonomi kapitalisme sekuler saat ini, kebijakan semacam ini hanya menguntungkan segelintir pihak bermodal besar, sedangkan masyarakat kecil makin tersingkir dari ruang hidup dan ekonomi mereka sendiri.
Berbeda dengan sistem Islam. Sebagai sebuah sistem kehidupan, Islam sangatlah lengkap dan sempurna aturannya. Tidak sebatas mengatur masalah ritual saja, tapi mencakup tataran ranah kehidupan publik seperti ekonomi, sosial, politik, hankam, dan sebagainya. Sistem Islam telah berhasil dalam pengelolaan ruang publik, teruji saat diterapkan dalam institusi pemerintahan Khilafah sebagai satu-satunya penerap Islam secara sempurna (kafah). Berhasil menjadi mercusuar dunia selama 14 abad lamanya dan berhasil menghadirkan peradaban yang gemilang. Hal ini didukung dengan penataan kota yang luar biasa, modern, maju, dan adanya pemerataan fasum yang memberikan pelayanan ekstra bagi rakyatnya.
Melaksanakan Islam kafah sudah menjadi konsekuensi keimanan bagi kaum muslimin, bahwa manusia hidup tujuannya hanyalah untuk ibadah sebagaimana mengacu pada Firman-Nya, “Tidak diciptakan jin dan manusia, kecuali hanya untuk beribadah pada-Ku.” (Surah Az-Zariyat Ayat 56)
Taat pada aturan Islam secara kafah adalah jaminan kebahagiaan bagi manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Seperti mengacu pada Firman-Nya, “Wahai orang-orang yang beriman, masuklah ke Islam secara kafah dan janganlah ikuti langkah-langkah setan...” (Surah Al-Baqarah Ayat 208)
Jadi, pelaksanaan Islam kafah selain sebagai bukti keimanan, juga sebagai wujud meraih rida-Nya. Aturan Islam pasti solutif karena berasal dari Allah Swt. yang Maha Mengetahui apa yang terbaik untuk manusia. Islam kafah hanya bisa diwujudkan oleh Khilafah, sehingga eksistensi Khilafah penting untuk dimunculkan, bahkan memperjuangkannya adalah sebagai “Tajul Furud” (mahkota kewajiban)—tanpa Khilafah maka pelaksanaan syariat tidak akan bisa tegak dengan sempurna.
Dalam sistem Islam, pasar merupakan milik umum (milkiyyah 'ammah) yang wajib dikelola negara untuk kepentingan seluruh rakyat, bukan sebagai lahan investasi komersial. Oleh karena itu, Khilafah tidak akan menyerahkan pengelolaan pasar kepada swasta atau korporasi, apalagi menggabungkannya dengan fungsi apartemen atau hiburan yang bernuansa kapitalistik. Fungsi pasar tetap dipertahankan oleh Khilafah sebagai pusat distribusi barang dan aktivitas ekonomi rakyat dengan prinsip keadilan, keterbukaan, dan tanpa monopoli. Rasulullah sendiri mencontohkan bagaimana pasar difasilitasi untuk rakyat tanpa pungutan sewa dan bebas dari praktik riba.
Khilafah akan menyediakan hunian dan fasilitas umum secara terpisah sesuai fungsinya melalui mekanisme baitulmal. Artinya, pembiayaan akan ditanggung sepenuhnya oleh baitulmal (anggaran keuangan Khilafah)—mewujudkan rumah dan fasum bagi rakyat secara gratis, bebas dari aspek komersial.
Sumber pemasukan Khilafah melimpah sehingga baitulmal akan mampu menanggungnya. Baik dari fai (harta rampasan perang yang bergerak), ghanimah (harta rampasan perang tidak bergerak), jizyah (pungutan bagi warga negara Khilafah kafir dzimmy), usyur (pungutan tanah berstatus usyuriyah/didapat tanpa perang), kharaj (pungutan tanah kharaj/didapat dengan perang), dan pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) yang melimpah. Konsep pembangunan dalam Islam berlandaskan kemaslahatan umat, bukan tren modernisasi yang sering menyisihkan masyarakat kecil.
Oleh karena itu, solusi hakiki terhadap persoalan pasar tradisional ini hanya dapat diwujudkan dengan menerapkan sistem Islam secara menyeluruh dalam naungan Khilafah. Wallahualam bisawab.[]
0 Komentar