Shiha Utrujah
#Wacana — Banyak sekali dinamika yang muncul dalam interaksi antara laki-laki dan perempuan dewasa ini. Para pemuda yang diharapkan perannya sebagai agent of change bagi kebangkitan umat dan negara justru melakukan perbuatan yang tidak pantas dan memalukan.
Dua pasang mahasiswa Malang mengaku menjalani praktik kumpul kebo (kohabitasi), jauh sebelum isu ini ramai diperbincangkan baru-baru ini. Mojok mendengarkan pengakuan mereka perihal apa yang sebenarnya mereka jalani dalam praktik tersebut. Latar belakang mereka melakukan kohabiatsi dengan alasan pernikahan dianggap ribet, baik proses dan setelahnya. Mengingat ketika menikah akan memiliki keterikatan yang sakral membuat keduanya terbebani kebutuhan hidup, berbagai macam tuntutan, memiliki anak, dan sebagainya. (mojok.co, 23/07/2025)
Merujuk data Pendataan Keluarga 2021 (PK 2021/PK21) oleh Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), terungkap fakta bahwa banyak pasangan muda belum menikah yang memilih tinggal bersama di bawah satu atap. Istilah kumpul kebo (kohabitasi) mengacu pada pasangan yang tinggal bersama sebagai suami istri tanpa ikatan perkawinan yang sah. Kohabitasi ini merupakan perilaku yang sudah hampir menyebar ke seluruh lapisan masyarakat Indonesia, sehingga perilaku tersebut sudah dianggap lumrah dan menjadi budaya pergaulan yang tren di kalangan para pemuda.
Dalam lingkungan kapitalisme, kohabitasi hanya perbuatan yang dinilai tidak sesuai moral dan nilai budaya dari suatu bangsa, bukan suatu masalah fundamental yang harus ditebus dengan hukuman berat.
Sekularisme Biang Kerusakan
Sungguh sangat menyedihkan pergaulan pemuda saat ini berkiblat pada gaya hidup ala Barat yang mengusung gaya kekebasan. Sekularisme telah memberi ruang kekebasan pada pemuda dalam melakukan perzinahan yang menjerumuskan mereka pada kemaksiatan. Standar hubungan suka dengan lawan jenis ditentukan oleh hawa nafsu. Akibatnya, nila-nilai ikatan hubungan dan batasan interaksi lawan jenis kian tragis kebabalasan.
Sistem pergaulan antara laki-laki dan perempuan dibangun atas dasar pemisahan agama dari kehidupan. Agama hanya dianggap mengatur urusan ibadah mahdah saja. Namun, urusan yang menyangkut masalah sosial yaitu interaksi antara laki-laki dan perempuan diserahkan kepada masing-masing individu. Akidah tidak dijadikan pondasi dalam berperilaku, maka hawa nafsu menjadi panutan dan hukum atas dasar perbuatan. "Apa mauku ya terserah, mengenai dosa itu urusanku dibelakang selagi aku tidak merugikan orang lain it's ok."
Sekularisme mengajarkan bahwa setiap orang bebas melakukan apa saja, termasuk dalam hubungan laki-laki dan perempuan, selama saling suka sama suka lanjut pacaran hingga perzinahan tanpa harus melakukan ikatan yang sah. Maka tak heran, budaya pergaulan bebas, kumpul kebo, aborsi, pencabulan, bahkan sampai kepada pembunuhan sudah menjadi hal yang biasa dalam lingkungan sistem sekuler.
Pemerintah dalam membuat Undang-Undang Pidana (KUHP) tidak menjadikan seseorang takut dan jera bahkan terjadi kekosongan hukum (rechtsvacuum) dalam perkara kohabitasi. Ketidakpuasan masyarakat terhadap hukum yang ada menyebabkan mereka melakukan tindakan arbitrari.
Islam Melindungi dari Perbuatan Kohabitasi
Islam mengatur interaksi antara laki-laki dan perempuan serta implikasi yang muncul dari interaksi tersebut. Allah menciptakan potensi melestarikan keturunan (naluri nau') pada keduanya sebagai manusia sama halnya dengan potensi hidup (hazatul udawiyyah) seperti butuh makan, minum, dan lain-lain.
Naluri nau' ini ada untuk melestarikan keturunan. Ketertarikan antara laki-laki dan perempuan terjadi secara alami. Islam hadir untuk mengarahkan agar fitrah dan potensi hidup termanifestasi dengan positif. Sebagaimana Allah telah berfirman, "Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman, katakanlah kepada para perempuan yang beriman hendaklah mereka menjaga pandangannya, memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (bagian tubuhnya), kecuali yang (biasa) terlihat." (Surah An-Nur Ayat 31–32)
Berikut cara Islam melindungi manusia dari perbuatan kohabitasi. Semua aktivitas di bawah ini hanya bisa dijalankan oleh negara Islam—Khilafah.
1. Mengokohkan akidah Islam lewat sistem pendidikan yang membentuk pola pikir dan pola sikap—syaksiyyah Islam. Memahamkan setiap individu bahwa Allah tidak hanya Sang Pencipta akan tetapi juga Sang Pengatur semua perbuatan manusia termasuk urusan inetraksi dengan lawan jenis.
2. Larangan untuk berikhtilat. Islam melarang interaksi bebas antara laki-laki dan perempuan yang tidak dibenarkan, karena segala sesuatu yang mengarah pada kemaksiatan diharamkan. Sebagaimana Firman Allah, “Dan janganlah kamu mendekati zina, itu sungguh suatu perbuatan keji, dan suatu jalan yang buruk.” (Surah Al-Isra Ayat 32)
3. Memfasilitasi pernikahan. Dalam Islam, negara berkewajiban memfasilitasi sarana pernikahan bagi yang sudah layak menikah tapi terkendala secara ekonomi.
4. Sanksi yang tegas. Negara memberikan sanksi sesuai apa yang sudah diatur dalam Al-Qur'an yang sangat tegas dan berat terhadap pelaku zina (kohabitasi). Untuk ganjaran hukumannya, Al-Qur’an menjelaskan bahwa pelaku zina pantas diberikan hukuman dengan cambukan 100 kali (bagi yang belum pernah menikah) sebagaimana yang dijabarkan dalam Surah An-Nur Ayat 2, "Pezina perempuan dan pezina laki-laki, deralah masing-masing dari keduanya seratus kali dan janganlah rasa belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (melaksanakan) agama (hukum) Allah jika kamu beriman kepada Allah dan hari Kemudian. Hendaklah (pelaksanaan) hukuman atas mereka disaksikan oleh sebagian orang-orang mukmin." (Surah An-Nur Ayat 2)
0 Komentar