Meninjau Pemberdayaan Petani Muda di Kabupaten Bogor

 


Mitri Chan



#Bogor — Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Bogor, Ajat Rochmat Jatnika menilai bahwa Program Youth Entrepreneurship and Employment Support Services (YESS) tahun 2025 membuka peluang besar bagi pemuda di Kabupaten Bogor. Program ini disusun dengan menyesuaikan kondisi daerah serta kebutuhan primer pemuda di pedesaan, terutama di bidang pertanian. Ia mengajak semua pihak bersinergi di bidang pertanian agar terbentuk ketahanan ekonomi lokal. (Portal Bogor, 04/07/2025)



Kabupaten Bogor memiliki wilayah yang luas sehingga berpotensi besar dalam penyediaan lahan pertanian. Sekitar 70% penduduknya merupakan generasi milenial dan Gen Z yang berpotensi menjadi trendsetter pertanian nasional. Oleh sebab itu, peningkatan kualitas pertanian diarahkan untuk mendorong generasi milenial dan Gen Z menjadi petani milenial.



Program YESS ditujukan bagi pemuda berusia 17 hingga 39 tahun, baik yang belum bekerja maupun yang sudah menjalankan usaha pertanian. Hingga pertengahan 2025, tercatat 84 ribu pemuda dari lima kabupaten di Jawa Barat telah mengikuti program yang didanai oleh IFAD (International Fund for Agricultural Development). Dari jumlah tersebut, 67 ribu orang sudah menerima pelatihan dan magang, sebagaimana disampaikan Wakil Direktur II Polbangtan Bogor Aminudin, saat mengisi acara Podcast Radar Bogor, Selasa, 8 Juli 2024.



Meskipun demikian, jika ditelaah lebih dalam, pemberdayaan petani milenial dapat dipandang sebagai salah satu strategi kapitalisme untuk memperluas pengaruhnya di bidang pertanian. Negara-negara penganut ideologi kapitalisme membaca bahwa bonus demografi di Indonesia tahun 2045 sebagai peluang besar bagi pertumbuhan sektor pertanian. Karena itu, mereka mengalirkan investasi di bidang pertanian melalui lembaga internasional untuk pembangunan pertanian dan mata pencaharian di negara-negara berkembang. Situasi negara yang minim anggaran serta kebijakan negara yang tunduk pada perdagangan bebas menjadikan petani milenial tersandera oleh para kapitalis karena modal berasal dari mereka.



Di sisi lain, persaingan bebas dalam kepemilikan lahan membuka ruang bagi pemilik lahan yang bermodal besar untuk berekspansi memperluas lahan. Akibatnya, petani milenial menjadi buruh tani di lahan para kapital. Tidak hanya itu, mereka juga terpaksa bersaing dengan produk impor yang masuk ke dalam negeri akibat kesepakatan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat terkait tarif impor 19%. Misalnya, pemerintah Indonesia harus membeli produk pertanian AS seperti kedelai, bungkil, gandum, dan kapas dengan nilai mencapai USD4,5 miliar atau sekitar Rp73 triliun.



Oleh karena itu, program petani milenial ini belum mampu melahirkan petani yang kuat dan tangguh. Mereka dilemahkan dengan kebijakan ekspor–impor yang menguntungkan negara kapitalis. Petani milenial diarahkan menjadi petani modern dengan iming-iming keuntungan ekonomi. Padahal pertanian modern memerlukan dukungan pendidikan dan pelatihan, sarana produksi, infrastruktur pasar, pengolahan produk, dan regulasi ekspor–impor yang memihak petani. Sementara, negeri ini masih bergantung pada pendanaan asing untuk mengembangkan pertanian, sehingga jika dana berkurang atau berhenti, kegiatan pemberdayaan petani muda  pun ikut berhenti.



Alih-alih menyelesaikan persoalan pertanian dan ketahanan pangan, potensi pemuda khususnya pemuda muslim yang seharusnya fokus membangun peradaban dialihkan untuk melanggengkan keuntungan ekonomi kapitalis, salah satunya di bidang pertanian. Hal ini tidak terlepas dari sistem ekonomi kapitalistik di Indonesia. Perubahan yang dilakukan bersifat sementara dan parsial sehingga tidak mampu menuntaskan permasalahan selama perubahan tidak berlandaskan prinsip Islam.



Dalam pandangan Islam, politik pertanian memiliki tujuan untuk meningkatkan produksi pertanian. Syekh Abdurrahman al-Maliki dalam kitab yang berjudul As-Siyasah al Iqtishadiyyah al-Mutsla, berpendapat bahwa politik pertanian biasanya menempuh dua jalan. Pertama, dengan jalan intensifikasi—melakukan berbagai usaha untuk meningkatkan produksi tanah. Kedua, dengan jalan ekstensifikasi—menambah luas area lahan yang akan ditanami.



Intensifikasi diwujudkan melalui pemanfaatan bahan-bahan kimia, penyebarluasan teknologi modern dan penyediaan benih unggul serta perbaikannya. Negara berperan menyediakan modal bagi masyarakat tidak mampu sebagai hibah, bukan pinjaman sehingga mereka dapat membeli peralatan, benih, dan bahan-bahan kimia untuk meningkatkan produksi. 



Sementara itu, ekstensifikasi dilakukan dengan mendorong masyarakat agar menghidupkan tanah mati dan memagarinya. Negara juga memberikan tanah gratis bagi mereka yang memiliki kemampuan bertani namun tidak memiliki lahan atau hanya memiliki tanah yang sempit. Sebaliknya, negara melakukan penyitaan secara paksa dari orang yang mengabaikan tanahnya selama tiga tahun berturut-turut. (Syekh Abdurrahman al-Maliki, Politik Ekonomi Agung Bab XI Politik Pertanian, hal. 204–205)



Untuk bisa menerapkan politik pertanian Islam secara nyata, negeri-negeri kaum muslimin harus terbebas dari imperialisme dan dominasi Barat. Hal ini bisa dicapai dengan persatuan negeri-negeri kaum muslim dalam institusi politik bernama Khilafah Islam. Melalui Khilafah, profil pemuda muslim dapat dibentuk sesuai tuntunan Allah dan Rasul-Nya sehingga tidak terjebak dalam propaganda pemberdayaan pemuda kapitalistik.



Pemberdayaan pemuda dalam Islam diarahkan untuk meninggikan peradaban Islam, yaitu menyebarkan risalah Islam ke seluruh dunia. Mereka menjadi pemimpin dan membawa kemaslahatan masyarakat di berbagai bidang, termasuk pertanian. Dengan demikian, pemberdayaan pemuda dalam sistem Islam mampu memberikan solusi praktis dan komprehensif—sebab akidah Islam sebagai dorongan kuat bagi mereka —dalam melakukan aktivitas-aktivitas ekonomi.[]





Posting Komentar

0 Komentar