Pajak Bukan Sumber Utama Kas Khilafah

 

Ruruh Hapsari



#Wacana  — Dalam sistem ekonomi kapitalistik, pendapatan utama negara yang sangat penting adalah dari pajak. Tak heran bila saat kas negara sedang defisit, maka pajak yang menjadi penopang utama pendapatan negara.



Seperti yang dikatakan oleh menteri keuangan bahwa proyeksi penerimaan negara pada tahun 2025 mencapai total Rp2.865,5 triliun. Dari sejumlah itu sekitar 94,9 persennya ditopang pajak yaitu sekitar Rp2.076,9 triliun. 



Ironis, rakyat diperas dengan penetapan pajak diberbagai sektor, sedangkan anggota dewan justru mendapatkan kenaikan tunjangan beras sebesar Rp12 juta per bulannya. Belum lagi tunjangan lain yang mencapai puluhan juta rupiah walaupun menurut Wakil Ketua DPR gaji para dewan yang terhormat tidak naik.



Kenyataan pahit ini selalu ditemui di negeri yang menggunakan sistem sekuler kapitalisme—aturan negara dapat dibuat seenaknya dengan dalih meraih kesejahteraan rakyat. Padahal faktanya rakyat selalu menjadi sapi perah untuk mengisi kas negara dalam rangka menguntungkan segelintir manusia. 



Tentunya hal ini tidak bisa dibiarkan berlarut-larut karena kesejahteraan merupakan hak bagi seluruh rakyat dan penguasa mempunyai kewajiban untuk menjalankan dan memenuhi kesejahteraan mereka.


Pengaturan negara tidak hanya didominasi oleh sistem kapitalistik, sesungguhnya ada alternatif  pengaturan lain yang didasari oleh syariat yang tentunya bisa menyelesaikan problem manusia secara total, yaitu pengaturan yang berasal dari Sang Pencipta, Allah Swt..



Islam mewajibkan penguasa untuk mengusahakan dengan sungguh-sungguh kesejahteraan dan kemaslahatan rakyatnya. Sehingga kesejahteraan tampak dengan nyata di tengah rakyat dan bukan hanya segelintir saja yang sejahtera. 



Rasulullah saw. pernah berkata, ”Barang siapa yang diserahi kepemimpinan terhadap urusan kaum muslimin tapi ia menutupi diri tidak mau tahu kebutuhan mereka dan kefakiran mereka, niscaya Allah Swt. tidak memperhatikan kebutuhannya dan kefakirannya di hari kiamat.” (Hadis Riwayat Abu Dawud dan at-Tirmidzi)



Memahami Pajak


Pungutan wajib dan memaksa bagi rakyat ini tidak dikenal dalam sistem Islam. Islam tidak menetapkan kebijakan pajak sebagai sumber pendapatan negara, seperti Firman Allah Swt. dalam Surah An-Nisa Ayat 29, ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” 



Kata ‘laa ta’ kuluu’ (larangan mengambil dengan cara batil)—dengan cara memaksa atau dengan zalim, kecuali dengan jalan perniagaan (tijaroh), ‘tijaroh’  di sini bukan hanya perdagangan, melainkan juga termasuk sewa, makelar, syirkah atau apa pun.  Aktivitas tersebut semuanya mempunyai prinsip ‘an taroo dhin’ (suka sama suka).



Para mufasir menjelaskan bahwa kata ‘laa ta’ kuluu’ bisa disamakan dengan ‘laa ta’ khudzu’  yaitu mengambil dengan cara memaksa. Sehingga dalam hal ini otomatis pajak merupakan hal yang diharamkan oleh Islam karena memaksa rakyat untuk membayarkan sebagian hartanya kepada negara dan tidak adanya saling rela/rida.



Belum lagi dalam hadis dinyatakan bahwa Rasulullah saw. pernah bersabda dalam Hadis Riwayat Abu Dawud, ”Sesungguhnya pelaku/pemungut pajak (diazab) di neraka.”  dalam Hadis Riwayat Imam Ahmad dinyatakan, ”Janganlah kalian berbuat zalim (diucapkan 3x). Sesungguhnya tidak halal harta seorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” 



Dalam Hadis lain Riwayat Muslim dam Abu Dawud, Rasulullah pernah bersabda, ”Demi zat yang jiwaku ada di tangan-Nya, sesungguhnya perempuan itu telah benar-benar bertaubat (perempuan Ghamidiyah), sekiranya seorang pemungut pajak bertaubat sebagaimana wanita itu, niscaya dosanya akan diampuni.” 



Imam Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menyatakan, ”Bahwasanya pajak termasuk seburuk-buruk kemaksiatan dan termasuk dosa yang membinasakan (pelakunya), hal ini lantaran dia akan dituntut oleh manusia dengan tuntutan yang banyak sekali di akhirat kelak.”



Pajak dan Pendapatan Negara


Pajak dikenal dengan istilah dharibah, yaitu harta yang diwajibkan oleh Allah Swt. kepada kaum muslimin untuk membiayai berbagai kebutuhan dan pos-pos pengeluaran yang memang diwajibkan (kebutuhan dasar) atas mereka pada saat kondisi baitulmal kaum muslimin tidak ada harta/uang. 



Dengan catatan dhoribah yang diambil tidak boleh lebih dari kebutuhan, dalam keadaan terpaksa yaitu saat kas negara kosong, dan tidak semua orang bisa ditarik dhoribah oleh negara—mereka hanya laki-laki yang mempunyai kemampuan saja, lainnya tidak. 



Kondisi ini pernah terjadi saat Rasulullah saw. akan berangkat jihad menuju Tabuk. Perang ini merupakan saat krusial yang sebelumnya kaum muslim memperoleh keberhasilan di Mu’tah kemudian Romawi berkeinginan untuk menyerang kaum muslim kembali. Rasulullah saw. saat itu telah menyiapkan strategi khusus untuk memukul mundur dan menghapus angan-angan bangsa Romawi yang ingin melenyapkan Daulah Islam.   



Beliau memobilisasi kaum muslim untuk ikut semua ke Tabuk. Namun, saat itu kaum muslim sedang mengalami kesulitan—cuaca yang sangat panas, tanah gersang, perjalanan yang jauh, medan yang sulit, juga banyaknya jumlah musuh. Beliau mengatakan agar kaum muslim mempersiapkan dengan benar apa-apa yang diperlukan untuk menghadapi musuh.



Saat itu Khilafah Islam tidak memiliki sesuatu yang memadai untuk mempersiapkan tentara Islam. Sehingga beliau menganjurkan dengan sangat agar kaum muslim berinfak. Saat itu para hartawan banyak sekali yang berinfak antara lain Utsman bin Affan, Abdurrahman bin Auf, Abu Bakar, Umar, Al-Abbas, Thalhah, Sa’ad bin Ubadah, Muhammad bin Maslamah, Ashim bin Ady dan masih banyak hartawan lainnya.



Banyaknya harta yang terkumpul dengan jumlah pasukan yang berangkat sesungguhnya tidak sebanding, bekal dan tunggangan masih tidak memenuhi. Walaupun begitu agenda jihad harus tetap terlaksana. Pasukan yang dikenal dengan Jaisyul Usrah (pasukan yang keadaannya sulit) ini harus terus melanjutkan perjalanannya ke Tabuk.    



Begitulah gambaran bagaimana pajak bukan merupakan sumber utama pendapatan Khilafah. Tepatnya, hanya salah satu dari sumber pendapatan yang dimiliki negara dengan beberapa catatan krusial menyertainya. Wallahualam.[]


  


Posting Komentar

0 Komentar