Pendidikan gizi sejak dini juga diyakini mampu menumbuhkan kesadaran siswa tentang keterkaitan antara pola makan, kesehatan, dan kesejahteraan, sekaligus mendorong mereka membuat pilihan hidup yang lebih sehat.
Agar usulan ini dapat diimplementasikan, BGN mengajak seluruh elemen, baik pemerintah, sekolah, orang tua, media, maupun masyarakat luas, untuk mendukung integrasi pendidikan gizi dalam kurikulum, sebagai bagian dari gerakan nasional menuju Generasi Emas Indonesia 2045. Namun, pertanyaannya, apakah usulan ini sungguh akan melahirkan dampak nyata seperti yang dijanjikan, atau hanya sekadar wacana kosong tanpa arah yang jelas?
Wacana Kosong
Usulan BGN sejatinya tidak membawa pembaruan berarti. Sebabnya, materi tentang gizi sebenarnya sudah tercakup dalam beberapa mata pelajaran seperti Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Pendidikan Jasmani, Olahraga, dan Kesehatan (PJOK), serta Pendidikan Keterampilan dan Kewirausahaan (PKK). Bahkan, bisa pula diintegrasikan dalam pelajaran Matematika, Bahasa, atau menjadi tema bagi Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5).
Sementara itu, harapan terbentuknya generasi sehat, cerdas, dan berdaya saing melalui pendidikan gizi saja terdengar terlalu muluk, apalagi jika dikaitkan dengan visi besar “Generasi Emas Indonesia 2045”. Sebabnya, masalah sebenarnya bukan sekadar kurangnya edukasi gizi di sekolah, melainkan kegagalan negara dalam memenuhi kebutuhan dasar rakyat.
Belum lagi fakta bahwa negara kita masih memiliki PR besar dalam melindungi masyarakat, khususnya anak-anak, dari serbuan produk pangan yang bukan hanya tidak sehat, tetapi juga berbahaya. Coba kita tengok, betapa sering kita mendengar berita tentang makanan yang dijual mengandung bahan tambahan berbahaya, seperti bakso, tahu, dan aneka makanan beku yang dicampur boraks, juga jajanan yang menggunakan pewarna pakaian. Kita bisa merujuk pada data kasus gagal ginjal pada anak-anak, yang banyak disebabkan oleh konsumsi minuman kemasan berpemanis secara berlebihan.
Untuk membentuk generasi yang sehat, kuat, dan terbebas dari stunting, pendidikan gizi saja tidak cukup. Yang jauh lebih penting adalah mengatasi akar persoalan yang membuat anak-anak kesulitan mengakses makanan sehat. Masalah utamanya bukan ketaktahuan soal gizi, melainkan kondisi ekonomi keluarga yang serba kekurangan. Selama kemiskinan masih merajalela, dan negara tetap abai dari fungsinya, pendidikan gizi hanya akan menjadi wacana tanpa dampak nyata.
Bukan Sekadar Kurikulum, tetapi Kebijakan yang Sistemis
Tidak dapat disangkal bahwa generasi yang berkualitas berakar dari individu yang sehat dan cerdas. Pola hidup sehat, khususnya yang berkaitan dengan pola konsumsi dan kesadaran gizi, memang dapat ditanamkan melalui kurikulum pendidikan di sekolah. Namun demikian, permasalahan yang dihadapi tidak sesederhana dengan cara memasukkan pendidikan gizi ke dalam kurikulum pembelajaran. Tanpa adanya dukungan kebijakan yang sistemis dan menyeluruh dari pemerintah, pendidikan gizi hanya akan berhenti pada tataran teoretis.
Benar pula bahwa pendidikan gizi berpotensi menumbuhkan kesadaran akan pentingnya nutrisi dan dapat membekali peserta didik dengan pengetahuan dasar mengenai cara menjaga kesehatan. Akan tetapi, pengetahuan tersebut tidak akan memberikan dampak yang signifikan apabila tidak didukung oleh faktor-faktor lainnya yang saling berkaitan.
Sebagai ilustrasi, seorang anak mungkin memahami jenis-jenis makanan sehat dan mampu menghitung kebutuhan kalori hariannya. Namun, apabila kondisi ekonomi keluarga tidak memungkinkan untuk memenuhi kebutuhan gizi tersebut, pengetahuan itu tidak akan aplikatif.
Demikian pula, seorang anak mungkin telah memahami bahaya konsumsi makanan instan atau produk pangan dengan bahan tambahan berbahaya. Namun, lingkungan di sekitarnya termasuk kantin sekolah dan warung di sekitar tempat tinggal justru dipenuhi jajanan tidak sehat. Dalam situasi itu, anak mungkin masih bisa menahan diri satu atau dua bulan. Sebaliknya, jika kondisi itu terus berlangsung dan dibiarkan, pertahanan anak akan runtuh juga. Apalagi jika kebiasaan konsumsi makanan tersebut juga menjadi bagian dari budaya sosial di lingkungannya.
Oleh karena itu, prioritas pemerintah seharusnya tidak berhenti pada kurikulum, melainkan menyasar akar persoalan, yakni kemiskinan dan ketimpangan kesejahteraan. Negara juga wajib hadir secara aktif dalam menjamin ketahanan dan keamanan pangan, melalui regulasi yang tegas dan pengawasan yang konsisten terhadap peredaran pangan yang tidak sehat.dan berbahaya.
Untuk mewujudkan hal tersebut, sistem yang menopang seluruh kebijakan perlu dievaluasi secara menyeluruh. Sistem ekonomi kapitalistik yang saat ini diterapkan telah menjadi akar berbagai persoalan, termasuk masalah kemiskinan. Sistem ini pula yang membuat para pedagang dan produsen makanan kehilangan nurani, karena lebih mengejar keuntungan dengan mengorbankan keselamatan konsumen.
Hal ini jamak terjadi, mengingat watak kapitalisme yang serakah dan menghalalkan segala cara. Terlebih lagi, negara juga abai dalam memberikan kesejahteraan kepada mereka, sekaligus lalai melindungi masyarakat dari berbagai bahaya.
Belum lagi soal kekayaan SDA yang seharusnya dinikmati rakyat justru dikuasai segelintir pihak. Rakyat pun dibebani beragam pajak dan dipaksa menanggung utang negara yang terus membengkak. Negara hanya berperan sebagai fasilitator dan regulator, bukan pelindung dan penanggung jawab utama kesejahteraan rakyat. Hal inilah yang mendesak untuk segera diubah.
Sistem Islam Melahirkan Generasi Berkualitas
Allah Taala telah menurunkan Islam sebagai sistem hidup yang sempurna dan terbaik bagi seluruh umat manusia. Islam tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya, tetapi juga mampu menyelesaikan seluruh persoalan kehidupan. Sebagaimana firman Allah dalam QS Al-Baqarah ayat 185, “Bulan Ramadan adalah (bulan) yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu serta pembeda (antara yang hak dan yang batil).”
Setiap ajaran Islam wajib dipelajari untuk diamalkan, bukan sekadar dihafal. Islam sejatinya adalah petunjuk praktis bagi kehidupan. Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitab Syakhshiyyah al-Islamiyyah Jilid 1 Bab Metode Pembelajaran Islam, menjelaskan bahwa ada tiga aspek penting dalam pembelajaran Islam, yaitu kedalaman pembahasan, pembentukan keyakinan, dan dorongan untuk beramal.
Sebagai contoh, ketika Allah berfirman, “Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (QS Al-Baqarah [2]: 168), negara sebagai pelaksana hukum Islam wajib memastikan agar perintah ini dapat diterapkan dalam kehidupan nyata.
Artinya, negara harus mengambil langkah-langkah strategis, mulai dari pembentukan pola pikir hingga penerapan praktis. Dari sisi pemikiran, negara wajib memberikan edukasi kepada rakyat mengenai makanan yang halal dan baik menurut syariat. Edukasi ini akan terintegrasi dalam sistem pendidikan sebagai bekal hidup.
Sedangkan dari sisi praktis, negara harus memastikan bahwa hanya makanan yang halal dan sehat yang boleh beredar di masyarakat. Khilafah akan melakukan kontrol ketat terhadap industri makanan agar produk yang dihasilkan aman, memenuhi standar kesehatan halalan thayyiban, serta dibarengi dengan upaya membangun kesadaran para produsen dan pedagang terhadap barang yang dijual.
Kesadaran yang lahir dari ketakwaan ini akan menjadi benteng kokoh bagi individu untuk menghindari kemaksiatan. Lebih dari itu, negara harus menerapkan sistem sanksi Islam secara tegas agar pelanggaran tidak terjadi. Dalam hal ini, negara berfungsi sebagai junnah (perisai) yang melindungi masyarakat dari berbagai hal yang merusak, baik secara fisik maupun psikis. Negara juga wajib menjaga stabilitas ekonomi dan membuka lapangan kerja seluas-luasnya. Tujuannya adalah agar setiap ayah atau penanggung nafkah mampu memenuhi kebutuhan gizi keluarganya secara layak.
Di sisi lain, negara sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) bertanggung jawab menyediakan berbagai fasilitas publik, seperti pendidikan dan kesehatan. Semua ini hanya akan terwujud melalui penerapan sistem ekonomi Islam secara menyeluruh dan konsisten.
Walhasil, pelaksanaan sistem Islam secara total akan melahirkan generasi yang sehat, cerdas, dan berkualitas. Merekalah umat terbaik sebagaimana firman Allah, “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang munkar, dan beriman kepada Allah. Sekiranya Ahli Kitab beriman, tentulah itu lebih baik bagi mereka. Di antara mereka ada yang beriman, namun kebanyakan mereka adalah orang-orang fasik.” (QS Ali Imran [3]: 110).
Khatimah
Berharap perbaikan kualitas generasi melalui pendidikan gizi dalam kurikulum, tanpa diiringi perubahan sistem, jelas hanyalah ilusi. Islam hadir bukan sekadar agama, tetapi sebagai sistem hidup yang paripurna. Ketika diterapkan secara menyeluruh, Islam terbukti mampu mencetak generasi sehat, cerdas, dan berkualitas, bukan sekadar wacana, melainkan sebuah kepastian. Wallahualam bissawab. [MNews/SK-NA]
0 Komentar