Sudah Tertindas, Rakyat Dilindas Pula!

 



Karina Fitriani Fatimah


#Wacana — Aksi demonstrasi di depan gedung DPR RI, pada Kamis (28/08), berujung ricuh. Tampak massa dan aparat yang berwenang terlibat aksi saling dorong yang kian membuat situasi tak terkendali dan memanas. Di tengah hiruk-pikuk tersebut tampak sebuah rantis (kendaraan taktis) Brimob berjenis Barakuda melaju di jalanan yang tengah dipadati para pendemo. Dalam sebuah video viral yang beredar, rantis tersebut terlihat melaju kencang—celakanya melindas seorang pengemudi ojek online (ojol) yang kebetulan tengah berusaha lari dari kerumunan (detik.com, 29/08/2025). 


Masih dalam video viral tersebut, terdengar teriakan warga sekitar yang berada di tempat kejadian. Beberapa peserta aksi bergegas menolong korban dan segera melarikannya ke RSCM. Sisanya segera mengerubungi mobil lapis baja Brimob tersebut untuk menghentikan laju rantis. Meski demikian kendaraan tersebut tetap melaju dan meninggalkan lokasi kejadian. Massa yang geram terlihat berusaha mengejar dan memukuli rantis (insertlive.com, 29/08/2025). 


Menanggapi hal tersebut, dalam kesempatan berbeda baik pihak Korps Brimob maupun Polda Metro Jaya menyampaikan permohonan maaf. Kadiv Propam Polri Irjen Pol Abdul Karim menyebut pihaknya telah menangkap 7 (tujuh) polisi yang terkait dengan kejadian naas tersebut. Hingga kini ketujuh tersangka masih menjalani pemeriksaan oleh Divpropam Mabes Polri dan Propam Mako Brimob (kompas.com, 29/08/2025). 


Tindakan represif aparat yang berwenang dalam banyak aksi unjuk rasa di negeri ini kian hari kian menjadi. Pemukulan, penangkapan, dan penggunaan gas air mata sudah sering dilakukan dengan dalih ‘mengondisikan’ aksi demonstrasi. Dalam aksi penolakan UU Omnibus Law pada 2020 misalnya, aparat bahkan merangsek masuk ke kampus dan menyerang ambulan beserta tenaga medis. Kini tindakan arogan aparat berulang dengan adanya kasus rantis Brimob melindas warga sipil hingga tewas. Padahal, tindakan represif yang berulang kali dilakukan aparat secara nyata melanggar Konvensi Jenewa 1949.  


Kebrutalan yang senantiasa dipertontonkan aparat dalam banyak aksi unjuk rasa sesungguhnya telah memperlihatkan betapa menjijikannya sistem demokrasi yang dianut negeri ini. Demokrasi yang katanya menuhankan suara rakyat dan mengklaim kedaulatan berada di tangan rakyat hanyalah omong kosong belaka. Pada faktanya, demokrasi justru tidak memberi ruang bagi kritik dan koreksi rakyat terhadap penguasa. Ide-ide kebebasan yang dijunjung tinggi di dalam demokrasi, salah satunya dengan kebebasan berekspresi atau bersuara, hanya berlaku tatkala suara yang dimaksud tidak ‘menyenggol’ pihak yang berkuasa.  


Tindakan represif aparat tidak hanya bisa kita lihat acapkali aksi demonstrasi berujung kisruh, tetapi juga dengan dibungkamnya sejumlah kelompok-kelompok masyarakat yang menginginkan perubahan semisal FPI dan HTI. Pemerintah juga tidak segan menangkapi lawan politiknya melalui pemberlakuan UU ITE. Hal tersebut dilakukan tidak lain untuk mempertahankan kekuasaan oligarki di negeri ini. 


Padahal, aktivitas muhasabah (mengoreksi) penguasa oleh rakyat adalah hak rakyat yang harus dijamin dan dilindungi oleh negara. Hal ini karena penguasa adalah orang-orang yang diberikan amanah oleh rakyat untuk menjalankan kekuasaan atas mereka. Oleh karenanya, jika terjadi pelanggaran hak-hak rakyat tatkala penguasa menjalankan tugasnya, rakyat berhak untuk menuntut perubahan salah satunya melalui aksi demonstrasi.  


Berbeda dengan sistem demokrasi, sistem pemerintahan Islam memiliki mekanisme dalam menjaga agar penguasa senantiasa berada di pihak rakyat, yakni dengan menjalankan hukum-hukum Allah Swt. Sistem pemerintahan Islam, Daulah Khilafah Islamiyah adalah negara manusiawi (daulah basyariah) yang memberlakukan hanya hukum syarak yang sudah dipastikan kebenarannya dan bukan hukum buatan manusia layaknya di dalam sistem demokrasi.  


Hanya saja sekalipun sistem pemerintahan Islam yang dijalankan, para penguasa tidaklah terlepas dari khilaf. Oleh karenanya, sistem khilafah memberi ruang bagi rakyat untuk mengoreksi penguasa selama berada dalam koridor-koridor syarak. Siapa pun boleh untuk secara langsung menemui khalifah di ibu kota sebagaimana yang pernah dilakukan oleh seorang Yahudi tua pada masa pemerintahan Umar bin Khattab. Yahudi tua tersebut melayangkan protes kepada Khalifah Umar atas tindakan ‘Amr bin al-Ash yang hendak membeli rumahnya untuk pembangunan masjid.  


Tidak hanya dengan cara menemui khalifah secara langsung, rakyat dapat menyampaikan aspirasinya melalui lembaga Majelis Umat di ibu kota atau majelis wilayah di daerahnya masing-masing. Jika aspirasi rakyat masih belum juga ‘didengar’ oleh penguasa, rakyat berhak mengadukan kezaliman yang telah dilakukan kepada Mahkamah Mazalim. Mahkamah Mazalim ialah lembaga peradilan dalam sistem Islam yang secara khusus memutuskan perkara kezaliman yang dilakukan penguasa pada rakyat. Jika pemimpin terbukti bersalah, ia akan dihukum sesuai dengan kesalahan yang ia lakukan dan bahkan bisa jadi kehilangan jabatannya. Dari sini tampak jelas bahwa di dalam Islam penguasa khususnya khalifah tidaklah kebal hukum. 


Sistem Islam secara nyata menjamin hak-hak rakyat untuk menyampaikan ketidakpuasannya atas kinerja penguasa. Hal ini karena muhasabah adalah bagian penting dalam proses amar makruf nahi mungkar. Rasulullah saw. bersabda, “Siapa saja yang menyaksikan kemungkaran, hendaknya mengubahnya dengan tangannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan lisannya. Jika tidak mampu, hendaknya dengan hatinya. Itulah selemah-lemah iman.” (Hadis Riwayat Muslim)

Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar