Shiha Utrujah
#Wacana — Setelah
Indonesia mengalami luka yang mendalam akhir agustus lalu akibat kemarahan
rakyat terhadap kebijakan penguasa, muncul penggagas gerakan 17+8 tuntutan
rakyat. Gerakan ini menunjukkan rakyat menuntut pertanggungjawaban penguasa dan
reformasi struktural. Apresiasi atas kelantangan dan keberanian rakyat dalam
menuntut perubahan bangsa yang lebih baik. Namun, akankah sesuai dengan harapan
rakyat?
Gagasan 17+8 melibatkan
partisipasi aktif dari masyarakat sipil, influencer, musisi, dan
komunitas dalam menciptakan perubahan menuju Gerbang Pancasila Kompleks DPR RI
di Senayan, Jakarta Pusat, Kamis (04/09/2025). Influencer yang aktif
dalam media sosial dan menggunakan platform mereka untuk menyampaikan aspirasi
dan tuntutan rakyat, yaitu Jerhemy Owen, Jerome Polin, Abigail Limuria, Andovi
da Lopez, Andhyta F. Utami (Afu), Fathia Izzati, Jovial da Lopez, hingga Ferry
Irwandi. (kompas.com, 4/9/2025)
Akar Masalah
Demokrasi adalah sistem
sekuler yang memisahkan agama dari politik. Artinya, dalam demokrasi tidak ada
standar halal dan haram. Yang ada hanyalah keuntungan pribadi, suara
mayoritas, dan logika untung rugi.
Akibatnya, baik penguasa
atau aspirasi rakyat bertemu dalam aturan yang bertentangan secara idealisme,
bahkan banyak yang tidak sesuai dengan syariat Allah. Undang-undang saja yang
sudah disahkan banyak dilanggar dan tidak direalisasikan. Apalagi kritikan
rakyat, bisa saja direvisi semaunya penguasa dan dipersempit dengan alasan
stabilitas keamanan negara.
Bayangkan tuntutan rakyat
itu ibarat sebuah pohon. Gerakan 17+8 itu pohon yang tumbuh dari akar yang
rapuh. Kalau akarnya rapuh, pohon pasti akan ikut roboh. Selama akarnya tidak
mampu menopang batang, pohonnya juga ikut mati. Akar itu bernama demokrasi.
Padahal kalau benar ingin menyelesaikan masalah, yang harus direvisi misalnya
bukan hanya pemotongan gaji DPR semata, melainkan sistem yang melahirkan
peraturan manusia bernama demokrasi itu sendiri.
Demokrasi yang kita
agung-agungkan dan kita jalani selama ini sebenarnya hanyalah panggung
transaksional. Rakyat harus mengambil
risiko kematian atau bahaya besar dengan keberanian tinggi agar kritik mereka
didengarkan. Itu juga belum tentu semuanya disahkan, didukung UU, dan dijalankan oleh penguasa pemerintahan.
Karena itu, jangan heran jika rakyat akan mengalami patah
hati berkali-kali, tercabik-cabik oleh sistem pemerintahan demokrasi yang lahir
dari sekuler–kapitalisme. Demokrasi yang katanya memberi panggung besar untuk
rakyat, hanya berfungsi dalam pemilu saja. Namun, fakta yang melahirkan aturan
dan menetapkan kebijakan tetaplah berada di tangan penguasa. Tujuannya tidak
lain hanya menguntungkan para penguasa sementara rakyat gigit jari dan makin
sengsara.
Sudah berapa lama sistem
demokrasi berdiri bersama bangsa ini? Masihkah kita berharap pada sistem yang
bobrok ini. Mulai Indonesia sejak merdeka sampai mengalami perubahan orde lama
hingga ke masa reformasi, pergantian pemimpin dari masa kemasa, revisi undang-undang
terus dibenahi tapi hasilnya tetap rakyat jugalah yang dirugikan.
Islam Kafah Akar Perubahan
Mendasar
Sementara dari perspektif
Islam kafah, ini adalah momentum penting menyadarkan umat bahwa kedaulatan dan
kekuasaan harus tunduk pada syariat dan ditopang akhlak. Solusinya bukan
sekadar reformasi sistem sekuler, melainkan harus ada implementasi politik Islam
kafah. Penguasa diawasi oleh umat, sistem hukum syariat dijalankan, dan
kesejahteraan bersama menjadi tujuan utama.
Dalam Islam kafah, politik
berasal dari hukum Allah. Pemimpin wajib menjalankannya karena atas dasar
perintah Allah. Kekuasaan adalah amanah, bukan teoritis. Rakyat berhak
memberikan peringatan dengan bijak dan penuh kesadaran kepada penguasa yang
keluar dari aturan Islam.
Seandainya rakyat paham
bahwa sumber permasalahan bangsa ini adalah sistem demokrasi itu sendiri, tentu
tuntutannya bukan demokrasi lagi.
Demokrasi hanya menghasilkan sistem ekonomi yang dikuasai oleh orang
kaya dan berkuasa, sehingga mengabaikan kepentingan rakyat miskin. Negara
menggunakan pajak untuk mengalihkan beban ekonomi kepada rakyat, sehingga
membebani mereka dengan biaya hidup yang lebih tinggi. Korupsi menyebar luas
dan tidak terkendali karena hukum yang lemah. Aparat menggunakan kekuasaan secara
absolut dan menekan kebebasan rakyat untuk mempertahankan kepentingan oligarki.
Sementara itu, rakyat biasa dipaksa memilih dua jalan pahit antara diam tetap
tertindas, atau bersuara lalu terlindas.
Dengan demikian, menyerukan “gerakan 17+8” saja tidak cukup.
Aturan bisa saja diganti sesuai nafsu
dan birahi penguasa. Selama demokrasi masih bersemayam di negeri ini, permasahan
bangsa ini sulit diatasi.
Islam sudah menawarkan
jalan yang lebih adil. Dalam Islam,
seorang pemimpin akan bertanggung jawab untuk mengatur manusia sesuai
dengan hukum Allah Swt. Rasulullah bersabda, “Imam adalah pengurus rakyat,
dan ia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya.” (Hadis
Riwayat Bukhari dan Muslim)
Itulah prinsip dasar
kepemimpinan dalam Islam. Negara dalam Islam wajib mengurus rakyat, bukan malah
menindasnya. Hukum Allah menjadi acuan dan standar dalam mengatur kehidupan
manusia bukan suara mayoritas. Kritik dipandang sebagai bentuk taqarrub
kepada Allah dan sebagai wujud kepedulian terhadap kebaikan bersama.
Para
pemimpin tidak boleh hidup bermewah-mewahan demi kepentingan pribadi di atas
kesengsaraan rakyat. Kekuasaan dijalankan untuk mengabdi kepada Allah dan
menjalankan syariatnya secara kafah. Semua itu hanya mungkin terwujud dalam
sistem Khilafah sesuai dengan metode kenabian. Sistem pemerintahan yang
berdasarkan syariat Islam dengan menjalankan hukum Allah secara adil dan
bijaksana. Jadi, seruan “gagasan 17+8” mungkin hanya mengobati gejala keresahan
rakyat saja. Kalau kita sungguh ingin menyelesaikan masalah bangsa ini, harus
dengan mengakhiri dominasi sistem demokrasi. Karena itulah penyebab utamanya.
Alhasil, ambillah sistem yang berasal
dari Allah—pasti membawa perubahan dan keberkahan buat bangsa dan negara ini.
Wallahualam.[]

0 Komentar