Refi Oktapriyanti
#Wacana — Persoalan gaji 3 juta per hari yang diterima oleh
anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menjadi sorotan masyarakat, apalagi
terdapat tunjangan yang diberikan kepada anggora DPR di tengah masyarakat yang
sedang sulit ekonomi membuat geram sehingga banyak menuai suara, terutama dari para buruh
untuk menyampaikan aspirasinya di depan kantor DPR dari berbagai wilayah.
Selain itu, aksi
joget-joget terlihat ramai di media sosial tepat pada saat penutupan Sidang
Tahunan MPR dan sidang bersama DPR DPD, pada 15 Agustus 2025.
Dilansir finance.detik.com
(31/08/2025),
Iqbal seorang
Presiden Partai Buruh menyebutkan bagi mereka yang bekerja di wilayah Bekasi
dan Jakarta mendapatkan rata-rata gaji sekitar Rp3–5 juta per bulan. Sedangkan gaji
setiap anggota DPR sebesar Rp104 juta/bulan, angka tersebut sudah termasuk
tunjangan.
Naiknya gaji para
anggota DPR yang disertai dengan banyaknya tunjangan yang diterima pada saat
itu, di tengah kondisi masyarakat
yang sedang kesulitan ekonomi terutama kecilnya gaji buruh membuat luka pada
hati masyarakat.
Anggota DPR yang
diberikan segala fasilitas, tunjangan, sampai gaji yang sangat fantastis,
alih-alih bekerja untuk rakyat—hasilnya
nihil. Bahkan, harusnya mereka mewakili suara rakyat tapi malah menindas rakyat,
menggunakan kesempatan jabatannya untuk memenuhi kebutuhan pribadinya
dengan hasil uang pajak rakyat. Ini merupakan penindasan sekaligus pemerasan
bagi masyarakat, dan menjadikan masyarakat hanya untuk meraih suara demi
mendapatkan kursi jabatan dengan kerja yang tidak maksimal.
Mereka
merancang berbagai UU (Undang-Undang)—disahkan seolah-olah dari semua itu
mampu menjadi kemaslahatan bagi masyarakatnya. Di antaranya, ada UU KPK, UU
TNI, UU Cipta Kerja, dan sebagainya. Namun sayangnya,
ternyata dari semua yang disahkan tersebut hanya
memihak pada kalangan atas, tidak memihak pada rakyat yang bawah.
Kapitalisme Melahirkan Ketimpangan Ekonomi
Ketimpangan
ekonomi ini terlahir dari sistem kapitalisme yang sedang diterapkan saat ini. Sistem ini menganut di dalamnya kebebasan dalam
kepemilikan sehingga terjadi ketimpangan
yang membelah kalangan kaya dan miskin. Karena yang
kaya atau pemilik modal berpotensi untuk menikmati kekayaan dengan cara apa pun—termasuk mengambil kekayaan alam
yang tersebar luas, sedangkan rakyat kecil hanya dapat ampasnya saja.
Kapitalisme ini
telah melahirkan individu-individu yang hedonis materialisme, termasuk para pejabat. Ketika mereka mendapatkan kehidupan
dengan segala sarana yang ada dan tunjangan, seakan-akan mereka berhak
mendapatkannya karena mendapatkan amanah bekerja untuk negara. Sayangnya, setelah mendapatkan itu
semua mereka tidak menjalankan amanah itu dengan baik, tidak ada empati sedikit pun terhadap rakyatnya
sendiri, tidak berpihak pada rakyat, bahkan mereka lebih berpihak kepada para
pemilik modal untuk mempertahankan masa jabatannya.
Kekayaan yang
mereka dapatkan telah menyilaukan dan mengalihkan fokusnya pada kepentingan
pribadinya masing-masing.
Seharusnya malu, karena semua fasilitas
dan segala tunjangan yang didapatkannya itu hasil dari uang rakyat yang sedang
mati-matian mempertahankan hidupnya di tengah ekonomi yang sulit. Apa saja serba dipajak,
harga bahan
pokok makin naik, belum lagi yang telah berkeluarga dan mempunyai anak harus
membiayai pendidikan.
Islam Menghapuskan Ketimpangan Ekonomi
Dalam Islam,
negara berperan untuk mensejahterakan kehidupan umat hingga terpenuhi. Karena seorang penguasa dalam
Islam, ia diwajibkan melayani bahkan memenuhi kebutuhan hidup umat muslim.
Islam mengatur hak
kepemilikan setiap individu, sehingga harta tidak hanya berputar pada kalangan
yang atas saja, tetapi semua berhak mendapatkan hak harta secara rata sehingga
tidak ada ketimpangan ekonomi
antara si kaya dan si miskin. Seperti yang telah Allah Swt. Firmankan dalam Surah Al-Hasyr Ayat 7.
“Apa saja (harta
yang diperoleh tanpa peperangan) yang dianugerahkan Allah kepada Rasul-Nya dari
penduduk beberapa negeri adalah untuk Allah, Rasul, kerabat (Rasul), anak
yatim, orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan. (Demikian) agar harta itu
tidak hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang
diberikan Rasul kepadamu terimalah. Apa yang dilarangnya bagimu tinggalkanlah.
Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya.” (Surah Al-Hasyr
Ayat 7)
Hanya dalam Islam,
penguasa bisa menyelesaikan ketimpangan ekonomi seperti
fenomena di atas, karena Allah Swt. sebaik-baiknya
Zat Pengatur
Kehidupan.
Wallahualam bissawab.[]
0 Komentar