Majelis Umat, Tempat Berkumpulnya Aspirasi dalam Khilafah

 



Ruruh Hapsari

 

#Wacana Indonesia berduka. Nyawa seorang pemuda harus melayang pada demonstrasi besar menggugat anggota dewan yang mempunyai dana tunjangan fantastis. Saat menenangkan massa yang masih ramai di malam hari itu, Brimob menerobos kerumununan dengan kendaraan lapis baja. Mobil anti peluru yang menembus kerumunan tersebut dikendarai dengan kecepatan tidak biasa hingga nyawa harus melayang dalam peristiwa tersebut.

 

Wajar saja rakyat marah, kenyataannya hari demi hari rakyat mempunyai beban ekonomi yang terus meningkat akibat barang kebutuhan pokok yang terus merangkak naik ditambah peristiwa melayangnya nyawa seorang ojol bukan karena tidak sengaja. Semua ini terjadi dikarenakan rakyat hanya meminta keadilan juga kesejahteraan dari penguasa dan orang-orang yang mewakilinya dalam dewan.

 

Memuncaknya kemarahan rakyat adalah saat anggota dewan meminta naiknya tunjangan. Ditambah komentar beberapa anggota dewan yang membuat keruh suasana antara lain yang mengharuskan rakyat untuk maklum adanya tunjangan perumahan puluhan juta bagi para anggota dewan, kemudian salah satu dari mereka menyatakan tolol kepada rakyat yang mengeluarkan pernyataan ‘bubarkan DPR’, selain itu ada juga yang memparodikan sound horeg dengan berjoget di sidang tahunan MPR.

 

Padahal nyatanya selama ini tunjangan mereka dengan gaji bulanan rakyat bagaikan langit dan bumi. Mereka duduk di kursi empuk pun karena pilihan dari rakyat dan dana yang masuk ke kantong mereka juga adalah merupakan pungutan wajib alias pajak yang dibayarkan tiap rupiahnya dari kantong rakyat. Bisa dikatakan mereka berfoya-foya hasil kumpulan tiap rupiah  dari rakyat.

 

Sehingga tumpukan amarah rakyat dari beberapa tahun belakangan diluapkan dalam demo besar. Ketimpangan ini sangat nyata dirasakan tidak hanya di ibu kota, tetapi juga di seluruh penjuru nusantara. Sehingga wajar demonstrasi di berbagai kota pun tidak terelakkan.  

 

Dalam pemerintahan yang hanya menggunakan akal dan untung-rugi sebagai patokan, tidak pernah didapati kesejahteraan sejati, yang ada hanyalah kesejahteraan semu. Seakan sudah sejahtera tapi nyatanya justru penindasan ada di mana-mana. Berbeda halnya bila syariat menjadi patokan dalam bernegara. Sistem Islam yang berlandaskan akidah ini tidak hanya mensejahterakan rakyat tapi juga mengarahkan kepada rida Allah Swt. dan surga-Nya.

 

Islam sendiri telah mengatur bagaimana perwakian rakyat duduk dalam pemerintahan beserta tugasnya. Dalam kitab ‘Nidhamul Hukmi fil Islam’ (Sistem Pemerintahan Islam) karya al-‘Allamah Syekh Taqiyuddin An-Nabhani dikatakan bahwa tempat betkumpulnya orang yang mewakili suara (aspirasi) kaum muslim/rakyat agar menjadi pertimbangan khalifah dan tempat khalifah meminta masukan dalam urusan kaum muslimin dinamakan Majelis Umat.

 

Keberadaan Majelis Umat ini merujuk dari aktivitas Rasulullah saw. bahwa beliau sering meminta pendapat ataupun bermusyawarah dengan beberapa orang yang mewakili dari kaum Muhajirin ataupun Anshar dalam kepentingan tertentu. Selain itu dilihat bagaimana Rasulullah saw. memperlakukan secara khusus (dalam hal ini keberadaan mereka di Majelis Umat) beberapa sahabat dimintai masukan dari mereka dan beliau lebih sering merujuk kepada mereka dibanding pada sahabat yang lain seperti Abu Bakar, Umar, atau yang lainnya.

Aktivitas tersebut dilanjutkan kembali di masa Khulafaur Rasyidin. Abu Bakar Ash-Shiddiq pun saat menjabat sebagai Khalifah meminta pendapat dari ahli fikih juga para pemikir saat itu. Mereka memberikan fatwa dan banyak orang juga meminta fatwa kepada mereka. Abu Bakar pun selalu melakukan hal yang demikian hingga wafat, lalu dilanjutkan juga oleh Umar yang melakukan hal yang sama dengan anggota Majelis yang berbeda. 

 

Selain umat mempunyai hak untuk mengangkat wakil mereka dalam menjalankan syura (musyawarah), umat pun berhak untuk mengangkat wakil dalam menjalankan kontrol (muhasabah) dan koreksi terhadap penguasa. Dalam sejarahnya, kaum muslimin selalu melakukan kontrol dan mengoreksi penguasa.

 

Orang nonmuslim yang berwarga negara Daulah pun boleh untuk menjadi anggota Majelis Umat dalam ragka untuk mengadukan kezaliman penguasa ataupun pengaduan tentang buruknya penerapan aturan Islam kepada mereka. Juga tentang tidak tersedianya berbagai pelayanan penguasa kepada mereka.

 

Kemudian para anggota Majelis Umat ini dipilih melalui pemilu dan bukan melalui penunjukan. Dikarenakan mereka adalah wakil rakyat untuk mengemukakan pendapat kepada penguasa. Dahulu Rasulullah saw. pun tidak memilih orang untuk dijadikan rujukan, tapi beliau memilih atas dua dasar. Pertama, mereka adalah pemimpin kelompok tanpa memandang kapasitas dan kapabilitas. Kedua, mereka adalah representasi dari kaum Muhajirin dan Anshar.

Sedangkan syarat keanggotaannya adalah mereka yang memiliki kewarganegaraan Daulah Khilafah, balig, berakal sehat, laki-laki ataupun perempuan. Mereka yang memiliki syarat demikian berhak dipilih dan   memilih anggota Majelis Umat yang lain.

 

Ada perbedaan yang sangat mencolok antara Majelis Umat dalam sistem pemerintahan Islam dengan DPR dalam sistem Kapitalisme saat ini. Telah ditetapkan dalam Al-Qur'an bahwa dalam Surah Al-An’am Ayat 57, Allah berfirman,”Menetapkan hukum adalah hak Allah.

 

Karenanya Majelis Umat tidak mempunyai kuasa untuk membuat hukum apa pun termasuk yang menyangkut hajat hidup rakyat. Hal itu dikarenakan telah lengkapnya aturan Allah Swt. bagi manusia, sehingga segala aturan ataupun ketetapan negara landasannya adalah syariat.

 

Selain itu, yang menjadi perbedaan lagi adalah bahwa di dalam Majelis Umat tidak bertujuan untuk memperkaya diri hingga lupa akan tugas utamanya. Mereka yang duduk di dalam Majelis Umat hanya melakukan koreksi, memberikan pendapat apabila diminta khalifah, sehingga nonmuslim pun boleh menjadi anggotanya, tetapi mereka anggota yang nonmuslim tersebut tidak boleh memberikan pendapat dalam hal hukum dan undang-undang yang diadopsi penguasa.

 

Dengan demikian, aturan Islam yang mengatur masalah pemerintahan sudah detil pengaturannya. Sehingga tidak ada waktu lagi untuk tidak segera memperjuangkannya, karena ideologi mana lagi yang harus ditegakkan diambang kehancuran kapitalisme ini? Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar