Ke Manakah Kekecewaan Rakyat Seharusnya Berlabuh?



Karina Fitriani Fatimah

 

#TelaahUtama — Dunia perpolitikan Indonesia tengah memanas. Kerusuhan terjadi di mana-mana, baik di Jakarta, Surabaya, Bandung, Medan hingga Solo sejak Jumat (29/08). Ratusan ribu orang tampak bergerak ke berbagai titik, seperti di sekitar Polda Metro, gedung DPR RI dan Mako Brimob untuk Jakarta. Kemudian, di sekitar gedung DPRD Jabar untuk Bandung, dan di sekitar Gedung Negara Grahadi di Surabaya. Kerusuhan sayangnya kini diwarnai pula dengan aksi anarkis dan penjarahan (kompas.com, 30/08/2025). 

 

Eskalasi yang terjadi bermula dari munculnya kemarahan publik pada para anggota dewan. Anggota DPR dianggap tidak berpihak pada rakyat dan justru menari-nari di atas penderitaan rakyat. Sebelum terjadinya kerusuhan diketahui bahwa para anggota dewan mendapat tunjangan di luar gaji bulanan dengan nilai fantastis. Manakala masyarakat tengah terhimpit kesulitan ekonomi. Ironisnya, para anggota dewan justru tengah dianggarkan mendapat sejumlah kenaikan tunjangan berupa tunjangan rumah, tunjangan bensin hingga beras (tempo.co, 22/08/2025). Terang saja masyarakat merasa sakit hati. Kekecewaan rakyat kian menjadi tatkala para elite politik mencetuskan banyak ujaran yang tidak sensitif bahkan membuat berbagai parodi di media sosial yang dianggap melecehkan rakyat.

 

Bentuk kekecewaan masyarakat yang dituangkan dengan aksi turun ke jalan celakanya kini bertransformasi menjadi kerusuhan sosial. Kondisi kian genting setelah kejadian dilindasnya seorang pengemudi ojek online (ojol), pada Kamis (28/08) oleh sebuah rantis (kendaraan taktis) milik Brimob. Kontan kejadian tersebut makin menyulut amarah rakyat. 

 

Kekecewaan masyarakat Indonesia tampaknya sudah berada di puncaknya. Kekecewaan yang muncul kini bukan hanya lahir dari ketidakadilan sosial ekonomi di lapangan tetapi sudah membentuk persepsi ketidakadilan secara subjektif pada golongan tertentu khususnya para kawula muda dan komunitas pengemudi ojol. Sebagaimana yang dijelaskan Sosiolog Jacquelien van Stekelenburg dan Psikolog Bert Klandermans dalam A Social Psychology of Protest: Individuals in Action (2024), faktor persepsi ketidakadilan menjadi salah satu pemicu utama meletusnya protes sosial. Bentuk protes sosial bisa jadi kian membara jika dibarengi dengan mobilisasi kelompok yang berkepentingan.

 

Persepsi ketidakadilan memang sudah lama terbentuk di tengah-tengah masyarakat Indonesia. Banyaknya kebijakan antirakyat diiringi dengan sikap para elite politik yang arogan dan tidak merakyat membuat rakyat merasa jengah dan menuntut adanya perubahan. Persepsi ketidakadilan yang muncul lebih jauh memunculkan rasa benci terhadap beberapa lembaga negara seperti Polri, Brimob hingga Dirjen Pajak. Bahkan kini kebencian tersebut sudah ditunjukkan pada sosok-sosok tertentu dari 'wakil rakyat'. Namun, ke manakah sepatutnya masyarakat mengarahkan kekecewaan mereka?  

 

Hingga kini, tuntutan masyarakat yang mencuat di tengah-tengah kondisi perpolitikan negeri masih simpang siur. Rakyat tampak masih ‘linglung’ dengan solusi apa yang ingin mereka tempuh dan bagaimana cara yang efektif untuk mencapai solusi tersebut. Sayangnya, solusi-solusi yang ditawarkan oleh berbagai tokoh masyarakat, influencer hingga aktivis mahasiswa masih belum juga menyentuh akar masalah sosial ekonomi masyarakat Indonesia. Masyarakat tampak masih bersikukuh menuntut perubahan kebijakan negara tetapi dalam bingkai demokrasi. Padahal sistem pemerintahan demokrasi adalah biang kerok kerusakan yang terjadi di negeri ini.

 

Kecacatan demokrasi bisa kita lihat dari dua konsep mendasar, yakni menjadikan akal manusia sebagai sumber pembuatan hukum dan ide-ide kebebasan yang dijunjung tinggi di dalamnya. Sistem demokrasi meniscayakan manusia menempatkan dirinya sebagai Tuhan yang memiliki kewenangan untuk membuat hukum. Manusia-manusia yang dimaksud adalah para wakil rakyat yang diklaim sebagai representasi rakyat. Walhasil, hukum-hukum yang dihasilkan pun ‘disesuaikan’ dengan hawa nafsu segelintir orang yang berada dalam lembaga legislatif. Standar pembuatan hukum pun tidak lebih dari sekedar nilai manfaat tanpa memperhitungkan halal-haram. Dari sini, tidak mengherankan jika kemudian kebijakan yang dibuat senantiasa berubah-ubah sesuai situasi dan kondisi, atau bahkan tergantung pada siapa yang tengah berkuasa.

 

Sistem demokrasi yang memang tidak memiliki sistem benar-salah yang tetap (hakiki) ironisnya melahirkan penurunan daya berpikir kritis pada masyarakat. Rakyat hanya akan ‘bergerak’ tatkala kondisi mereka sudah sangat memprihatinkan. Pergerakan yang muncul pun cenderung bersifat sporadis dan berubah-ubah. Hal tersebut terjadi karena masyarakat tidak lagi memiliki kemampuan untuk menilai kebenaran hakiki sebagaimana yang dirinci dalam Al-Qur'an dan sunah Rasul.

 

Jelas bahwa kemarahan rakyat seharusnya lebih ditujukan kepada penerapan sistem demokrasi di negeri ini. Karena sistem demokrasi yang menyengsarakan mereka dengan meniscayakan para penguasa memberlakukan berbagai kebijakan rusak atas rakyat. Oleh karenanya, jelas bahwa tuntutan perubahan yang digaungkan masyarakat haruslah difokuskan pada sistem demokrasi dan menggantinya dengan sistem tuntunan Illahi.

 

Sistem Islam benar-benar menempatkan kedaulatan berada di tangan syarak, yakni  menjadikan seluruh undang-undang bersumber pada dalil syarak bukan akal manusia. Hukum-hukum Allah Swt. yang kemudian dirinci dalam berbagai perundang-undangan tidak akan berubah karena zaman apalagi penguasa. Siapa pun yang menjadi pemimpin rakyat diwajibkan untuk tunduk patuh pada dalil-dalil syarak di seluruh aspek kehidupan. Dengan syarak, masyarakat pun tidak akan pernah lagi merasa kebingungan dalam menilai salah-benar. Ketidaksesuaian dalam pelaksanaan hukum akan dengan mudah terdeteksi dengan melakukan pendalaman dalil-dalil syarak.

 

Oleh karena itu, dalam sistem Islam para pemimpin bertugas sebatas sebagai pelaksana hukum-hukum Allah Swt. Islam tidak memberi ruang bagi penguasa untuk berbuat zalim terhadap rakyatnya. Bahkan Islam menempatkan kekuasaan sebagai suatu amanah besar yang akan dimintai pertanggungjawabannya di hadapan Allah kelak. Rasulullah saw. bersabda, “...Sungguh jabatan/kekuasaan itu adalah amanah dan sungguh ia menjadi kerugian dan penyesalan pada hari kiamat, kecuali orang yang mengambil amanah itu dengan benar dan menunaikan kewajibannya di dalamnya.” (Hadist Riwayat Muslim)

 Wallahu a’lam bi ash-shawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar