Malapetaka Affan: Negara dan Amanah Syariat



Shazia Alma

 

#TelaahUtama — Petaka gugurnya pengantar makanan online—Affan Kurniawan—tergilas mobil taktis Brimob, 28 Agustus 2025, meninggalkan pilu sekaligus misteri. Tempo.co, memberitakan kronologi lengkap peristiwa ini dan demonstrasi yang menyertainya. Detiknews.com, menuliskan bahwa tujuh anggota Brimob diamankan Propam Polri dan diperiksa secara etik, bahkan prosesnya ditayangkan secara langsung. Antara.com, menambahkan bahwa mereka kini berstatus melanggar etik dan ditempatkan dalam penugasan khusus. Publik melihat adanya proses hukum, tetapi pertanyaan mendasar tetap menggema: apakah nyawa rakyat benar-benar terlindungi dalam sistem negara hari ini?

 

Islam dan Kesucian Jiwa

Dalam khutbah Haji Wada’, Rasulullah ﷺ menegaskan: “Sesungguhnya darah, harta, dan kehormatan kalian itu suci, sebagaimana sucinya hari ini, di bulan ini, dan di negeri ini.” (Riyādh as-Shālihīn, Sunnah.com). Al-Qur’an pun menutup rapat jalan pembunuhan tanpa hak. Allah berfirman: “Barang siapa membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain atau membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh seluruh manusia.” (Surah Al-Māidah Ayat 32)

 

Adapun bila kematian terjadi karena kesalahan, Allah mewajibkan dua hal: kaffārah berupa puasa dua bulan berturut-turut, dan diyat yang harus ditanggung oleh ‘āqilah (penanggung kelembagaan), sebagaimana ditegaskan dalam Surah An-Nisā’ Ayat 92. Ibn al-Mundzir bahkan menukil adanya ijma’ bahwa diyat pada qatl al-khathā’ memang menjadi tanggungan ‘āqilah  (IslamQA).

 

Dengan demikian, dalam pandangan Islam, setiap tumpahnya darah bukan sekadar tragedi individual, tetapi perkara syariat yang menguji keseriusan negara menjalankan amanahnya.

 

Negara sebagai Penjaga, Bukan Ancaman

Al-Māwardī, ulama besar abad ke-5 H, dalam Al-Ahkām al-Sulthāniyyah menulis bahwa tujuan imamah adalah “menjaga agama dan mengatur dunia”. Keamanan rakyat bukanlah bonus, tetapi inti dari mandat kekuasaan. Imam an-Nawawī dalam syarah hadis ke-14 Nawawi juga menegaskan bahwa darah seorang muslim tidak halal kecuali dalam tiga keadaan hukum yang jelas.

 

Hadis ini diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim. Rasulullah ﷺ bersabda, “Tidak halal darah seorang muslim yang bersaksi bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan bahwa aku adalah utusan Allah, kecuali dengan salah satu dari tiga sebab: 1) karena qishāsh membunuh orang lain; 2) karena zina oleh muhsan (orang yang sudah menikah), dan 3) karena meninggalkan agamanya dan memisahkan diri dari jamaah.”

 

Artinya, negara memiliki tanggung jawab syariat yang berat. Institusi penjaga rakyat ini tidak boleh menjadi pihak yang justru mengancam jiwa warganya. Nyawa rakyat bukan collateral damage dalam operasi keamanan, melainkan amanah yang harus dijaga. Ketika tragedi seperti Affan terjadi, masalahnya bukan hanya kesalahan sopir kendaraan atau kelalaian teknis, melainkan juga kegagalan sistem negara menegakkan prinsip dasar syariat: menjaga nyawa.

 

Islam Kafah: Bukan Parsial, tetapi Sistemik

Di sinilah Islam kafah memberi arahan. Islam tidak cukup hanya dipraktikkan dalam ibadah personal, sementara urusan politik dan keamanan diserahkan pada sistem sekuler. Islam kafah menuntut bangunan negara yang menegakkan syariat secara menyeluruh, sebagaimana diwariskan Rasulullah ﷺ dalam model Khilafah Islamiyah.

 

Dalam sistem Khilafah, aparat keamanan diposisikan sebagai penjaga rakyat, bukan sebagai alat represif kekuasaan. Khalifah memikul tanggung jawab langsung di hadapan Allah atas setiap nyawa yang hilang. Jika ada kelalaian struktural, pengadilan syariat tidak hanya menghukum individu pelaku, tetapi juga bisa menuntut komando hingga pucuk kepemimpinan.

 

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam The Ruling System in Islam menegaskan bahwa Qadhi al-Mazālim memiliki kewenangan penuh untuk mengoreksi kezaliman penguasa, bahkan hingga memberhentikan khalifah bila menjadi sumber mazlamah (hizb-ut-tahrir.org). Ini menunjukkan bahwa dalam sistem Islam, tidak ada pihak yang kebal hukum.

 

Syekh Abdul Qadim Zallum dalam Nizhām al-Hukm menambahkan bahwa negara adalah otoritas eksekutif yang bertugas mengurus urusan rakyat. Delegasi tugas boleh dilakukan, tetapi tanggung jawab puncak tetap berada di tangan khalifah. Negara tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban menjaga darah umat, sebab itu bagian dari maqāshid syariat yang paling pokok.

 

Politik Rahmah sebagai Realitas

Jika tragedi Affan dibaca dengan kacamata Islam kafah, maka pelajaran yang muncul jauh lebih mendalam daripada sekadar rekomendasi SOP atau sidang etik. Islam mengajarkan bahwa kehilangan satu nyawa muslim lebih berat daripada runtuhnya Ka’bah. Negara dalam Islam hadir sebagai pelindung, bukan ancaman.

 

Dalam Khilafah, kematian akibat aparat akan diklasifikasi secara jelas: apakah disengaja (‘amd), semi-intensional (shibh al-‘amd), atau keliru (khathā’). Setiap kategori memiliki konsekuensi syariat: qishāsh bagi kesengajaan, diyat dan kaffārah bagi keliru, serta ta‘zīr bagi kelalaian. Publik mendapatkan keadilan nyata, bukan sekadar janji.

 

Lebih jauh, Khilafah juga membangun budaya politik rahmah. Aparat dilatih bukan hanya dalam keterampilan teknis, tetapi juga dalam etika syariat. Alat negara diposisikan untuk melayani dan melindungi umat, bukan untuk menakut-nakuti. Transparansi bukan sekadar tontonan media, melainkan bagian dari akuntabilitas syariat yang melekat pada setiap pejabat.

 

Dari Tragedi ke Ibrah

 

Petaka Affan adalah duka. Namun, nestapa ini juga bisa menjadi titik balik kesadaran bahwa keamanan sejati hanya lahir dari negara yang menjalankan Islam kafah, berbasis wahyu dan contoh dari Rasulullah. Sistem sekuler hanya bisa memberikan hukuman etik, tetapi tidak mampu mengubah paradigma: rakyat sering kali dipandang sebagai objek pengendalian, bukan subjek yang dijaga.

 

Islam kafah, sebagaimana diwariskan Rasulullah ﷺ dan ditegakkan para khalifah, menghadirkan negara yang benar-benar menjadi pelindung jiwa umat. Nyawa tidak lagi menjadi angka yang mudah dikorbankan, melainkan amanah yang dijaga dengan serius. Politik yang dibangun bukan politik represi, tetapi politik rahmah.

 

Maka, pilunya kehilangan sosok Affan mestinya menggugah kita semua untuk merenungkan: apakah sudah saatnya kita menelaah kembali kepada sistem yang Allah dan Rasul-Nya ajarkan—Khilafah Islamiyah—agar tidak ada lagi Affan berikutnya? Wallahualam bissawab.[]

 

  

Posting Komentar

0 Komentar