Shiha Utrujah
#Wacana — Mendengarnya
saja hati begitu sesak—menggambarkan
bagaimana ketika puluhan tahun menghemat sambil memanjatkan doa, menjadi
harapan terbesar di penghujung usia untuk menunaikan ibadah haji. Harapan itu
pupus dan sirna karena ada 840 jemaah
haji yang gagal berangkat. Bukan karena alasan cuaca, bukan juga karena darurat
perang. Namun, spekulasi manipulasi terkait penyalahgunaan alokasi tambahan
kuota haji yang dikucurkan oleh Pemerintah Saudi Arabia.
Dalam estimasi
awal, defisit negara yang disebabkan oleh dugaan penyelewengan kuota haji
mencapai Rp1 triliun, yang berasal dari disparitas biaya yang semestinya
menjadi pendapatan negara. Dalam kasus dugaan penyelewengan haji terkini, KPK
belum menunjuk satu individu pun sebagai terduga pelaku. Namun, mereka telah
melakukan pemeriksaan dan pencegahan terhadap beberapa individu yang hendak
meninggalkan Indonesia, termasuk Yaqut Cholil Qoumas. (tempo.com, 26/08/2025)
Dalam konteks
perkara tersebut, lembaga legislatif dan eksekutif bersepakat untuk melakukan
reorganisasi lembaga penyelenggara ibadah haji menjadi direktorat khusus haji
dan umrah. Ketetapan tersebut termaktub dalam Naskah Akademik Rancangan
Undang-Undang (NARU) Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2019
tentang Ibadah Haji dan Umrah atau NARU Haji. (cna.id, 28/08/2025)
Kementerian Haji dan Umrah
yang sudah disahkan membuktikan negeri ini seakan berjalan tanpa pijakan dan
arah yang jelas (pragmatis, populis, oportunis). Adanya Kementerian baru tentu
tak mendukung efisiensi anggaran yang diberlakukan negara. Kemudian, korupsi
yang belum tuntas dibasmi serta karakter pejabat yang oportunis, keras terhadap
rakyat, dan kadang tak menguasai tugasnya masih jadi PR besar.
Kejahatan Sistemik
Isu penyelewengan keuangan
masih menjadi tantangan utama di Indonesia, baik dalam konteks institusional
maupun politik yang terkait dengan otoritas. Tidak hanya terbatas pada beberapa
institusi, tetapi telah menyebar luas di seluruh lembaga. Sudah terkonfirmasi, banyak pejabat publik, mulai dari
legislatif, eksekutif, pejabat daerah, BUMN, hingga aparat hukum, dan pejabat
pendidikan tinggi terlibat dalam kasus korupsi.
Sulitnya mengeliminasi
kasus korupsi dipengaruhi banyak faktor. Di samping isu karakter dan moralitas
pejabat, warisan budaya historis yang membudaya serta kelemahan struktur
administratif dan kerangka hukum juga berkontribusi pada institusionalisasi perilaku
koruptif: menggunakan kata "karakter", "moralitas",
"warisan budaya historis", dan "institusionalisasi".
Selain masalah
integritas individu pejabat, faktor tradisi budaya yang diwariskan serta
kelemahan sistem birokrasi dan hukum turut serta dalam mengukuhkan perilaku
korup. Apalagi, kemajuan teknologi makin pesat sehingga taktik korupsi juga
makin variatif. Praktik pencucian uang yang umumnya menyertai tindak korupsi
tidak lagi terbatas pada akuisisi aset berwujud dan tidak berwujud, tetapi
telah berkembang ke dalam ranah transaksi digital yang sulit dipantau. Berbagai perangkat hukum,
baik lembaga maupun undang-undang, seperti KPK seakan mandul untuk memberantas
korupsi hingga ke akarnya.
Kegagalan Demokrasi
Pada saat ini,
pengambil keputusan bergantung pada sistem demokrasi sebagai jawaban dalam
rezim pemerintahan yang paling diagungkan. Mereka memuliakan prinsip demokrasi
seolah-olah sistem pemerintahan ini adalah model ideal. Sayangnya, demokrasi
yang dipuji justru menjadi lahan subur bagi korupsi dan menjadi sarana bagi
koruptor untuk terus melakukan kejahatan. Fenomena ini dapat dipahami karena
esensi demokrasi adalah memberikan otoritas pada rakyat.
Sebagaimana sifat asli
manusia, makin mereka berkuasa, makin rakus dan tidak memiliki empati sama
sekali. Hal ini
disebabkan karena kebijakan tersebut didasarkan pada emosi dan keinginan
pribadi. Demokrasi juga didukung oleh kapitalisme yang menuhankan
materi. Siapa yang memiliki modal besar ialah yang dapat memegang dan membuat
kebijakan. Wajar jika hukum yang dibuat meskipun beribu kali RUU dirombak hasilnya sama saja tetap makin
menyuburkan kejahatan.
Islam Solusi Hakiki
Islam memiliki paradigma
yang jelas dalam menetapkan pijakan dan arah pemerintahan. Tidak pragmatis,
tetapi berjalan menuju rida Allah dengan aturan Islam kafah. Sistem ini dibangun di atas dasar prinsip keimanan yang
diimplementasikan dalam seluruh aktivitas.
Prinsip halal
dan haram menjadi standar yang tak tergoyahkan, sehingga celah kerusakan
tertutup rapat karena kuatnya kontrol internal berbasis keimanan pada setiap
individu dan institusi. Kultur masyarakat yang menerapkan sistem Islam sangat
kaya dengan nilai-nilai amar makruf nahi mungkar, yang mendorong individu untuk
melakukan kebaikan dan menghindari kemungkaran.
Budaya ini
berperan sebagai pilar pelindung yang efektif untuk mencegah terjadinya
tindakan yang melanggar hukum syarak. Selain itu, sistem Islam memiliki pilar
pendukung ketiga dalam menjaga ketertiban masyarakat, yakni penegakan syariat
Islam yang tegas dan konsisten oleh lembaga negara. Hukum Islam berfungsi
sebagai pelindung fitrah manusia dan penjamin kemaslahatan yang diharapkan,
termasuk tercapainya kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat.
Tidak heran,
peradaban Islam yang dibangun di atas landasan syariat Islam dapat
merealisasikan berbagai aspek nilai yang dibutuhkan manusia, mulai dari aspek
ruhani, aspek kemanusiaan, hingga aspek material. Sehingga, dalam sistem Islam,
manusia tidak akan terpicu untuk melakukan tindakan yang hanya bertujuan
memuaskan keinginan duniawi, seperti perilaku konsumtif atau hedonis yang
sering kali dibudayakan dalam sistem sekuler dan menjadi pemicu tindakan
korupsi.[]
0 Komentar