Peran Guru Mendidik Generasi dan Mewujudkan Keluarga Harmonis



 

#Reportase — Pendidikan berperan strategis dalam memajukan suatu bangsa. Setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan yang layak, karena itu merupakan hak rakyat yang harus dipenuhi penguasa. Lantas, sejauhmana pendidikan di negeri kita saat ini? Sudahkah memberikan pendidikan yang layak dan memadai untuk para Generasi kita?

 

Muslimah Inspiratif Bekasi menyelenggaran diskusi terbatas, pada Sabtu (30-8-2025) dengan tema: "Peran Guru Mendidik Generasi dan Mewujudkan Keluarga Harmonis". Dalam diskusi tersebut hadir para narasumber dan beberapa tokoh pengajar seperti guru dan dosen.

 

Dalam forum diskusi ini, Ustazah Neny Irmayanti, S.T., menyoroti berbagai persoalan mendasar yang dihadapi pendidikan Indonesia saat ini. Masalah paling mendesak yang disampaikan adalah terjadinya sekularisasi masif, yakni proses menjauhkan agama dari kehidupan sehari-hari, termasuk dari dunia pendidikan. Agama akhirnya hanya ditempatkan di ranah privat, sementara dalam kehidupan publik, termasuk pendidikan, nilai-nilai agama dianggap tidak relevan.

 

Selain itu, pendidikan di Indonesia juga dinilai mengalami penjajahan melalui kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kapitalisasi dan komersialisasi. Akibatnya, hanya kalangan mampu yang bisa menikmati pendidikan berkualitas. Sementara itu, sekolah-sekolah negeri sering kali penuh sesak hingga 50 siswa dalam satu kelas, sehingga mutu pembelajaran menurun.

 

Fenomena lain yang mengkhawatirkan adalah tren masyarakat mengirimkan anak sekolah ke luar negeri. Menurut narasumber, hal ini justru makin memperkuat sistem sekuler, karena lulusan luar negeri sering membawa nilai-nilai asing yang menjauhkan generasi dari jati diri bangsa.

 

Pendidikan saat ini juga lebih diarahkan untuk memenuhi kebutuhan industri, bukan untuk membentuk generasi yang memahami tujuan hidupnya. Banyak siswa SMA maupun mahasiswa yang hanya berorientasi pada pekerjaan, bukan pada kontribusi yang lebih luas bagi masyarakat.

 

Ustazah Kristiati Supardi, S.E., M.Ikom., juga menyoroti bahwa mahasiswa saat ini seringkali terseret dalam pertarungan politik sekuler antara pihak yang ingin mempertahankan kekuasaan dan pihak lain yang ingin merebut kekuasaan, padahal mahasiswa sejatinya hanya menuntut keadilan dan penegakan hukum.

 

Namun, wajah Islam dalam perjuangan mahasiswa belum tampak kuat. Hal ini disebabkan oleh warisan sekularisme dalam sistem pendidikan, sehingga spirit Islam sering kali tertutupi. Umat Islam perlu memiliki cara pandang berbeda, yakni cara pandang Islam yang menyeluruh, karena hanya Islam yang mampu memberikan solusi atas krisis kepemimpinan dan politik yang terjadi.

 

Isu pendidikan menjadi sorotan penting dalam diskusi. Dalam sistem kapitalistik, guru kerap dianggap beban anggaran negara dan hanya dihargai jika menghasilkan output tertentu. Pandangan ini berbeda jauh dengan sejarah Islam, para khalifah menempatkan guru pada posisi yang mulia dan memberi penghargaan tinggi. “Visi politik sebuah negara bisa dilihat dari bagaimana mereka memperlakukan guru,” tegas narasumber.

 

Selain itu, umat Islam khususnya mahasiswa, harus tetap menjadikan Al-Qur’an sebagai landasan dalam dunia akademik. Keimanan harus dibangun di atas rasionalitas, sehingga akidah dapat tertanam kokoh sejak dini, bahkan sejak anak-anak di bangku TK.

 

Kesimpulan

 

Dari pembahasan dalam forum, terlihat jelas bahwa akar persoalan bangsa, dalam ranah pendidikan ini adalah dominasi sekularisme dan kapitalisme. Mahasiswa terseret dalam konflik kekuasaan, guru dipandang sebagai beban anggaran, pendidikan dikomersialisasi, dan akidah umat dilemahkan melalui sistem yang menjauhkan agama dari kehidupan.

 

Islam kafah hadir sebagai solusi menyeluruh untuk mengatasi krisis tersebut. Dengan menjadikan akidah Islam sebagai dasar berpikir, pendidikan akan melahirkan generasi beriman, berilmu, dan berakhlak mulia. Sementara itu, politik Islam akan melahirkan kepemimpinan yang adil, menyejahterakan rakyat, dan menghormati peran guru serta lembaga pendidikan.

 

Karena itu, kembali pada Islam kafah bukan hanya kebutuhan, tetapi juga satu-satunya jalan untuk menyelamatkan bangsa dari krisis multidimensi dan mewujudkan peradaban yang mulia.[Vivi Aprillia Ardi]

Posting Komentar

0 Komentar