UMK Masih Menjadi Polemik, Kesenjangan Ekonomi kian Mencekik




Umma Afsana


#Bekasi — Persoalan tentang buruh yang berkaitan dengan pengupahan dari tahun ke tahun seolah tidak kunjung terselesaikan. Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi mengusulkan perubahan besar dalam sistem pengupahan nasional. Dalam Rapat Kerja dan Konsultasi Nasional (Rakerkornas) ke-XXXIV Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) di El Royal Hotel, Bandung, Selasa (5/8/2025), ia menyampaikan gagasan mengganti sistem Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK) dengan sistem upah sektoral nasional. Menurut Dedi, sistem UMK selama ini telah menimbulkan ketimpangan upah yang tidak logis antar wilayah yang secara geografis berdekatan. (koranperdjoeangan.com)

 

Upah Minimum Menjadi Polemik Tahunan

Pembahasan soal kenaikan upah minimum sejak tahun lalu hingga hari ini masih terus berlangsung. Baik dari pihak buruh dan pengusaha di Bekasi masing-masing pihak masih berusaha mencapai satu titik kata sepakat. Jika tahun lalu dasar penetapan upah pekerja masih merujuk pada PP 51/2023 tentang pengupahan yang dalam aturan tersebut terdapat setidaknya tiga variabel yang menentukan kenaikan upah buruh setiap tahun, yakni pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu.

 

Kini, penetapan ini tidak lagi menjadi dasar dalam menentukan upah bagi kaum kerah biru. PP ini sudah tidak berlaku lagi setelah mahkamah konstitusi menerbitkan putusan nomor 168/PUU-XXII/2024 yang secara langsung membatalkan beberapa ketentuan dalam UU Cipta Kerja yang menjadi dasar PP tersebut. Maka secara otomatis pula kementrian ketenagakerjaan tidak lagi menggunakan PP ini sebagai acuan dalam perhitungan upah minimum.

 

Seperti yang disampaikan oleh Wakil Ketua DPR RI, Sufmi Dafco Ahmad dalam artikel yang dilansir oleh pihak antaranews.com menyatakan bahwasanya peraturan sebelumnya yakni pada Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2023 tentang pengupahan sudah tidak lagi berlaku setelah terbit Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 168/PUU-XXII/2024 berdasarkan pada uji materi Undang-Undang (UU) Cipta Kerja terkait ketenagakerjaan.

 

Perubahan ini lantas menunjukkan bahwa poin-poin dasar penting yang awalnya menjadi pertimbangan dalam menentukan kesejahteraan kaum buruh, kini tidak lagi ada. Artinya, kaum buruh harus menyiapkan diri jika nantinya akhir dari perjalanan perumusan dalam menentukan besaran UMK ini berakhir pada ketidakberpihakan penguasa pada kesejahteraan buruh.

 

Kesalahan dalam Penetapan Besaran Upah Sebabkan Disparitas Upah

Gayung bersambut, usulan gubernur Jawa Barat ini lantas mendapat respon dari pihak serikat pekerja Bekasi. Organisasi yang sejak berdirinya pada tahun 1973 secara aktif memperjuangkan kesejahteraan kaum buruh ini mengevaluasi bahwa usulan yang disampaikan oleh gubernur Jawa Barat sebenarnya relevan, jika keadaan disparitas atau perbedaan upah antar provinsi/kota/kabupaten tidak signifikan jumlahnya.  Jika melihat pada kondisi lapangan, upah minimum masing-masing provinsi dan kabupaten/kota jarak disparitasnya sangatlah besar. Sehingga jika upah sektoral secara nasional diterapkan maka hanya akan menimbulkan persoalan baru. Seharusnya gagasan ini diterapkan sejak dulu sebelum disparitas upah setinggi saat ini, ungkap ketua KSPSI Jabar Roy jinto pada pihak koran Pikiranrakyat.com.

 

Kesalahan penetapan upah minimum dalam sistem kapitalisme sudah terjadi sejak awal. Penetapan besaran upah buruh berdasarkan indeks kebutuhan hidup minimum atau biasa disebut dengan KHL adalah buah pemikiran dari sistem kapitalisme. Sementara definisi dari KHL itu sendiri adalah Kebutuhan Hidup Layak, yakni sebuah standar perhitungan yang menetapkan kebutuhan minimum seorang pekerja lajang untuk dapat hidup secara layak secara fisik, mental, dan sosial dalam satu bulan. Standar inilah yang menjadi acuan untuk menetapkan besaran upah minimum bagi kaum kerah biru.

 

Dalam prakteknya KHL mewakili beberapa komponen kebutuhan hidup yang amat sederhana. Dengan kata lain standar hidup paling minimal dari masyarakat.  Dengan model penetapan seperti ini maka upah buruh tidak akan mampu menghantarkan pada kesejahteraan hidup. Sebab sejak awal memang sudah diatur seminimalis mungkin dalam memenuhi kebutuhannya. Apalagi untuk masyarakat yang kebetulan tinggal di daerah yang biaya hidupnya tinggi seperti Bekasi. Dengan upah yang lebih tinggi sekalipun tidak lantas memberikan jaminan akan mampu hidup lebih baik. Sebab upahnya yang tinggi harus bergelut dengan harga barang dan jasa yang lebih mahal dibanding wilayah dengan biaya hidup yang cenderung  lebih rendah.

 

Inilah yang menjadi dasar persoalan upah yang tak kunjung selesai dalam sistem kapitalisme. Penentuan besarnya upah tidak didasarkan pada tenaga atau jasa yang diberikan buruh kepada pemberi kerja. Sebab dalam pandangan sistem kapitalisme, penentuan besaran upah didasarkan pada perhitungan kebutuhan hidup paling minimum dari setiap individu. Padahal, sejatinya penentuan besaran upah berbeda-beda sesuai dengan jasa yang diberikan, jenis pekerjaan, waktu bekerja, dan tempat bekerja. Sama sekali tidak ada kaitannya dengan standar hidup minimum. Makin mahir atau profesional seorang pekerja, maka akan sangat mungkin untuk mendapatkan upah lebih tinggi dibanding pekerja pemula.

 

Sistem Upah dalam Islam, Hilangkan Nestapa Buruh

Semua nestapa yang dialami kaum kerah biru ini  merupakan akibat dari penerapan sistem kapitalisme. Nestapa menjadi kian mendalam ketika dalam sistem kapitalisme negara hanya bertindak sebagai regulator dan fasilitator, bukan berperan sebagai pengurus rakyat. Negara tidak berkontribusi sebagai pelindung hak-hak yang menjamin kesejahteraan kaum buruh. Hal ini membuat kondisi buruh tak kunjung membaik dari tahun ke tahun.

 

Di tengah kondisi yang tak kunjung membaik ini, negara justru membuat regulasi yang lebih berpihak pada kaum oligarki. Salah satunya adalah wacana yang sedang digaungkan. Wacana ini jelas merugikan kaum buruh. Menjadikan kesejahteraan seolah hanya bayang semu yang makin sulit untuk digapai.

 

Hal ini begitu kontras jika kita menilik pada sistem pengupahan dalam Islam yang  menetapkan bahwa besaran upah harus adil dan disesuaikan dengan manfaat kerja, bukan berdasarkan tingkat hidup pekerja, dan bahkan tidak boleh menggunakan konsep upah minimum yang nantinya akan menzalimi pekerja. Selain itu, penentuan upah dilakukan melalui kesepakatan antara pekerja dan pemberi kerja, dengan melibatkan para ahli (khubara) untuk menentukan nilai yang sepadan. Sedangkan tanggung jawab pemenuhan kebutuhan dasar pekerja ada pada negara bukan pada majikan.

 

Sejak awal Islam telah menegaskan bahwa buruh adalah pihak yang berhak untuk hidup dalam bingkai kata sejahtera. Hal ini secara tegas tercermin dalam perintah syariat untuk menyegerakan pemberian upah buruh. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anakmu) untukmu,berikanlah kepada mereka upahnya.” (Surah Ath-Thalaq Ayat 6) Senada dengan ini, Rasulullah juga bersabda ,”Berikanlah kepada seorang pekerja upahnya sebelum keringatnya kering.” (Hadis Riwayat Ibnu Majah)

 

 

Islam dengan sistemnya yang paripurna juga menyampaikan bahwa kesejahteraan buruh dijamin langsung oleh negara. Hal ini dikarenakan khalifah atau penguasa dalam sistem Islam memiliki peran sebagai raa’in (pengurus rakyat). Khalifah harus memastikan adanya keadilan dalam akad yang terjadi antara pekerja dan pengusaha dalam hubungan pekerjaan sesuai dengan akad ijarah (pengupahan). Keduanya dipastikan menjalankan aktivitas tolong-menolong untuk mewujudkan kebaikan bersama.  Tidak dibolehkan terjadi eksploitasi di antara keduanya.

 

Mengenai sistem pengupahan, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani rahimahullah menjelaskan dalam Muqadimah Kitab ad-Dustur pasal 155, “Upah boleh ditentukan sesuai dengan manfaat kerja dan bisa juga sesuai dengan manfaat pekerja. Upah tidak boleh ditentukan berdasarkan biodata pekerja atau sertifikat ilmiahnya. Tidak ada kenaikan gaji bagi para pegawai, tetapi mereka diberi semua upah yang menjadi hak mereka,baik berdasarkan manfaat pekerjaan atau pekerja”.

 

Dalam praktek riilnya jika terjadi perbedaan tentang pengupahan yang sudah disepakati sebelumnya, maka keduanya harus merujuk pada upah yang semisal/sepadan. Upah yang sepadan itu ditetapkan oleh ahli (khubara) dengan memperhatikan pada empat hal: yakni pekerjaannya, pekerjanya, waktu, dan tempat.

 

Terkait pemenuhan kebutuhan hidup pekerja tidaklah diletakkan di pihak pengusaha, tapi hal ini menjadi tanggung jawab penguasa atau negara. Negara wajib memberikan jaminan terhadap pemenuhan kebutuhan dasar seluruh rakyat, termasuk para pekerja dalam tiga hal utama seperti sandang, pangan, dan papan. Termasuk kebutuhan pendukung lainnya yang juga tidak kalah penting seperti kesehatan dan keamanan. Untuk mewujudkan pemenuhan kebutuhan ini, Khilafah melakukannya dengan menyediakan lapangan pekerjaan bagi rakyat. Sehingga semua laki-laki yang sudah mencapai usia dewasa memiliki pekerjaan yang layak untuk menjamin terpenuhinya semua kebutuhannya dan juga keluarganya. Sementara pendidikan, kesehatan, dan keamanan, menjadi tanggung jawab Negara untuk menyediakannya dan dapat diakses secara gratis.

 

Dengan sistem yang seperti ini, maka rakyat tidak akan terbebani dengan persoalan biaya kesehatan, pendidikan, dan juga keamanan.  Dengan pengaturan sistem Islam yang sedemikian rupa dalam naungan Khilafah, maka buruh tidak akan dihantui kekhawatiran terkait upah. Sebaliknya buruh akan hidup sejahtera. Wallahualam bissawab.[]

Posting Komentar

0 Komentar