Ancaman Fatal di Balik Swastanisasi Program Gizi



Alin F.M.


#Jaktim — Dilansir dari Liputan6.com (30/09/2025), puluhan siswa SDN 01 Gedong, Pasar Rebo, dilarikan ke rumah sakit setelah menyantap menu Program Makan Bergizi (MBG). Polisi yang turun ke lapangan menemukan kejanggalan fatal: mi yang dibagikan terlihat pucat dan mengeluarkan aroma tidak sedap


Insiden dugaan keracunan yang menimpa 20 siswa SDN 01 Gedong, Pasar Rebo, pada Selasa (30/09/2025) akibat menu Program Makan Bergizi (MBG) adalah alarm keras yang menyoroti kelemahan fundamental dalam model pelaksanaan program gizi nasional. Ini bukan sekadar kasus makanan basi biasa; ini adalah hasil langsung dari swastanisasi (outsourcing) tanggung jawab vital negara kepada vendor yang didorong oleh motivasi keuntungan.


Polisi menemukan fakta yang mengejutkan dengan menu yang disajikan, termasuk mi goreng, telur, tahu, capcay, dan stroberi, ternyata mi terlihat pucat dan beraroma tak sedap. Gejala muntah dan pusing yang muncul segera menunjukkan kegagalan sistemik dalam kontrol kualitas (QC) dan sanitasi.


Ancaman Fatal Menyerahkan Amanah ke Tangan Swasta

Model pelaksanaan MBG yang mengandalkan vendor atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) yang dikelola pihak ketiga menciptakan dilema etika dan praktis yang berbahaya. Dalam pandangan Islam, ini adalah pelanggaran serius terhadap tiga pilar utama: Hifzh an-Nafs, Amanah, dan Thayyiban.


Insiden ini adalah lonceng bahaya yang menuntut audit total terhadap model pengelolaan MBG. Pemerintah harus mengambil langkah drastis: meningkatkan kontrol negara secara langsung terhadap kualitas dan distribusi makanan, bahkan mempertimbangkan pengelolaan oleh badan publik yang berorientasi pada kemaslahatan, bukan keuntungan.


Amanah kesehatan dan gizi peserta didik tidak boleh dikorbankan demi kelalaian atau keuntungan sempit. Kegagalan menjamin makanan yang aman dan thayyib adalah dosa Investasi dan bentuk pengkhianatan terhadap janji syar'i negara kepada rakyatnya. Evaluasi yang perlu diperhatikan sebagai berikut.


Kontrol Kualitas Dikalahkan Efisiensi Harga (Pelanggaran Prinsip Thayyiban dan Larangan Membahayakan)

Ketika program gizi dioperasikan melalui mekanisme tender, fokus utamanya cenderung bergeser dari standar halalan thayyiban (higienis dan berkualitas) menjadi efisiensi biaya. Vendor berlomba untuk menawarkan harga per porsi terendah agar memenangkan kontrak.


Tekanan biaya ini berpotensi memaksa vendor untuk memotong anggaran di area paling krusial: penggunaan bahan baku berkualitas rendah, penghematan waktu memasak (yang penting untuk membunuh patogen), dan pengabaian prosedur sanitasi yang memadai.

 

Menyajikan makanan yang berpotensi merusak kesehatan adalah melanggar perintah Allah Swt:

يٰٓاَيُّهَا النَّاسُ كُلُوْا مِمَّا فِى الْاَرْضِ حَلٰلًا طَيِّبًاۖ وَّلَا تَتَّبِعُوْا خُطُوٰتِ الشَّيْطٰنِۗ اِنَّهٗ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِيْنٌ ۝١٦

"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (thayyib) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan..." (Surah Al-Baqarah Ayat 168)


Dan juga melanggar kaidah fikih tentang larangan menimbulkan bahaya:

 "Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain (La dharara wa la dhirar)." (Hadis Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad)


Reduksi Amanah Publik Menjadi Kontrak Dagang (Pelanggaran Prinsip Amanah dan Hifzh an-Nafs)

Dalam kerangka demokrasi sekuler, negara cenderung melepaskan diri dari tugas teknis, menyerahkan eksekusi kepada pasar swasta. Tindakan ini mereduksi Amanah (tanggung jawab mutlak) negara dalam hifzh an-nafs (menjaga jiwa) anak-anak menjadi sekadar kewajiban kontrak semata.


Ketika vendor gagal menyajikan makanan basi, negara bertindak sebatas sebagai regulator yang memberikan sanksi kontrak, bukan sebagai penanggung jawab utama yang gagal melindungi rakyatnya. Kerugian kesehatan dan moral anak-anak tidak terkompensasi hanya dengan pemutusan kontrak. Sehingga keuntungan di atas penderitaan bukan kemaslahatan masyarakat.


Swastanisasi membuat program gizi berubah dari layanan publik menjadi proyek komersial. Motivasi utamanya adalah laba, yang rentan mengorbankan kualitas dan keamanan demi margin keuntungan.


Tanggung jawab ini ditegaskan dalam Al-Qur'an, Allah Swt. berfirman:

يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا لَا تَخُوْنُوا اللّٰهَ وَالرَّسُوْلَ وَتَخُوْنُوْٓا اَمٰنٰتِكُمْ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ۝٢٧

 "Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanah-amanah yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui." (Surah Al-Anfal Ayat 27)


Tragedi ini menuntut Pemerintah untuk melakukan audit total terhadap model pelaksanaan MBG. Keamanan dan gizi anak bangsa terlalu vital untuk digantungkan pada mekanisme pasar yang rentan terhadap kepentingan profit.


Pemerintah harus mengambil alih kendali penuh atas proses kontrol kualitas, bahkan jika produksi masih dilakukan oleh vendor. Kontrol harus meliputi inspeksi bahan baku, verifikasi suhu masak, dan protokol distribusi yang ketat.


Kemudian, negara memberikan Sanksi bagi vendor yang lalai. Pelanggaran yang membahayakan nyawa anak harus ditindak sebagai kejahatan publik, disertai pencabutan izin permanen. Selain itu, standar pengadaan harus diprioritaskan pada kualitas dan sanitasi tertinggi, anggaran harus disesuaikan untuk menjamin keamanan pangan, bukan sebaliknya.


Kegagalan menjamin makanan yang aman dan higienis adalah bentuk pengkhianatan terhadap janji negara kepada generasi penerus. Kita harus memastikan bahwa program yang bertujuan memberikan gizi, tidak berbalik menjadi sumber penyakit dan bencana.


Dalam konsep Khilafah secara mendasar berbeda dengan sistem demokrasi sekuler. Dalam sistem ini, negara memiliki tanggung jawab langsung dan tidak dapat diganggu gugat untuk mengelola urusan vital umat, termasuk keamanan pangan, air, dan kesehatan. Tidak ada ruang bagi pihak swasta untuk mengambil alih pengelolaan sektor publik yang menyangkut hajat hidup orang banyak, karena hal itu akan membuka celah bagi dominasi motif laba di atas kemaslahatan. 


Negara dalam naungan Khilafah akan menjamin generasi penerus mendapatkan pelayanan pendidikan beserta penunjang agar peserta didik mendapatkan asupan makanan yang memadai. Hal ini sejalan dengan prinsip hifzh an-nafs dan hifzh al-'aql (menjaga akal), karena gizi yang memadai adalah prasyarat untuk keberhasilan pendidikan. Wallahualam bissawab.[]


Posting Komentar

0 Komentar