Mitri Chan
#Bogor — Polemik dua desa yang dijadikan agunan oleh pengusaha ke bank, yaitu Desa Sukaharja dan Desa Sukamulya, Kecamatan Sukamakmur, Kabupaten Bogor, Jawa Barat kini terancam dilelang oleh Kejaksaan Agung. Total ada 800 ha lahan dari dua desa ini berupa hamparan lahan dan sebagian kecil adalah permukiman warga. Kondisi ini sangat meresahkan karena warga tidak bisa mengelola tanah dan kepemilikan tanah tidak pasti, padahal mereka memiliki sertifikat resmi.
Pemerintah daerah berupaya mengatasi masalah dengan menelusuri awal mula persoalan dengan pihak terkait. Menteri Desa dan Pembangunan Desa Tertinggal, Yandri Susanto mengusulkan agar kedua desa dikeluarkan dari aset yang diagunkan ke bank. Di sisi lain, apa yang dilakukan Kejagung sudah sesuai dengan undang-undang (TVOneNews, 29/09/2025). Inilah yang membuat warga makin resah karena hak kepemilikan mereka akan hilang.
Bagaimana mungkin lahan desa menjadi jaminan utang seseorang ke bank? Padahal lahan desa diketahui sudah menjadi hak milik warga secara sah. Permasalahan ini berawal sejak 1983, Direktur Bank Pembangunan Asia, Lee Chian Kiat memberikan pinjaman kepada H. Madrawi sebagai Direktur PT Perkebunan dan Peternakan Nasional Gunung Batu, yang diketahui orang dekat Lee Chian Kiat. (BeritaSatu, 26/09/2025)
Mereka disinyalir menyalahgunakan kepercayaan dan kedudukan dengan menggadaikan tanah warga tanpa izin. Perilaku khianat adalah cerminan kepribadian individu sekuler materialistis, melakukan segala cara untuk mencapai kepentingan materi tanpa mengindahkan halal dan haram. Dampaknya masyarakat mengalami kerugian properti, tanahnya disita dan harus berhadapan dengan proses hukum yang rumit untuk membuktikan kepemilikannya. Hal ini karena sistem hukum di Indonesia menjadikan sertifikat tanah sebagai bukti sah atas kepemilikan tanah. Namun, bukti kepemilikan berupa sertifikat juga memiliki celah yang bisa dimanfaatkan orang lain tanpa seizin pemiliknya, seperti kasus gadai lahan warga.
Bukti kepemilikan berupa sertifikat tanah ternyata tidak menjamin perlindungan terhadap hak-hak pemilik tanah selama sistem yang diterapkan kapitalisme sekuler. Undang-undang yang lahir justru membuka peluang bagi para pemodal atau pengusaha untuk menguasai lahan. Dalam kapitalisme negara bisa menyita tanah yang menjadi agunan peminjam yang kreditnya macet untuk dilelang. Negara memperjualbelikan tanah yang seharusnya masih menjadi hak rakyat untuk keberlangsungan hidup. Rakyat menjadi korban ketamakan pengusaha sekaligus kebijakan negara yang tidak berpihak kepada rakyat.
Bukti kepemilikan tanah yang mampu menjaga hak pemiliknya justru berasal dari konsep Islam. Rasulullah bersabda, "Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu berhak untuknya." Hadits ini bermakna bahwa kepemilikan dalam Islam itu mengikuti produktivitasnya, apabila tanah itu produktif maka akan tetap menjadi miliknya, sebaliknya jika tidak mampu mengelola maka akan hilang kepemilikannya. (Nidzam al-Iqtishad fil Islam, Syekh Taqiyuddin an-Nabhani)
Selama ini masyarakat dua desa di Sukamakmur masih menggunakan tanah sebagai sumber kehidupannya secara turun temurun. Maka, pelelangan tanah atas nama negara adalah kezaliman, karena secara syarak tanah tersebut adalah kepemilikan individu yang sah. Negara tidak boleh mengambil, melelang atau memperjualbelikan hanya untuk mengikuti kepentingan oligarki yang berorientasi pada untung dan rugi. Negara tidak boleh memosisikan dirinya sebagai pedagang atau pengusaha untuk mengambil keuntungan dari rakyatnya.
Rasulullah saw. bersabda, "Siapa yang merampas secara zalim sejengkal tanah milik orang lain, niscaya Allah akan mengalungkan tujuh lapis bumi kepadanya." (Hadis Riwayat Bukhari dan Muslim)
Maksudnya, negara sekalipun tidak boleh menguasai tanah pribadi milik kaum muslim, apalagi melelangnya kepada orang asing, atau perusahaan demi keuntungan. Kedudukan negara dalam Islam adalah sebagai ra'in, yaitu mengatur urusan masyarakat dan memenuhi kebutuhan rakyatnya. Negara akan melakukan upaya untuk melindungi kepemilikan individu dari para penjarah, penyerobot tanah maupun pihak-pihak yang menggunakan harta milik pribadi tanpa izin.
Adapun penerbitan sertifikat tanah dilakukan untuk memudahkan pemanfaatan tanah oleh pemiliknya. Islam memiliki aturan kepemilikan yang jelas dengan mengklasifikasikan kepemilikan pribadi, negara, dan umum beserta pengelolaan masing-masing. Dengan aturan ini, pemilik harta atau lahan terlindungi dari perampasan tanpa izin, baik yang dilakukan individu, kelompok, atau negara.
Khilafah akan menutup celah terjadinya kezaliman dan melakukan kebijakan yang berorientasi pada kesejahteraan rakyat. Maka, solusi tepat atas berbagai kasus sengketa tanah adalah penerapan syariat Islam secara kafah, yakni melalui Khilafah Islam.
0 Komentar