Annisa
#Wacana — Rakyat,
khususnya para petani sawit, menyuarakan tuntutan mereka. Demo yang digelar
pada Kamis (25/09/2025) kembali mengangkat isu reforma agraria, (kompas.com, 25/09/2025).
Meski orasi digaungkan, hingga saat ini tuntutan para petani sawit belum
menemukan jawaban. Semua orasi itu seakan diredam oleh kebijakan yang terus
memihak korporasi.
Jika bicara data,
Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia yang menyumbang
sekitar 60% pasokan global. Melangsir dari bpdp.or.id (28/02/2025),
bahwa dari data distribusi sertifikasi RSPO menunjukkan Indonesia merupakan
produsen minyak sawit terbesar dunia yang juga sekaligus menjadi produsen
terbesar untuk minyak sawit bersertifikasi berkelanjutan. Artinya sertifikasi
RSPO (belum termasuk dengan sertifikasi ISPO) telah menunjukkan bahwa kuatnya
komitmen Indonesia untuk menghasilkan minyak sawit yang memenuhi
prinsip-prinsip berkelanjutan.
Tentu hal ini bertolak
belakang dengan fakta kondisi dilapangan. Sebagai pelaku utama yang
menggerakkan industri sawit para petani justru terpinggirkan posisinya,
memperlihatkan betapa lemahnya posisi mereka. Meski, sektor sawit Indonesia
menyumbang devisa yang sangat besar, bahkan menjadi salah satu komoditas
unggulan di pasar global. Di sisi lain, tidak ada undang-undang yang secara
tegas dan jelas melindungi hak-hak para petani sawit. Sudah begitu keuntungan
besar itu lebih banyak dinikmati oleh korporasi, sementara petani hanya
kebagian sisa yang jauh dari cukup.
Inilah wujud dari
ketidakadilan sistem kapitalisme yang terus dipelihara oleh negara. Rakyat
khususnya petani sawit kembali menjadi korban dari kebijakan yang lahir bukan
untuk rakyat, melainkan untuk mensejahterakan kepentingan segelintir elite
global. Sementara itu, suara rakyat hanya dianggap sebagai riak kecil yang
mudah diredam dengan janji atau retorika kosong. Karena itu, wajar jika demo
dan tuntutan rakyat terus berulang sebab akar masalahnya tidak pernah
diselesaikan.
Maka, disinilah peran
Islam hadir sebagai solusi yang menyeluruh. Islam menawarkan paradigma yang
berbeda dalam mengelola sumber daya alam. Islam tidak membiarkan kekayaan alam,
termasuk lahan perkebunan, dikuasai segelintir korporasi. Apalagi jika
penguasaan itu berujung pada penderitaan rakyat. Dalam pandangan Islam, tanah,
hutan, dan hasilnya adalah milik umum yang harus dikelola negara untuk
kepentingan seluruh rakyat, bukan hanya segelintir elite.
Sumber daya alam menjadi
sebuah kebutuhan vital masyarakat yang tidak boleh diprivatisasi, apalagi
dimonopoli. Jika prinsip Islam diterapkan, maka lahan-lahan perkebunan sawit
yang saat ini dikuasai korporasi raksasa seharusnya dikembalikan kepada rakyat,
dikelola negara untuk kepentingan umat, dan hasilnya didistribusikan dengan
adil.
Terlebih, negara Islam
berfungsi sebagai pengelola sekaligus pengawas. Negara wajib menjamin
distribusi kepemilikan tanah secara adil, sehingga tidak ada petani yang
kehilangan hak untuk mengelola lahannya. Negara juga tidak boleh menyerahkan
pengelolaan sumber daya strategis kepada swasta atau asing. Semua kebijakan
dibuat berdasarkan prinsip rahmatan lil 'alamin, yaitu membawa rahmat
bagi seluruh alam, bukan hanya segelintir pihak.
Lebih jauh lagi, Islam
menekankan pentingnya distribusi kekayaan. Dengan sistem Islam, setiap individu
memiliki kesempatan untuk mengakses sumber daya dan bekerja. Petani sawit tidak
akan dimarjinalkan, karena negara memastikan setiap kebijakan berpihak kepada
kebutuhan rakyat. Tidak ada ruang bagi praktik monopoli, kartel, atau oligarki
yang merugikan masyarakat kecil. Semua mekanisme diatur agar keadilan tercapai
secara nyata, bukan sekadar janji.
Tuntutan rakyat akan terus
ada selama sistem kapitalisme dibiarkan berdiri. Kapitalisme dengan logika
keuntungannya telah memperkuat korporasi dan melemahkan rakyat. Selama sistem
ini dipertahankan, demo akan terus bermunculan, sehingga akar masalah tidak
akan pernah tuntas. Petani sawit tetap berada di posisi lemah, sementara
korporasi makin kuat.
Jika rakyat sungguh ingin
agar tuntutan mereka tidak hanya berhenti sebagai gema, tetapi menjadi sebuah
solusi, maka jawabannya hanya satu, yaitu penerapan aturan Islam secara kafah.
Islam bukan sekadar ajaran spiritual, melainkan sistem hidup yang komprehensif,
mengatur aspek ekonomi, politik, hingga pengelolaan sumber daya alam. Saat
Islam diterapkan secara kafah, tidak akan ada lagi petani yang dimarjinalkan,
karena seluruh kebijakan diarahkan untuk kemaslahatan umat.
Oleh karena itu, sudah
saatnya umat sadar bahwa ini bukan hanya sekadar menuntut di jalanan, tetapi
menggaungkan solusi yang hakiki untuk menuju perubahan sistemik yang mendasar.
Sebab, hanya Islam menawarkan jalan keluar yang nyata, adil, dan berkeadilan
sosial. Inilah solusi sejati agar tuntutan rakyat benar-benar berakhir, bukan
dengan janji kosong, tetapi dengan keadilan yang dirasakan oleh semua. Karena
hanya dengan Islam, rakyat dan petani sawit akan mendapatkan hak mereka yang
sesungguhnya.[]
0 Komentar