Hessy Elviyah
#Bekasi — Malam yang
seharusnya menjadi ruang istirahat dari penatnya beban siang, kini harus
ternodai dengan panggilan ronda. Sistem keamanan yang semestinya menjadi hak
publik, kini berubah menjadi tugas sosial warga yang sudah letih bertahan
hidup.
Rencana
"gangguan" istirahat warga ini bermula dari keamanan sosial yang
dianggap tidak baik-baik saja. Sebagai solusi, Direktorat Jenderal Politik dan
Pemerintahan Umum (Ditjen Polpum) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
mengarahkan seluruh daerah untuk kembali mengaktifkan pos kamling. Hal ini
diamini oleh Bupati Bekasi Ade Kuswara Kaunang. Pemerintah Bekasi berencana
mengikuti arahan Kemendagri tersebut. Menurutnya adanya siskamling dapat
memperkuat keamanan berbasis masyarakat. (Radarbekasi.id, 15/09/2025)
Ironis, di tengah gagap
gempita jargon "partisipasi masyarakat", negara kerap bersembunyi di balik
semangat gotong royong warga. Pemangku kuasa negeri seolah lupa bahwa keamanan
bukan sedekah rakyat untuk negara, melainkan kewajiban negara untuk rakyat.
Logika Kapitalistik
Di negeri yang dikuasai
oleh logika kapitalistik, tenaga rakyat seolah menjadi bahan bakar murah bagi
kebijakan tambal sulam. Siang bekerja demi bertahan hidup, malam berjaga demi
keamanan. Keduanya tanpa jaminan yang pasti. Lelah menjadi gaya hidup rakyat
saat ini, dan ironi menjadi wajah kesehariannya.
Secara kasat mata, adanya
pos kamling tampak sebagai wujud kebersamaan dan gotong royong warga dalam
menjaga keamanan lingkungannya, tetapi jika ditengok lebih dalam, muncul sebuah
ironi yang menggelitik, di tengah kondisi ekonomi yang menghimpit dan harga
kebutuhan pokok yang makin hari makin menanjak, rakyat yang sudah lelah mencari
nafkah pada siang hari, kini harus berjaga di malam hari demi menambal lubang
tanggung jawab negara dalam urusan keamanan.
Masalahnya bukan pada
ronda itu sendiri, sebab menjaga lingkungan adalah bagian dari kepedulian
sosial. Permasalahan yang muncul adalah arah kebijakan yang seolah partisipasi
masyarakat merupakan solusi tunggal atas lemahnya sistem keamanan publik. Di
sinilah letak paradoksnya, gotong royong dijadikan tameng untuk menutupi
absennya negara dalam menjalankan fungsi pengayomannya terhadap warga.
Kebijakan menggiat kembali
pos kamling memang terdengar murah dan praktis. Tak perlu menambah anggaran
besar, cukup dengan himbauan dan mengeluarkan surat edaran. Namun, dibalik
efisensi tersebut tersembunyi logika khas kapitalisme, yakni biaya sosial dialihkan
ke rakyat, sementara tanggung jawab struktural tetap di atas kertas.
Pemerintah merasa telah
melibatkan masyarakat, padahal sejatinya sedang melimpahkan kewajiban. Hal ini
bukan lagi bentuk partisipasi, tetapi delegasi tanggung jawab dari yang kuat ke
yang lemah. Negara cukup memantau, sementara rakyat yang berjaga.
Fenomena ini menunjukkan
betapa jauhnya negara dari peran idealnya sebagai pelindung dan pengayom
rakyat. Siskamling yang seharusnya menjadi sarana kebersamaan berubah makna
menjadi simbol kelelahan sosial. Rakyat menjaga malam, sementara aparatur
negara, penanggung jawab keamanan tertidur nyenyak.
Inilah potret nyata dari
negeri kapitalistik. Solidaritas rakyat dijadikan topeng menutupi kelalaian
negara. Seharusnya jika negara betul-betul ingin memperkuat keamanan, yang
dilakukan bukan hanya menghidupkan siskamling, melainkan memperkuat patroli aparat,
memperbaiki penerangan jalan, menindak tegas kejahatan jalanan, dan
meningkatkan kesejahteraan sosial untuk menekan akar kriminalitas.
Karena sejatinya, keamanan
bukan hasil dari kentongan malam atau giliran ronda, melainkan hasil kehadiran
negara. Negara tidak bersembunyi di balik semangat solidaritas rakyat, tetapi mengambil
peran tanggung jawabnya sebagai pelindung. Selama rakyat terus dipaksa menjadi
benteng pertama dan terakhir bagi rasa aman, maka setiap kentongan yang
bunyikan bukan lagi tanda solidaritas, melainkan jeritan pilu dari rakyat.
Keamanan dalam Islam
Dalam perspektif Islam,
keamanan berada dalam tanggung jawab negara, bukan pada rakyat bukan pula
komunitas maupun ormas. Keamanan merupakan bagian dari kepengurusan (riayah)
negara kepada rakyatnya. Hal ini sama pentingnya dengan wajibnya ketersediaan
bahan pangan atau jaminan kesehatan juga penegakan keadilan di pengadilan.
Dalam sistem Islam,
keamanan tidak pernah diserahkan kepada kesukarelaan masyarakat semata. Ada
struktur yang jelas yakni asy-Syurtoh (petugas keamanan yang ditugaskan secara
resmi oleh negara, untuk menjaga ketertiban, melindungi warga, juga menegakkan
hukum. Mereka bukan relawan, melainkan bagian dari perangkat negara yang
bekerja dengan anggaran yang layak, pelatihan profesional, dan pengawasan hukum
yang ketat. Jadi kalau ada ancaman, rakyat tidak perlu berjaga sendirian, sebab
negara hadir dengan perangkatnya.
Negara Islam bukan hanya
kuat di atas kertas, melainkan juga tangguh secara sistem. Dana untuk menjaga
keamanan tidak diambil dari pungutan iuran warga, tetapi dari baitulmal yaitu
kas negara yang bersumber dari harta kepemilikan umum, zakat, jizyah dan
kharaj serta sumber halal lainnya yang sudah ditentukan oleh syariat.
Lebih jauh, negara wajib
memastikan setiap sudut kota aman, tiap rumah tenang, tanpa warga kehilangan
waktu untuk beristirahat atau kehilangan waktu tidur mereka demi ronda malam.
Inilah maksudnya, bahwa keamanan itu bukan bonus melainkan hak setiap warga
negara.
Dalam sistem Islam,
keamanan bukan hanya urusan polisi atau militer, tetapi hasil keadilan sosial
yang nyata. Sebab akar kejahatan seringkali lahir dari kemiskinan, ketimpangan,
dan putus asa. Islam tidak menutup mata akan hal ini. Islam menyediakan
lapangan kerja, mengatur distribusi kekayaan agar tidak menumpuk di tangan
segelintir orang serta menegakkan hukum tanpa pandang bulu. Dengan demikian,
keamanan tercipta tidak karena berjaga ronda, tetapi karena sistemnya adil.
Di samping itu, negara
yang menelantarkan keamanan rakyatnya berarti telah gagal menjalankan amanah
kekuasaan. Hal ini lantaran pemimpin adalah ar-Rain (pengembala yang
bertanggung jawab penuh atas kawanan ternaknya). Jadi kalau ada warga yang
takut keluar malam atau harus berjaga sendiri karena takut begal, maka itu
artinya negara tidak sedang mengembalakan melainkan membiarkan.
Jadi solusi Islam bukan
hanya mengganti kentongan dengan cctv atau menambah jadwal roda. Solusi Islam
adalah mengembalikan tanggung jawab keamanan pada negara, lalu menata ulang
sistem ekonomi dan sosial agar rakyat tidak terdorong melalukan tindak kriminal.
Negara bersistem Islam hadir sepenuhnya untuk rakyat, siang dan malam.
Dengan begitu, kentongan
yang terdengar di malam hari bukan lagi tanda bahaya, melainkan nostalgia dari
masa ketika rakyat berjaga dan penguasa terlelap. Dalam sistem Islam, kentongan
itu tidak perlu lagi dibunyikan, sebab negara selalu terjaga untuk rakyatnya.
Insyaallah. Wallahualam.[]

0 Komentar