Shiha Utrujah
#Wacana — Publik kembali
dibuat terperangah oleh pernyataan Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, yang
baru-baru ini membuka data mengejutkan: ada 15 pemerintah daerah (pemda) dengan
jumlah dana mengendap paling besar di bank. Angkanya tidak tanggung-tanggung
triliunan rupiah. Uang rakyat yang semestinya digerakkan untuk pembangunan
justru dibiarkan 'tidur' di rekening.
Dari daftar tersebut,
Pemprov DKI Jakarta menjadi pemegang rekor dengan dana mengendap mencapai
Rp14,6 triliun. Sementara secara nasional, total simpanan pemda di bank per
September 2024 mencapai Rp208,6 triliun, meningkat signifikan dibanding bulan
sebelumnya. Data yang disampaikan melalui makassar.tribunnews.com (28/10/2025),
sontak memunculkan tanda tanya besar: mengapa uang rakyat hanya disimpan, bukan
digunakan untuk kepentingan publik?
Fenomena ini bukan sekadar
soal administrasi anggaran yang tersendat. Ia mencerminkan paradigma yang salah
kaprah dalam tata kelola negara cermin dari sistem sekuler-materialistik yang
telah lama mengakar.
Akar Masalah: Ketika Agama
Dikesampingkan dari Kehidupan
Mengendapnya uang rakyat
dalam jumlah fantastis bukan semata akibat lemahnya manajemen fiskal. Lebih
dalam dari itu, hal ini menunjukkan kegagalan sistem sekuler yang menyingkirkan
nilai-nilai agama dari kehidupan publik.
Dalam sistem ini, agama
hanya dianggap urusan pribadi, tak punya tempat dalam pengambilan kebijakan.
Akibatnya, standar berpikir dan bertindak para pejabat tidak lagi berdasarkan
halal dan haram, melainkan manfaat dan keuntungan pribadi. Segala keputusan
diukur dari sisi materi, bukan dari rida Allah Swt.
Ketika nilai spiritual
diabaikan, maka lahirlah generasi pejabat yang rapuh ketakwaannya. Mereka mudah
tergoda oleh harta, jabatan, dan kekuasaan. Selama tidak melanggar “aturan
administratif”, maka penyimpangan dianggap sah.
Inilah wajah nyata sistem
sekuler, legal secara prosedural, tetapi rusak secara moral. Tidak mengherankan
bila praktik pengendapan dana, penyalahgunaan anggaran, bahkan korupsi menjadi
hal yang terus berulang. Dalam masyarakat yang menjauhkan agama dari kehidupan,
materi menjadi tujuan utama, sementara moralitas tergerus oleh kepentingan
pribadi.
Pejabat yang Rakus dan Pengawasan yang
Mandul
Dari rahim sistem
materialistik ini lahirlah pejabat-pejabat yang serakah dan haus harta. Bagi
mereka, jabatan bukan lagi sarana untuk mengabdi, melainkan jalan pintas untuk
menumpuk kekayaan. Orientasi melayani rakyat memudar, digantikan ambisi
mengejar keuntungan pribadi. Ironisnya, negara telah membentuk berbagai lembaga
pengawas seperti KPK, Komisi Yudisial, Komnas HAM, dan Ombudsman. Namun,
praktik penyimpangan masih terus terjadi.
Mengapa? Karena pengawasan
yang ada hanya bersifat struktural, bukan spiritual. Selama hukum yang
diterapkan bersumber dari pemikiran manusia yang lemah dan mudah dipengaruhi
hawa nafsu maka pengawasan sejati tak akan pernah lahir. Aparat pengawas sering
kali juga bagian dari sistem yang sama korupnya. Pengawasan menjadi formalitas,
sementara pelanggaran moral dibiarkan hidup tanpa rasa malu.
Islam Menjadikan Kekuasaan
Sebagai Amanah, Bukan Alat Memperkaya Diri
Berbeda dari sistem
sekuler, Islam memandang kekuasaan sebagai amanah berat yang akan
dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. Dalam sistem pemerintahan Islam
(Khilafah), pejabat seperti menteri, gubernur, atau wali diangkat semata-mata
untuk melayani rakyat dan menegakkan keadilan berdasarkan syariat. Mereka
diberi gaji secukupnya, sesuai kebutuhan hidup wajar, bukan untuk berfoya-foya.
Khalifah memiliki wewenang
untuk mengaudit harta para pejabat, dan bila ditemukan kelebihan yang
mencurigakan, maka harta tersebut akan disita. Teladan tegas dapat kita lihat
pada Khalifah Umar bin Khattab r.a. Beliau dengan berani memeriksa kekayaan pejabat-pejabatnya,
termasuk Abu Hurairah r.a. serta menyita hadiah yang diterima Abu Sufyan dari
anaknya, Muawiyah, yang menjabat sebagai gubernur di Syam. Langkah ini
menunjukkan bahwa Islam tidak memberi ruang bagi penyalahgunaan jabatan.
Sistem seperti ini
menumbuhkan rasa takut di hati pejabat bukan takut pada hukum buatan manusia,
melainkan takut kepada Allah yang Maha Mengawasi setiap perbuatan manusia.
Keadilan Hakiki Hanya di
Bawah Naungan Syariat Islam
Kasus triliunan rupiah
yang mengendap di bank adalah bukti nyata bahwa sistem hukum sekuler gagal
menjaga amanah publik. Aturan yang dibuat berdasarkan kepentingan manusia akan
selalu berpihak pada mereka yang berkuasa. Keadilan menjadi barang langka, sementara
rakyat kecil terus menjadi korban.
Islam datang membawa
solusi yang menyeluruh. Dengan penerapan syariat Islam secara kafah, akan lahir
masyarakat yang bertakwa, pejabat yang jujur, dan sistem pengawasan yang hidup
di hati nurani setiap individu. Ketaatan kepada Allah menjadi penggerak utama
dalam setiap kebijakan publik.
Oleh karena itu, jika
bangsa ini sungguh-sungguh ingin mewujudkan tata kelola keuangan yang bersih
dan pemerintahan yang adil, maka sudah saatnya kembali kepada aturan Allah Swt.
Bukan pada hukum buatan manusia yang lemah, rapuh, dan mudah diperdagangkan.
Triliunan rupiah telah tertidur di bank,
jangan sampai kesadaran dan nurani rakyat ini
ikut terus tertidur bersama sistem sekularisme.[]

0 Komentar