Gencatan Senjata atau Jeda Penjajahan?

 



NR. Nuha



#Catatan Redaksi — Israel pada Jumat, 10 Oktober 2025, melalui laporan CNN Indonesia berjudul “Pemerintah Israel Resmi Setuju Gencatan Senjata di Gaza”, mengumumkan kesepakatan penghentian serangan terhadap wilayah Gaza. Pemerintah Israel mengklaim gencatan senjata ini sebagai langkah menuju stabilitas dan kemanusiaan. Namun, di balik narasi itu, sejarah panjang konflik menunjukkan bahwa setiap kali Israel dan Amerika Serikat berbicara tentang “gencatan senjata”, yang sebenarnya terjadi bukanlah perdamaian, melainkan jeda politik bagi penjajahan yang belum berakhir. Gencatan senjata ini lahir bukan karena kesadaran kemanusiaan, melainkan karena tekanan global atas krisis yang ditimbulkan oleh operasi militer Israel sendiri. Selama hampir dua dekade, blokade total terhadap Gaza telah menjerumuskan dua juta lebih warga sipil dalam penderitaan—tanpa listrik, air bersih, atau akses medis yang layak. Maka, ketika Israel tiba-tiba mengumumkan “penghentian serangan”, dunia tidak sedang menyaksikan permulaan damai, melainkan sekadar strategi untuk menenangkan opini publik internasional.



Di saat bersamaan, Indonesia menegaskan sikap politik luar negerinya dengan menolak penerbitan visa bagi atlet Israel, sebagaimana diberitakan melalui laman detik.com (09/10/2025). Keputusan ini menegaskan kembali prinsip bahwa Indonesia tidak akan menjalin hubungan apa pun dengan Israel sampai negara tersebut mengakui kemerdekaan Palestina secara penuh, Israel harus dihukum berat berdasarkan hukum internasional karena penjajahannya terhadap Palestina. Kebijakan ini, meski sederhana, memiliki makna simbolik besar: diplomasi Indonesia tetap berpihak pada nilai keadilan, bukan pada normalisasi hubungan yang berpijak di atas penderitaan bangsa lain. 



Ketika sebagian negara Arab justru berkompetisi menormalisasi hubungan dengan Tel Aviv, sikap Indonesia menunjukkan bahwa masih ada negara yang berdiri di sisi korban, bukan di sisi penjajah. Pembelaan ini juga sesuai dengan sikap tegas MUI yang dilansir dari laman MUI, Selasa (08/10/2025) dan amanat UUD 1945, "... maka penjajahan di atas dunia harus dihapuskan, karena tidak sesuai dengan peri-kemanusiaan dan peri-keadilan."



Ironisnya, dunia internasional kembali terjebak dalam ilusi lama bernama “solusi dua negara”. Konsep ini, yang selalu diulang oleh Washington dan sekutunya setiap kali konflik meruncing, hanyalah upaya memformalkan ketimpangan yang sudah ada. Bagaimana mungkin dua negara berdiri sejajar jika yang satu masih menguasai udara, laut, dan perekonomian yang lain? Palestina yang dibayangkan dalam konsep itu bukan negara, melainkan enklave yang diawasi dan dikontrol penuh oleh Israel. 



Begitu pula dengan "20 poin proposal Donald Trump" (kompas.com, 30/09/2025), yang kini kembali dibicarakan di Washington; isi proposal tersebut lebih menegaskan jaminan keamanan Israel ketimbang keadilan bagi Palestina. Proposal Trump justru bertujuan menghapus hak militer serta politik Palestina. Ini bukan rencana perdamaian, melainkan agenda politik domestik Amerika untuk mengontrol aksi Israel, penguasaan ekonomi internasional melalui Palestina, hingga cengkeraman jangka panjang kepentingannya di Timur Tengah yang dibungkus dalam jargon diplomasi.



Kritik tajam terhadap ilusi tersebut datang dari gerakan kemanusiaan internasional Global Shumud Flotilla, yang menentang blokade laut dan darat terhadap Gaza. Salah satu relawannya, Wanda Hamidah, dalam pernyataannya di Istanbul pada September 2025 menegaskan bahwa membuka blokade saja tidak cukup; harus ada langkah nyata yang menghentikan kemampuan militer Israel (Middle East Monitor). Berharap pemerintah seluruh dunia bisa melakukan invasi militer bantu Palestina (suara.com, 25/06/2025). Bagi Flotilla, blokade adalah instrumen perang yang harus dihentikan dengan tindakan nyata—politik, ekonomi, bahkan militer—agar rakyat Gaza benar-benar terbebas. Pernyataan tersebut menampar kemunafikan banyak negara yang menutupi sikap pasifnya dengan jargon “humanitarian pause” yang tidak menyentuh akar penjajahan (Anadolu Agency).



Pernyataan ini mencerminkan kegelisahan global atas pendekatan damai yang semu. Flotilla menilai bahwa blokade tidak bisa dibongkar dengan diplomasi satu arah, karena selama militer Israel masih beroperasi tanpa batas, setiap gencatan hanya akan menjadi jeda menuju serangan berikutnya. Suara semacam ini penting, karena mengingatkan dunia bahwa bebas dari penjajahan tidak bisa dipisahkan dari kekuatan politik dan pertahanan.



Pandangan politik Islam juga sejalan dengan prinsip itu. Islam tidak menolak perdamaian, tetapi menolak perdamaian yang melanggengkan kezaliman. Dalam kerangka siyasah syar’iyyah, perdamaian sejati (sulh haqiqi) hanya bisa terwujud bila keadilan ditegakkan secara nyata. Al-Qur’an memperingatkan, “Dan jika mereka condong kepada perdamaian, maka condonglah engkau kepadanya—tetapi janganlah tertipu.” (Surah Al-Anfal Ayat 61). 



Ayat di atas bukan seruan untuk perang tanpa akhir, melainkan peringatan agar umat tidak tertipu oleh perdamaian yang direkayasa penjajah. Perdamaian tanpa pembebasan hanyalah bentuk baru dari penindasan. Karena itu, sikap politik Islam menuntut keberanian: menolak perdamaian yang tidak disertai keadilan, dan menolak kompromi yang meneguhkan penjajahan.



Dunia Islam hari ini membutuhkan keberanian semacam itu. Palestina tidak membutuhkan belas kasihan, melainkan solidaritas yang berwujud: penghentian blokade secara permanen, pembubaran pemukiman ilegal Zionis penjajah, memberikan hak penuh di Gaza, Tepi Barat, seluruh Palestina untuk kelangsungan peradabannya tanpa intervensi Barat penjajah, serta penegakan hukum atas kejahatan perang Zionis Israel di Mahkamah Internasional. Indonesia dapat memainkan peran moral sekaligus politik untuk mendorong itu semua, dengan menggerakkan diplomasi kemanusiaan yang berbasis nilai Islam sebagai keyakinan solusi dalam bencana genosida Gaza, bukan kalkulasi ekonomi.



Gencatan senjata yang diumumkan Israel hanyalah istirahat dalam siklus kekerasan, bukan penyelesaian. Selama blokade masih mencekik, selama hak rakyat Palestina masih dinegosiasikan, dan selama keadilan masih ditunda, tidak ada perdamaian yang sejati. Damai yang tidak berangkat dari keadilan hanyalah kedok dari ketidakadilan yang dilegalkan. Karena itu, publik internasional—khususnya umat Islam—tidak boleh tertipu oleh retorika damai dari tangan yang masih menindas. Wallahualam.[]




Posting Komentar

0 Komentar