Irawati Tri Kurnia
#Bekasi — Walau pilkada
telah berlalu, tapi Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) merasa tugasnya belum usai.
Bawaslu merasa bertanggungjawab untuk melakukan upaya merawat demokrasi,
melalui Program “Bawaslu Goes to Campus and School”. Program ini bertujuan
melibatkan mahasiswa dan pelajar sebagai garda terdepan penjaga nilai
demokrasi. Melalui kolaborasi ini, Bawaslu berharap tercipta iklim demokrasi
yang sehat, lahir kebijakan prorakyat, dan mahasiswa berani menyuarakan isu
faktual tanpa takut kritik, sekaligus menjadi kontrol sosial bagi jalannya
pemerintahan (rakyatbekasi.com, 01/10/2025).
Sungguh sangat ilusif
program ini. Karena demokrasi sendiri adalah ilusi. Walaupun berslogan populer:
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat; faktanya tidaklah demikian. Karena
demokrasi lahir dari sistem sekuler kapitalisme yang menjauhkan agama dari
kehidupan dan menjadikan standar materi sebagai prioritas. Krisis demokrasi
global menandakan bahwa perubahan sejati tak bisa lahir dari sistem yang rusak
secara ideologis.
Seantero dunia sedang
marak terjadi aksi demo besar-besaran, yang mengarahkan pelaku perubahan adalah
para Gen Z alias kawula muda. Mereka menuntut perubahan, tapi mereka terjebak
pada perubahan rezim atau sebatas menuntut dilengserkannya oknum pejabat.
Sedangkan tuntutan perubahan sistem tidak terdengar sama sekali. Akan bisa
diprediksi, ini hanya akan menuai kasus kerusakan yang sama, yaitu terzaliminya
rakyat tapi yang dituntut hanya penggulingan rezim dan pejabat yang korup dan
sewenang-wenang. Padahal mereka semua lahir dari rahim sistem sekuler
kapitalisme yang sama.
Demokrasi selalu memberi
ruang bagi para kapitalis untuk makin eksis. Mereka mampu menggerakkan para
pejabat sekehendak hatinya dengan kekuatan uang yang mereka miliki. Akhirnya
rakyat hanya dimanfaatkan saat suara mereka dibutuhkan saat proses pemilu.
Serangkaian UU menjadi bukti nyata, bahwa demokrasi tidak berpihak pada rakyat.
UU Cipta Kerja yang lebih berpihak pada investor dan merugikan buruh, begitu
juga UU minerba yang menyerahkan begitu saja pada para kapitalis (swasta baik
individu maupun korporat, lokal maupun asing) kekayaan SDA (Sumber Daya Alam)
yang merupakan aset rakyat. Ini juga karena negara setengah hati untuk mengurus
rakyat. Pelayanan pada rakyat yang sebetulnya tugas utama negara, beralih
menjadi negara sebatas regulator alias penyedia kebijakan. Ini karena paradigma
kapitalistik telah mencengkram negara, bahwa negara tidak dibolehkan terlibat
sepenuhnya dalam pelayanan rakyat, tapi harus diserahkan pada swasta. Akhirnya
rakyat termiskinkan secara sistemik oleh kapitalisme.
Krisis demokrasi global
menandakan bahwa perubahan sejati tak bisa lahir dari sistem yang rusak secara
ideologis, melainkan dari paradigma politik Islam yang menjadikan pengaturan
urusan rakyat sebagai amanah, bukan alat kekuasaan. Ini karena Islam adalah
sistem kehidupan, bukan sekedar ritual. Mentaati aturan Islam secara menyeluruh
adalah wajib bagi muslim. Seperti Firman-Nya, “Tidak Ku ciptakan jin dan
manusia kecuali untuk beribadah kepada Ku.” (Az-Zariyat Ayat 59)
Islam juga pasti solutif,
karena berasal dari Allah Sang Pencipta, yang pasti Maha Mengetahui apa yang
terbaik untuk hamba-Nya, termasuk tentang kaderisasi, perihal memelihara
sesuatu yang “pantas” dipelihara dan dirawat. Yang pantas dipelihara adalah
Islam sebagai sebuah ideologi alias jalan hidup.
Islam mengajarkan bahwa
bagi muslim, segala aktivitasnya harus terikat syariat. Seperti Firman-Nya, “Wahai
orang-orang yang beriman, masuklah ke dalam Islam secara keseluruhan, dan
jangan mengikuti langkah-langkah setan.” (Al-Baqarah Ayat 208) Dengan
terikat pada syariat, seorang hamba tidak akan berpaling dari petunjuk-Nya.
Termasuk menjadikan Islam sebagai jalan hidup yang akan selalu membakar
semangatnya untuk menyebarkan kebenaran Islam. Terutama bagi para generasi
penerus.
Usia muda adalah
kesempatan bagi seorang muslim untuk memberikan yang terbaik dalam beramal
salih dan perjuangan demi syiar Islam.
Rasulullah bersabda, "Manfaatkanlah
lima perkara sebelum datang lima perkara: masa mudamu sebelum masa tuamu,
sehatmu sebelum sakitmu, kayamu sebelum miskinmu, luangmu sebelum sibukmu, dan
hidupmu sebelum matimu." (Hadis Riwayat Tirmidzi)—sehingga usia muda
harus dimanfaatkan semaksimal mungkin karena tenaga dan pikiran masih maksimal,
sebelum masa tua datang saat tenaga dan pikiran mulai berkurang.
Rasulullah pun dulu
mendakwahkan Islam dibantu oleh para sahabat yang masih muda belia, tapi
semangat juangnya mereka luar biasa. Mereka berusia belasan hingga dua puluhan.
Seperti Abdulllah bin Mas’ud berusia 14 tahun, Sa’id bin Zaid berusia 20 tahun,
Saad bin Abi Waqash berusia 17 tahun, Usman bin Affan berusia 20 tahun, dan
masih banyak lagi. Oleh Rasulullah, mereka dibina dengan penguatan akidah dan
pengaturan syariat yang membuat hidup mereka berkah. Kekuatan akidah tertancap
dalam benak mereka, sehingga mampu memperjuangkan Islam, baik di medan dakwah
dan medan jihad secara maksimal.
Rasulullah juga
mengajarkan metode perubahan masyarakat yang sahih kepada para sahabat muda
ini. Dengan melakukan pembinaan di tengah umat dengan penguatan akidah,
berdakwah di tengah umat, melakukan fase meminta pertolongan pada simpul
kekuatan umat, dan menegakkan pemerintahan Islam yaitu negara/daulah Islam yang
kini disebut Khilafah.
Khilafah ditegakkan dengan
dua tujuan : untuk melindungi Islam dan kaum muslimin. Hanya dengan metode
perubahan sesuai teladan Rasulullah, akan terjadi kebangkitan umat yang sahih.
Seperti yang dialami oleh Khilafah pada masa jayanya, yang mampu bertahan
selama 13 abad lamanya, menjadi mercusuar dunia dan menorehkan kegemilangan
sejarahnya dengan tinta emas. Semoga keteladanan ini bisa diwujudkan di tangan
generasi muda yang berkepribadian Islam ini, yaitu saat pola pikir dan pola
sikapnya Islami, buah dari pembinaan ala Rasulullah saw. Wallahualam bissawab.[]

0 Komentar