Kisruh Kesejahteraan Guru PPPK: Islam Tawarkan Mekanisme Adil

 



 Ananda Hafizhah Putri



#Tangsel — Untuk pertama kalinya pada 2021, pemerintah memperkenalkan skema Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) sebagai alternatif dari pola rekrutmen Aparatur Sipil Negara (ASN). Langkah ini diklaim sebagai solusi untuk mengatasi ketimpangan distribusi guru di berbagai daerah, sekaligus menjawab nasib panjang guru honorer yang kerap terpinggirkan.




Guru PPPK direkrut berdasarkan perjanjian kerja yang bersifat temporer. Masa kontrak kerja paling singkat adalah satu tahun dan dapat diperpanjang berdasarkan evaluasi kinerja serta kebutuhan instansi. Skema ini, walaupun memberi peluang bagi guru honorer untuk masuk dalam sistem kepegawaian negara, juga menimbulkan kekhawatiran besar terkait kepastian status kerja. Ketidakjelasan ini makin berisiko karena pengambilan keputusan perpanjangan kontrak sering kali sangat bergantung pada subjektivitas pimpinan instansi. Dalam konteks birokrasi yang belum sepenuhnya bersih dari praktik kolusi dan nepotisme, status guru PPPK bisa sangat bergantung pada relasi kekuasaan, bukan kinerja profesional.




Isu kesejahteraan guru PPPK pun masih menjadi persoalan. Di Kabupaten Blitar, ratusan guru PPPK dilaporkan terjerat pinjaman online dan paylater. Ironisnya, banyak dari mereka yang menjadikan SK pengangkatan sebagai jaminan kredit. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) pun memperkuat kondisi ini: 42% dari total masyarakat yang terjerat pinjol adalah guru. Fakta ini menjadi bukti bahwa penghasilan yang diterima para guru—bahkan yang sudah berstatus PPPK—masih jauh dari layak. Jika profesi guru tidak bisa menjamin kestabilan finansial, bagaimana mungkin pendidikan Indonesia berharap menarik minat generasi muda untuk mengabdi sebagai pendidik?




Alih-alih memperbaiki akar persoalan, pemerintah justru memperkenalkan skema baru: guru PPPK paruh waktu. Dengan jam kerja hanya empat jam per hari, kebijakan ini diklaim memberi fleksibilitas bagi guru untuk menambah penghasilan melalui pekerjaan lain. Namun, skema ini bertolak belakang dengan realitas aktivitas guru. Proses pendidikan bukan sekadar hadir di kelas selama beberapa jam. Akan tetapi, seorang guru dituntut untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi pembelajaran secara menyeluruh. Ditambah lagi dengan tugas administratif, pembinaan siswa, serta interaksi sosial dengan wali murid dan masyarakat sekolah. Jika tenaga pengajar terpaksa mengalihkan perhatian demi mencukupi kebutuhan hidup, maka kualitas pembelajaran akan terganggu, dan pada akhirnya, generasi didik menjadi korban.




Kapitalisme: Guru dan Negara Dimiskinkan



Permasalahan kesejahteraan guru sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ia berakar pada persoalan struktural dalam sistem ekonomi dan politik yang berlaku di Indonesia, yaitu sistem kapitalisme. Kapitalisme memberi ruang luas pada liberalisasi ekonomi, termasuk dalam pengelolaan SDA. Akibatnya, negara kehilangan kendali atas aset-aset strategis yang seharusnya menjadi sumber utama pembiayaan publik, termasuk untuk pendidikan.




Sebelum 2020, misalnya, Indonesia mengekspor nikel mentah ke luar negeri. Setelah diberlakukan larangan ekspor dan pembangunan smelter dalam negeri, nilai ekspor melonjak dari USD3 miliar (2017) menjadi lebih dari USD33 miliar (2023). Namun, meski nilai tambah meningkat, penerimaan negara tetap kecil karena dominasi swasta dan asing dalam industri pengolahan.




Faktanya, postur penerimaan negara dalam APBN berkata lain. Pajak adalah pos penerimaan negara Indonesia yang terbesar (mencapai 80%) dan menjadi tulang punggung utama APBN setiap tahun. Adapun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang salah satunya  dari sektor pengelolaan SDA, hanya 16–17%. Ini karena negara menyerahkan sebagian besar pengelolaan SDA kepada swasta. Di sektor batu bara, misalnya, PT Bukit Asam—satu-satunya BUMN batubara—hanya memproduksi 28 juta ton dari total 616 juta ton (2019). Selebihnya dikuasai swasta seperti Kaltim Prima Coal, Adaro Indonesia, Kideco Jaya Agung, dan lainnya.  Artinya, sebagian besar keuntungan sektor SDA masih dinikmati swasta, sementara rakyat, termasuk guru, harus menanggung dampak minimnya anggaran pendidikan.




Sistem Islam Memuliakan Guru dan Pendidikan



Sistem Islam menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan mendasar dan profesi guru sebagai salah satu profesi mulia yang dijamin kesejahteraannya. Dalam sistem pemerintahan Islam (Khilafah), negara wajib menyediakan pendidikan gratis dan berkualitas bagi seluruh rakyat, serta menjamin kesejahteraan para guru dari institusi keuangan negara, yakni baitulmal.




Menurut Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah, baitulmal memiliki tiga sumber utama: (1) pos fai dan kharaj; (2) pos kepemilikan umum (seperti SDA: minyak, gas, tambang, air, dan hutan); dan (3) pos zakat (khusus untuk delapan asnaf). Anggaran pendidikan dan gaji guru diambil dari pos pertama dan kedua, yang bersifat berkelanjutan dan kuat secara struktural.




Sumber-sumber pemasukan negara dalam sistem Islam—kecuali zakat—diperuntukkan sepenuhnya bagi kepentingan umat, termasuk menjamin terselenggaranya pendidikan serta kesejahteraan para guru. Oleh karena itu, dalam sistem Islam, negara tidak pernah menghadapi alasan klasik seperti keterbatasan anggaran sebagaimana lazim terjadi dalam sistem kapitalisme. Ini karena Islam telah menetapkan sistem keuangan yang kokoh untuk memastikan keberlangsungan layanan publik, termasuk pendidikan. 




Dalam struktur Khilafah, pengelolaan sumber daya alam dilakukan langsung oleh negara demi kemaslahatan masyarakat. Kekayaan alam seperti air, hutan, dan energi tidak boleh diswastakan atau diserahkan kepada individu, kelompok, atau pihak asing, karena hak atas sumber daya tersebut adalah milik seluruh kaum muslim. Sebagaimana sabda Rasulullah ﷺ, "Kaum muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (Hadis Riwayat Abu Daud)




Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Sistem Ekonomi Islam menegaskan bahwa guru adalah bagian dari aparatur negara yang gajinya dibayarkan melalui baitulmal. Upah tersebut bukan semata-mata imbalan atas jam kerja, melainkan bentuk penghormatan atas peran strategis guru dalam membentuk generasi peradaban. Negara menjamin pendidikan merata, tanpa biaya, dan tanpa diskriminasi—berbeda dengan sistem kapitalisme yang menjadikan pendidikan sebagai komoditas yang hanya bisa dinikmati kalangan mampu.




Jaminan tersebut merupakan realisasi dari banyaknya nas syariat yang secara eksplisit memuliakan pengemban ilmu. Nabi saw. bersabda, “Barang siapa menempuh jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga.” (Hadis Riwayat Muslim)




“Sesungguhnya Allah, para malaikat-Nya, penghuni langit dan bumi, hingga semut di lubangnya dan ikan di laut pun memohonkan ampun bagi orang yang mengajarkan kebaikan kepada manusia.” (Hadis Riwayat at-Tirmidzi)




Dalam pandangan Islam, guru bukan sekadar tenaga teknis, tetapi agen pembentuk peradaban. Karena itu, negara wajib memberikan dukungan finansial dan moral bagi mereka. Saatnya berpikir sistemik, bukan tambal sulam. Skema PPPK dan turunannya—seperti guru PPPK paruh waktu, hanyalah solusi jangka pendek dalam sistem yang tidak menempatkan pendidikan sebagai kebutuhan. Selama paradigma kapitalisme masih menjadi dasar penyelenggaraan negara, pendidikan akan terus dianggap sebagai beban anggaran, bukan sebagai investasi masa depan bangsa. Islam, melalui sistem Khilafah, memberikan kerangka menyeluruh yang menjamin keberlangsungan pendidikan berkualitas dengan menjadikan guru sebagai pilar utama, bukan korban kebijakan.[]




Posting Komentar

0 Komentar