Ruruh Hapsari
#Wacana — Saat rapat kerja antara pemerintah dengan Komisi IX DPR Selasa, 30 September 2025 lalu terjadi sahut-menyahut pernyataan tentang data gas melon. Ada perbedaan data antara kementerian keuangan dan kementerian ESDM tentang subsidi yang harus digelontorkan untuk tabung gas LPG 3 kg.
Menteri Keuangan, Purbaya menyatakan bahwa APBN harus menanggung beban subsidi sebesar tujuh puluh persen yang setara dengan tiga puluh ribu rupiah per tabung LPG 3 kg. Menteri keuangan mencatat bahwa harga asli gas LPG 30 kg per tabungnya adalah Rp42.750 dengan adanya subsidi maka rakyat menurut catatannya hanya membayar Rp12.750 saja per tabungnya.
Data yang diuraikan oleh menteri keuangan tersebut disentil oleh menteri ESDM yang mengatakan bahwa Purbaya salah dalam membaca data. Menteri ESDM, Bahlil juga menyatakan kalau Purbaya masih butuh penyesuaian dalam menjalankan kementerian karena masih belum lama berkedudukan sebagai menteri (kompas.com, 04/10/2025).
Selain itu, Bahlil menyatakan bahwa kementeriannya sedang menggodok agar skema LPG lebih tepat sasaran dan subsidi hanya diterima kepada yang berhak. Bahlil juga menggarisbawahi bahwa data penerima subsidi adalah merupakan kerjasama antara kementeriannya dengan BPS.
Mendengar hal tersebut Purbaya menyatakan akan mempelajari kembali tentang data harga asli LPG 3 kg. Ia menyatakan bahwa selama ini pun ia mendapatan data terkait hal tersebut melalui staf kementerian keuangan. Ia juga menyatakan adanya perbedaan data bisa jadi merupakan perbedaan hitungan dari tiap kementerian, sehingga menurutnya perbedaan tersebut bukan berarti kemeterian keuangan melakukan mark up dari harga asli LPG 3 kg.
Sedangkan DPR menaggapi perbedaan ini justru dengan mengingatkan menteri keuangan agar tidak memberikan pernyataan di luar kewenangannya sebagai bendahara negara. Misbakhun, Ketua Komisi XI DPR RI menyatakan bahwa tugas utama dari menteri keuangan adalah memastikan agar pembayaran subsidi tepat waktu, transparan dan akuntabel.
Selain itu, politikus dari Partai Golkar itu juga menyatakan agar Purbaya lebih fokus dalam pembenahan dari tata kelola subsidi APBN dan bukan justru ricuh dalam perdebatan data terkait penyaluran subsidi LPG. Masbikhun menambahkan bahwa saat ini yang diperlukan adalah basis data penerima subsidi, integrasi sistem digital, dan sinergi antarkementerian.
Dampak Ketidakakuratan Data
Sesungguhnya bukan kali ini saja data dari Badan Pusat Statistik diragukan. Sepanjang tahun 2025 saja, data tentang angka kemiskinan ataupun pertumbuhan ekonomi sudah diragukan keakurantannya.
Dilansir dari pikiranrakyat.com, Celios (Center of Economic and Law Studies) memberikan penilaian bahwa data kemiskinan yang telah diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik sebenarnya tidak menggambarkan kondisi dari masyarakat sesungguhnya. Hal ini tentu akan berakibat pada penyaluran subsidi yang tidak tepat sasaran (21/07/2025).
Menurut Direktur Celios, Bhima Yudistira tidak ketepaatan data BPS terlihat saat BPS merilis tentang tingkat kemiskinan yang menurun menjadi 8,47 persen yang tidak sesuai dengan kenyataan di lapangan. Catatan dari Bank Dunia mengenai tingkat kemiskinan di Indonesia sangat berbeda dengan angka yang dirilis BPS.
Bank Dunia menyebutkan bahwa tingkat kemiskinan di Indonesia sekitar 68,2 persen yaitu sekitar 194,4 juta jiwa yang hidup di bawah garis kemiskinan. Ketidaktepatan perhitungan oleh BPS menurut Bhima dikarenakan masih menggunakan metodologi pengukuran usang yang selama lima dekade terakhir cara pendekatan perhitungnnya tidak berbeda padahal biaya hidup masyarakat makin meningkat.
Tidak akuratnya data yang ada di pemerintah justru sangat berdampak pada masyarakat. Semua kebijakan pemerintah pasti berdasarkan data. Sebagai contoh tahun ini saja dengan tidak akuratnya pemetaan rakyat miskin maka distribusi penyaluran rumah, LPG, dan yang lainnya pun jelas tidak tepat sasaran.
Padahal negara merupakan pihak yang bertanggung jawab penuh akan kesejahteraan rakyatnya. Negara diberikan kewajiban untuk memelihara urusan rakyatnya dalam segala hal dan tidak memihak hanya bagi rakyat miskin saja, pun bagi masyarakat yang kaya mempunyai hak untuk dipenuhi oleh negara.
Dalam hadis riwayat Bukhari dan Muslim dikatakan, ”Seorang imam (pemimpin/kepala negara) adalah pemelihara dan pengatur urusan (rakyat) dan ia akan diminta pertanggungjawaban terhadap rakyatnya tersebut.” Dalil ini bermakna penguasa harus bersungguh-sungguh dalam mengatur urusan rakyatnya, bukan justru dikorupsi dan menjadi ajang rebutan harta di kalangan pejabat.
Selain itu, yang harus diperhatikan adalah distribusi barang yang dibutuhkan oleh masarakat. Distribusi dari negara bukan hanya di lempar ke masyarakat saja dan rakyat diberikan harga murah untuk berebut di pasar. Bila demikian halnya, rakyat yang tergolong sangat miskin jelas tidak mendapatkan bagian.
Dalam Islam yang dinamakan distribusi adalah pembagian hak rakyat dan sampai hingga per kepala. Sehingga berdasarkan data kemiskinan yang ada jelas tidak akan salah sasaran karena data terus di update dan rakyat yang tidak berpendapatan pun mempunyai jatah atas barang tersebut.
Belum lagi dengan dengan sistem ekonomi Islam yang dijalankan oleh negara dan orientasinya adalah kesejahteraan rakyat, maka lambat laun tidak ada lagi rakyat yang terlalu miskin, terlantar yang tidak bisa makan dan memenuhi kebutuhan hariannya. Hal itu karena dengan adanya pengaturan Islam hingga pada akhirnya negara harus menanggung mereka untuk pemenuhan kebutuhannya.
Seperti dahulu saat Khalifah Umar bin Abdul Aziz mendistribusikan zakat ke seluruh penjuru negeri, justru rakyat menolak zakat tersebut karena mereka merasa tidak menjadi bagian dari delapan golongan penerima zakat alias mereka merasa sudah sejahtera dan terpenuhi segala kebutuhannya. Wallahualam.[]
0 Komentar