Korupsi Dana Desa Berjaya di Sistem Lemah

 


Lulu Nugroho


#Bekasi — Dana desa yang digelontorkan pemerintah pusat untuk pembangunan desa, berakhir sia-sia. Di berbagai wilayah, satu demi satu pejabat daerah telah menyalahgunakan amanah. Dana pun menjadi tak tepat sasaran. Oknum pejabat, memanfaatkannya untuk kepentingan pribadi.


Hal serupa terjadi pula pada empat orang tersangka kasus korupsi, yaitu SH selaku Penjabat Kepala Desa Sumberjaya periode 2023–2024, SJ yang menjabat Sekretaris Desa, GR sebagai Kepala Urusan Keuangan periode Januari–Agustus 2024, serta MSA, Direktur CV Sinar Alam Inti Jaya. (Bekasi24jam.com, 03-09-2025)


Kejaksaan Negeri (Kejari) Kabupaten Bekasi yang telah menahan empat orang tersebut,  yang diduga kuat telah menyalahgunakan APBDes tidak sesuai ketentuan, tahun anggaran 2024 di Desa Sumberjaya, Kecamatan Tambun Selatan, sehingga mengakibatkan kerugian keuangan negara kurang lebih Rp2,6 miliar. Pihak Kejari masih melakukan pengembangan penyidikan untuk mengetahui fakta lainnya dalam kasus korupsi tersebut.


Sistem Kehidupan yang Lemah

Sistem kehidupan berlandaskan fashludin anil hayah, atau pemisahan agama dari kehidupan, tak mampu membuat seorang individu mampu menjaga amanahnya. Alhasil, banyak program terbengkalai dan tak mendapatkan hasil maksimal. Bahkan dana desa dengan angka fantastis, untuk membiayai program pemerintah, akhirnya dimanfaatkan untuk kepentingan pribadi. Lemahnya pengawasan dan minim audit, menambah peluang kemungkaran makin besar.


Di samping itu, para pengampu negeri pun tak selalu dipegang oleh penguasa dengan kemampuan handal. Perangkat desa tak selalu memiliki kemampuan administrasi, akuntansi, atau manajemen. Hal ini menjadikan celah penyalahgunaan tanggung jawab, termasuk manipulasi pembuatan  laporan. Hubungan kekerabatan, atau nepotisme, juga turut andil melanggengkan kerusakan. Politik balas budi, membuat perbaikan berjalan lambat. Tak ada muhasabah, tak menghasillan perbaikan. Relasi sosial berjalan tak sehat.


Kondisi ini diperparah dengan lemahnya transparansi publik. Masyarakat tak mengetahui besaran anggaran yang masuk ke pemerintah desa, tak memahami kerja pejabat desa maupun program yang akan diselenggarakan untuk kemaslahatan warga. Kurangnya akses info, membuat penyelewengan dana mudah saja terjadi. Kemungkaran merajalela. 


Padahal, masyarakat dapat dilibatkan dalam pengawasan dengan beragam cara, misalnya membuat papan informasi di kantor pemerintah desa agar setiap warga mengetahui aliran dana dan program yang telah berjalan. Pun bisa dengan mengadakan rapat secara berkala, sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah desa terhadap amanah yang dibebankan kepada mereka.


Tanpa kendali agama, motivasi pribadi tak terarah. Mental korupsi pun tumbuh subur di tatanan kehidupan yang menegasikan peran Allah Swt. Bak efek domino, satu demi satu pejabat desa tumbang, tergiur dana yang besar. Lupa bahwasanya amanah kepemimpinan tersebut harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Sanksi pun lemah, tak menakutkan dan tak menimbulkan efek jera. Risiko kecil ketimbang keuntungan yang mereka dapat.


Kalau ditarik lebih dalam, korupsi dana desa ini adalah miniatur dari tata kelola negara secara umum, ketika sistemnya lemah di sana sini, tidak transparan, akuntabilitas lemah, dan hukum tidak tegas, maka ruang korupsi tetap terbuka. Termasuk berbagai bentuk kerusakan lainnya. Maka perlu reformasi sistemik agar seluruh kehidupan berjalan dalam ketaatan kepada Ilahi Rabbi.


Sistem Kehidupan yang Tangguh

Korupsi merupakan pengkhianatan terhadap amanah. Dana desa seharusnya dikelola oleh pejabat desa. Dana ini milik umat agar digunakan sebaik-baiknya untuk kemaslahatan. Islam menetapkan korupsi tersebut dapat dikategorikan sebagai tindakan pengkhianatan (ghulul), sebab para pejabat telah menyalahgunakan keuangan rakyat, dan hal tersebut haram hukumnya. Rasulullah ﷺ bersabda:


“Barangsiapa yang kami angkat menjadi pegawai, lalu ia menyembunyikan dari kami walaupun jarum atau lebih, maka itu adalah ghulul (pengkhianatan). Ia akan datang pada Hari Kiamat dengan membawa apa yang dikhianatkan itu.” (Hadis Riwayat Muslim)


Islam memiliki tatanan negara yang tangguh, memastikan hukum Allah tegak di sana. Terdapat baitulmal untuk mengelola harta umat, seperti pembiayaan kebutuhan pokok, pembangunan infrastruktur, pelayanan pokok, dan penghidupan fakir miskin. Seharusnya pejabat yang mengelola harta umat tersebut sejatinya adalah orang-orang yang bertanggung jawab, beriman, dan senantiasa menjaga amanahnya.


Sejalan dengan itu, negara juga wajib menjadikan syariat sebagai hukum yang berlaku. Negara juga memiliki mekanisme penjagaan, berupa hakim (al-qadi) dan kepolisian (asy-syurthah) yang memperbaiki setiap pelanggaran. Islam tidak hanya memandang korupsi sebagai masalah moral, tetapi juga memberikan sanksi tegas yang bersifat penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir), maka pelaku bisa dikenakan ta’zir (hukuman sesuai kebijakan hakim/khalifah) berupa penjara, denda, cambuk, hingga pemecatan dari jabatan. Dana desa yang telah mereka ambil, wajib dikembalikan ke baitulmal.


Hal ini pernah dilakukan di masa kepemimpinan Khalifah Umar bin Khaththab r.a. yang sangat tegas terhadap perilaku pejabatnya, apabila kedapatan mereka tidak transparan dalam hal harta. Beliau r.a. pun berhati-hati dengan senantiasa melakukan pengawasan, mengaudit kekayaan pejabat, bahkan menyita harta yang diperoleh secara tidak wajar.


Sistem Islam tangguh karena tegak di atas 3 pilar: ketakwaan individu, masyarakat, dan negara. Penerapan Islam kafah meniscayakan terbentuknya individu bertakwa yang senantiasa beramal salih. Alhasil, seluruh insan akan berusaha beraktivitas mulia dan takut bermaksiat kepada Allah Swt. 



Pilar lainnya adalah masyarakat yang juga menegakkan hukum Allah. Masyarakat kerap kali mengawasi, menasehati, melakukan muhasabah, dan mendeteksi sedari dini peluang terjadinya kemaksiatan. Kontrol berlapis semacam ini, akan menyebabkan kecurangan segera dapat diakhiri. Tak merebak, apalagi sampai menjadi budaya.


Sedangkan negara adalah institusi yang berwenang dan  bertanggung jawab menerapkan hukum Allah di muka bumi. Dengan perangkatnya yang banyak, negaralah yang menetapkan beragam kebijakan yang akan menyebarkan kebaikan dan menutup setiap celah kecil pelanggaran syariat Allah.


Korupsi dana desa cermin lemahnya tata kelola pemerintahan di sebuah negeri, dari level tertinggi di pusat pemerintahan hingga pemimpin desa. Solusi hakiki hanya ada pada sistem kehidupan Islam yang tangguh dan akan menjadi rahmat bagi semesta alam. Allahumma ahyanaa bil Islam.[]









Posting Komentar

0 Komentar