#Reportase — Kematian EN (34), seorang ibu asal Bandung, menyisakan duka mendalam. Tekanan hidup telah membutakan akal sehatnya sehingga dia rela mengakhiri hidupnya dan kedua buah hatinya secara tragis. Tragedi filisida maternal semacam ini disebut-sebut sering muncul akibat dipicu oleh faktor ekonomi. Benarkah demikian? Adakah faktor lain yang menyebabkan makin maraknya kasus tersebut?
Menjawab keresahan itu, tokoh-tokoh muslimah Bekasi berkumpul dalam sebuah Dialog Publik Tokoh Muslimah Inspiratif, Ahad (28/09) lalu. Tema yang diangkat dalam diskusi tersebut yakni “Tragedi Filisida Maternal Tanda Abainya Penguasa.” Surat EN yang menyayat hati semua hadirin dibacakan sebagai prolog acara.
Setidaknya sepanjang 2024, tercatat 60-an kasus anak menjadi korban filisida. Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut Indonesia darurat filisida. Mayoritas kasus dilakukan oleh ibu. Hal ini dikarenakan adanya tekanan hidup yang begitu berat sehingga mengusik bahkan menghilangkan fitrah keibuannya.
Ustazah Sri Herawati, S.P., selaku keynote speaker, menyampaikan adanya kombinasi kompleks dari berbagai problem, baik secara psikologis, sosial, maupun budaya yang melahirkan perilaku sadis ini. Dari sisi psikologis, banyak ibu yang mengalami depresi, stres kronis, bahkan gangguan mental berat seperti psikosis. Hal ini yang membuat mereka terjebak pada keputusasaan dan mengambil tindakan keliru sebagai solusi.
Dari sisi sosial, keluarga dan lingkungan tidak cukup memberikan dukungan pada ibu yang membuatnya merasa terisolasi. Apalagi ditambah konflik rumah tangga, kasus KDRT, dan perselingkuhan yang membuat ibu kehilangan sandaran hingga membuatnya makin terluka.
Belum lagi persoalan ekonomi: utang ribawi yang menumpuk, harga kebutuhan melambung tinggi, sedangkan mencari penghasilan makin sulit. Semua ini menjadikan ibu harus menanggung beban berat seorang diri. Perempuan tidak hanya dituntut untuk mengurus keluarga, tetapi juga mencari nafkah.
Persoalan filisida maternal ini tidak bisa dilepaskan dari konteks sosial dan sistem kehidupan yang menaungi masyarakat hari ini. Ada problematika sistemis yang dilahirkan oleh sistem rusak, yakni kapitalisme sekuler. “Di sistem yang sakit, di kehidupan yang sakit maka manusianya juga sakit,” tegas Ustazah Sri Herawati.
Seorang praktisi kesehatan, dr. Ine Martanti, S.Sos., M.Pd., juga menyoroti kasus ini dari sisi kesehatan mental. Setidaknya ada dua faktor penyebab stres. Pertama, faktor internal yang meliputi berbagai rasa sedih, cemas, marah, tidak mau menerima kenyataan, tidak memiliki kesabaran, dan sebagainya yang menumpuk. Kedua, faktor eksternal, yakni beban kerja yang berat, masalah keuangan, tekanan dari keluarga, kondisi pernikahan, dan lain-lain.
Beliau menyatakan bahwa Allah telah menciptakan tubuh manusia, termasuk otak, dengan luar biasa. Sayangnya, stres berkepanjangan sering menyebabkan bentuk dan fungsi otak terganggu. Salah satunya mengakibatkan penyusutan pada area korteks prefrontal. Hal inilah yang membuat banyak pelaku kehilangan kendali secara internal.
“Kita ini khalifah-Nya Allah, yang ditugaskan untuk memakmurkan bumi, diberikan bekal akal. Dan itulah tugas kita sebagai daiyah,” terang dr. Ine yang memberikan semangat agar semua hadirin memiliki kemauan tinggi untuk belajar hal-hal baru (tsaqafah Islam) agar bisa mencairkan kebekuan pemikiran di tengah masyarakat.
Ibu Dhian Rini Ambarrukmi, S.Si., sebagai aktivis dakwah sekaligus praktisi kesehatan, pun memberikan tanggapan mengenai persoalan ini. Menurutnya, sistem jaminan kesehatan hari ini telah gagal memberikan perlindungan bagi masyarakat, khususnya kaum ibu. Layanan kesehatan yang semestinya menjadi kewajiban negara malah dibebankan di pundak masyarakat, sehingga makin sulit diakses.
Islam memiliki sistem kebijakan layanan kesehatan yang mumpuni. Islam mendefinisikan kesehatan meliputi kondisi fisik, mental, dan sosial, bukan hanya sekadar ketiadaan penyakit dan kelemahan. Maka, Islam mengupayakan masyarakat memiliki perasaan tenang yang terus-menerus karena kebutuhan fisik dan naluri terpenuhi dengan benar, sesuai fitrah.
Di dalam Islam, layanan kesehatan diberikan negara untuk meninggikan martabat manusia. Sejarah telah mencatat bagaimana Islam benar-benar memberikan jaminan kesehatan secara gratis pada masyarakat. Hal ini dimulai sejak masa Rasulullah saw., Khulafaur Rasyidin, dan kekhilafahan setelahnya.
Banyak rumah sakit besar didirikan sejak masa Khilafah Bani Umayyah, Abbasiyah, hingga Utsmaniyah. Rumah sakit itu dijadikan pusat pendidikan dokter dan perawat, kebun obat-obatan, penelitian, dan pengembangan alat kesehatan. Salah satunya pada masa Khilafah Bani Umayyah, yaitu RS An-Nuuri di Kota Damaskus. Rumah sakit ini dibangun dari kas negara sebagai bantuan untuk orang sakit secara gratis.
“Maka, hari ini kita butuh sistem (Islam) yang memuliakan dan menjaga fitrah manusia. Tanpa Khilafah, syariah tak tegak. Tanpa dakwah, Khilafah tak akan datang,” tegas Ibu Dhian yang kemudian menyerahkan forum pada moderator. Pernyataan itu mendapatkan respon tak kalah semangat dari para tokoh muslimah Bekasi yang hadir berkenan diatur dengan sistem Islam yang sempurna.
Oleh karena itu, tidak ada jalan lain untuk mencegah terjadinya tragedi filisida maternal kecuali hanya dengan mengganti sistem rusak dengan sistem sehat, yakni Islam di tengah-tengah kehidupan kita. Sistem inilah yang akan memastikan seluruh kebutuhan dasar masyarakat terpenuhi, memuliakan keluarga, dan melindungi fitrah ibu sehingga mampu menjalankan seluruh peran dengan penuh kasih sayang.[Ummu Zhafira]
0 Komentar