Eli Ermawati
#Bekasi — Majelis Ulama
Indonesia (MUI) Kota Bekasi baru-baru ini mengungkapkan lonjakan signifikan
kasus LGBT (Lesbian Gay Biseksual Transgender). Jika pada 2023 jumlahnya tercatat
544, maka pada 2024 meningkat lebih dari 5.600 kasus. Artinya, ada kenaikan
hingga seribu persen hanya dalam setahun. Data ini makin mengkhawatirkan ketika
dikaitkan dengan jumlah penderita HIV di Bekasi, yang mencapai 3.977 kasus
sejak 2005 hingga Januari 2025 (Detik.com, 19/09/2025)
Fakta ini menunjukkan dua
hal: pertama, fenomena LGBT bukan sekadar pilihan pribadi, melainkan
persoalan sosial serius dengan dampak kesehatan masyarakat. Kedua, angka
ribuan ini menandakan kondisi yang mengarah pada zona merah—penyimpangan
seksual berpotensi mengundang bencana sosial maupun azab dari Allah Swt.
Akar Masalah Sistemik
Lonjakan LGBT di Bekasi
bukanlah fenomena yang berdiri sendiri. Ia tumbuh subur dalam sistem yang
memberi ruang bagi liberalisme, sekularisme, dan kebebasan seksual. Demokrasi
dengan dalih hak asasi manusia justru menormalisasi perilaku menyimpang ini.
Padahal, Islam telah jelas melarang perbuatan homoseksual. Allah berfirman
tentang kaum Nabi Luth: “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata
kepada kaumnya: Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu yang belum pernah
dikerjakan oleh seorang pun (di dunia ini) sebelummu? Sesungguhnya kamu
mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu, bukan kepada wanita malah kamu ini
adalah kaum yang melampaui batas.” (Surah Al-A’raf Ayat 80–81)
Ayat ini menegaskan bahwa
homoseksual adalah perilaku menyimpang yang melampaui batas. Namun, di bawah
sistem demokrasi justru perilaku ini dilindungi atas nama hak asasi. Akhirnya,
peredaran konten porno, budaya pacaran bebas, hingga penetrasi komunitas
pro-LGBT dibiarkan masuk tanpa filter.
Akibatnya, generasi muda
menjadi korban. Orientasi seksual dianggap bisa dipilih sesuka hati, tanpa
peduli pada fitrah dan syariat. Angka HIV yang terus merangkak naik adalah
bukti nyata bahwa kebebasan tanpa batas justru merusak sendi-sendi kesehatan
dan moral masyarakat. Lonjakan seribu persen kasus LGBT di Bekasi bukan sekadar
statistik, tetapi alarm keras bahwa ada kerusakan sistemik yang tak bisa
diatasi dengan solusi tambal-sulam.
Di bawah payung
sekularisme, agama dipinggirkan dari kehidupan publik. Padahal, Islam dengan
tegas melarang perilaku homoseksual sebagai dosa besar. Namun, dalam sistem
demokrasi, pelaku justru dipandang sebagai kelompok minoritas yang wajar
dilindungi. Akhirnya, peredaran konten porno, budaya pacaran bebas, hingga
penetrasi komunitas pro-LGBT dibiarkan masuk tanpa filter.
Akibatnya, generasi muda
menjadi korban. Orientasi seksual dianggap bisa dipilih sesuka hati, tanpa
peduli pada fitrah dan syariat. Angka HIV yang terus merangkak naik adalah
bukti nyata bahwa kebebasan tanpa batas justru merusak sendi-sendi kesehatan
dan moral masyarakat. Lonjakan seribu persen kasus LGBT di Bekasi bukan sekadar
statistik, tetapi alarm keras bahwa ada kerusakan sistemik yang tak bisa
diatasi dengan solusi tambal-sulam.
Solusi Islam yang
Menyeluruh
Islam memandang perilaku
homoseksual sebagai perbuatan haram yang mengundang murka Allah. Al-Qur’an
telah mengabadikan kisah kaum Nabi Luth yang dibinasakan karena perilaku
menyimpang ini. Maka jelas, fenomena LGBT di Bekasi tidak bisa ditoleransi
apalagi dinormalisasi.
Islam tidak hanya berhenti
pada vonis haram. Islam menawarkan solusi menyeluruh. Pertama,
pencegahan melalui pendidikan iman dan akhlak. Generasi sejak dini dibina agar
memahami fitrah, menjaga iffah, dan menjauhi zina. Kurikulum Islam menanamkan
kesadaran bahwa seksualitas hanya halal dalam ikatan pernikahan.
Kedua, adanya kontrol sosial
dari masyarakat. Amar makruf nahi mungkar harus ditegakkan. Allah berfirman: “Dan
hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan,
menyuruh kepada yang makruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah
orang-orang yang beruntung.” (Surah Ali Imran Ayat 104). Ayat ini
menegaskan bahwa masyarakat Islam tidak boleh permisif terhadap penyimpangan.
Kontrol sosial berarti saling mengingatkan dalam kebaikan dan menolak promosi
perilaku menyimpang.
Ketiga, penegakan hukum syariat.
Negara dalam pandangan Islam wajib melindungi masyarakat dari penyimpangan
seksual, bukan malah melegitimasinya. Pelaku LGBT diberikan sanksi tegas sesuai
hukum Islam, yang sekaligus menjadi efek jera dan penjaga moralitas umum.
Keempat, jaminan kesehatan dan
pengobatan. Islam juga mendorong pengobatan bagi penderita HIV tanpa
diskriminasi, sembari tetap menutup rapat pintu perilaku yang menyebabkan
penyakit itu merebak.
Dengan kata lain, solusi
Islam tidak parsial seperti pendekatan sekuler yang hanya fokus pada layanan
medis atau kampanye moral. Islam hadir dengan sistem kehidupan yang utuh
mengatur pendidikan, sosial, hingga hukum agar perilaku menyimpang bisa dicegah
sejak dari akar.
Lonjakan kasus LGBT di
Bekasi adalah peringatan serius bahwa masyarakat sedang menuju jurang
kehancuran moral. Fakta ribuan kasus bukan hanya persoalan individu, melainkan
buah dari sistem sekuler–demokrasi yang memberi ruang bagi liberalisme seksual.
Jika solusi yang diambil hanya berupa penyuluhan atau layanan kesehatan, maka
persoalan tak akan selesai. Bekasi dan Indonesia pada umumnya, butuh solusi
menyeluruh: kembali pada Islam sebagai aturan hidup. Hanya dengan penerapan
syariat Islam, masyarakat bisa terbebas dari ancaman LGBT dan bencana sosial
yang menyertainya. Wallahualam.[]

0 Komentar