Ramai Tagar Boikot Trans7: Antara Framing Media dan Martabat Pesantren

 



 

Shiha Utrujah

 

#Wacana — Jagat media sosial kembali diguncang polemik. Tagar #BoikotTrans7 menjadi tranding topik. Gelombang protes ini muncul sebagai respons atas tayangan yang dianggap melecehkan dunia pesantren dan para kiai. Tayangan tersebut menampilkan judul yang dinilai provokatif dan merendahkan: “Santrinya Minum Susu Aja Kudu Jongkok, Emang Gini Kehidupan Pondok? Kiainya Yang Kaya Raya, Tapi Umatnya Yang Kasih Amplop.” (Republika.co.id, 13/10/2025)

 

Tak butuh waktu lama, reaksi keras pun bermunculan dari berbagai lapisan masyarakat, termasuk tokoh agama, alumni pesantren, dan masyarakat umum. Bahkan, ancaman somasi terhadap Trans7 pun dilontarkan. Tayangan ini dinilai tak sekadar menyinggung personal, tetapi juga menyentuh nilai-nilai luhur yang selama ini dijunjung tinggi oleh komunitas pesantren di Indonesia.

 

Pesantren: Pilar Pendidikan dan Adab Islam

 

Pesantren telah lama dikenal sebagai benteng pendidikan Islam yang melahirkan ulama, pemikir, dan tokoh masyarakat. Di mata umat, pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi juga pusat pembinaan akhlak, karakter, dan adab.

 

Santri diajarkan hidup sederhana, menghormati guru (kiai), serta mengamalkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari. Salah satu contohnya adalah minum sambil jongkok, yang dalam Islam dianggap sebagai bentuk ajaran Islam yang merupakan adab dan kesopanan yang diperintahkan oleh Nabi Muhammad saw.

 

Namun sayangnya, dalam tayangan Trans7, adab tersebut justru dipelintir menjadi bahan sindiran seolah-olah menggambarkan ketertinggalan dan pembodohan. Ini adalah bentuk penyederhanaan yang keliru dan menyakitkan.

 

Tidak Menutup Mata, Tapi Jangan Menggeneralisasi

 

Kita tidak dapat menutup mata bahwa ada beberapa kasus serius yang mencoreng nama baik pesantren, seperti kekerasan, pelecehan seksual, bahkan kasus kriminal di kalangan santri. Namun, penting untuk dipahami bahwa oknum tidak mewakili sistem.

 

Kesalahan individu atau pengelola dalam sebagian kecil pesantren tidak boleh dijadikan dasar untuk menyudutkan semua pesantren di Indonesia. Sama halnya dengan sekolah umum atau institusi lain penyimpangan segelintir orang tidak bisa dijadikan dalih untuk menggeneralisasi seluruh lembaga.

 

Ketika Kritik Berubah Menjadi Stigma

 

Sebagai lembaga penyiaran nasional, Trans7 semestinya menjunjung tinggi nilai jurnalistik: objektivitas, sensitivitas budaya, dan keberimbangan informasi. Namun dalam kasus ini, kritik yang semestinya membangun justru berubah menjadi framing yang menyudutkan dan menciptakan stigma.

 

Pernyataan seperti “minum susu aja kudu jongkok” dan “kiainya kaya raya, umatnya kasih amplop” bukanlah kritik konstruktif. Itu lebih menyerupai gosip murahan yang merendahkan simbol dan adab dalam pendidikan Islam.  Alih-alih membuka ruang dialog, tayangan semacam ini memperdalam jarak antara media dan umat Islam antara kritik dan penghinaan.

 

Sistem Kapitalisme dan Krisis Moral Media

 

Fenomena seperti tayangan Trans7 ini tidak bisa dilepaskan dari sistem yang melahirkannya. Media massa hari ini lahir dari rahim sistem kapitalisme sekuler yang mengedepankan kebebasan berekspresi secara absolut, tanpa batas moral yang jelas. Tujuan utamanya bukan lagi mencerdaskan, tetapi mencari sensasi, rating, dan viralitas. Nilai-nilai adab dan kesopanan yang diajarkan dalam Islam justru dianggap sebagai bahan lelucon atau simbol keterbelakangan.

 

Para kiai sebagai pemimpin spiritual umat mudah dilecehkan. Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam dikerdilkan. Sementara permintaan maaf seringkali hanya dijadikan pelindung untuk menghindari tanggung jawab moral maupun hukum.

 

Kembali kepada Islam sebagai Sistem Kehidupan

 

Adanya penyimpangan di sebagian pesantren memang harus dikritisi secara serius. Namun, solusi bukanlah dengan menertawakan ajaran Islam atau menghina simbolnya. Justru sebaliknya, kita perlu mengembalikan pesantren pada ruh Islam yang murni, bukan membiarkannya hidup dalam sistem yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam itu sendiri.

 

Ibarat air bersih yang ditampung dalam wadah kotor, maka sebersih apa pun ajaran Islam, akan tetap terkontaminasi bila sistem tempat ia hidup rusak. Inilah yang terjadi ketika pesantren dan umat Islam hidup dalam sistem kapitalisme yang cacat moral.

 

Oleh karena itu, solusi fundamentalnya adalah mengganti sistem yang ada, yakni dengan kembali kepada Islam secara kafah (menyeluruh). Islam tidak hanya sebagai agama ritual, tetapi sebagai pedoman hidup, termasuk dalam pendidikan, bermedia, kehidupan sosial dan memiliki sanksi yang berat pelecehan terhadap ajaran Islam. Sehingga berefek jera bagi yang melakukannya.

 

Kasus Trans7 bukan sekadar persoalan konten, tapi mencerminkan masalah struktural dalam sistem kehidupan kita hari ini. Jika umat Islam ingin mengembalikan marwah pesantren, menjaga kehormatan ulama, dan membangun masyarakat yang beradab maka langkah paling mendasar adalah kembali pada sistem Islam yang menyeluruh, bukan hanya pelaksanaan pada simbol-simbolnya saja. Tagar #BoikotTrans7 hanyalah satu bentuk protes. Tapi lebih dari itu, umat Islam butuh kesadaran kolektif untuk bangkit, bukan hanya melawan penghinaan, tetapi juga mengganti sistem yang melahirkannya. Wallahualam.[]

Posting Komentar

0 Komentar