Reni Setiawati
#Tangsel — Wali
Kota Tangerang Selatan (Tangsel) Benyamin Davnie bersyukur ketika Presiden
Prabowo Subianto menetapkan proyek Waste-to-Energy (WtE) atau Pengolahan
Sampah menjadi Energi Listrik (PSEL) di Kota Tangsel sebagai Proyek Strategis
Nasional (PSN) di kurun pemerintahannya. Pembangunan tempat PSEL tersebut
termaktub dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025-2029. PSEL Tangsel
tertulis di indikasi nomor 76 dengan nama Program Pembangunan Instalasi
Pengolah Sampah menjadi Energi Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.
Kota Tangsel tak sendirian dalam program ini, tetapi tergabung juga
beberapa daerah lain, di antaranya DKI Jakarta, Bekasi, Bandung, Semarang,
Denpasar, Makassar, Manado, dan Palembang. Perpres tersebut juga menyebutkan
jika pelaksanaannya mencakup pemerintah kota lokasi proyek dan swasta.
Pak Ben, sapaan akrab Wali Kota Tangsel, telah menyediakan lahan lima
hektar yang berada di tempat pemrosesan akhir (TPA) Cipeucang, sehingga
dianggap memenuhi syarat kesiapan teknis PSEL (banten.tribunnews.com, 14/10/2025). Di laman resmi Pemkot Tangsel, berita.tangerangselatan.go.id
yang rilis pada tanggal 15 Oktober 2025, Pak Ben memaparkan langsung kepada
Rosan Perkasa Roeslani, CEO Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara
(Danantara), tentang kesiapan Tangsel. Poin-poin kesiapan Tangsel tersebut
adalah: pertama, Tangsel siap menjadi percontohan yang pertama jika akan
dilakukan uji percepatan PSEL; kedua, kapasitas sampah Tangsel lebih
dari 1.000 ton; ketiga, Tangsel sudah menyiapkan lahan yang dibutuhkan; keempat,
potensi daerah yang termasuk dalam wilayah aglomerasi Tangerang Raya.
Danantara sendiri menyebut kebutuhan investasi tiap PSEL berkapasitas
1.000 ton sampah per hari sekitar Rp2–3 triliun, sehingga total kebutuhan investasinya sekitar Rp66–99 triliun. Pembiayaan ini
tidak hanya berasal dari Danantara, tetapi juga terbuka bagi swasta dan Badan
Usaha Milik Daerah (BUMD). Proses pemilihan mitra pun dipastikan oleh Danantara
akan bersifat terbuka melalui mekanisme tender. (danantaramonitor.org,
06/10/2025)
Patriot Bond adalah obligasi untuk mendukung pendanaan PSEL. PLN
pun telah menyatakan kesiapannya sebagai offtaker atau penyerap listrik
yang dihasilkan PSEL, meskipun harga beli listrik yang dipatok cukup tinggi,
yakni 20 sen per kWh. Angka tersebut sudah mencakup tipping fee yang
awalnya dibebankan kepada pemerintah daerah, yang akhirnya dibebankan pada
harga jual ke PLN. (hijau.bisnis.com, 30/09/2025)
Bisa dipahami jika PSEL sangat diharapkan sebagai solusi cerdas bagi
persoalan sampah di Tangsel, yang sekaligus menjadi tekad mewujudkan kota
pintar (smart city) yang ramah lingkungan dan mandiri energi. Sumber
sampah di Tangsel yang berasal dari rumah tangga, restoran, pasar, warung,
kafe, dan sebagainya ternyata memiliki keterbatasan TPA. Banyak sampah yang
dibuang warga secara serampangan, yakni diletakkan di pinggir jalan, di tengah
separator jalan, di jembatan-jembatan, lahan milik orang, dan sebagainya.
Bahkan Tangsel sudah bekerja sama dengan daerah lain, yaitu Pandeglang, yang
ternyata menimbulkan persoalan kesulitan biaya logistik dan tipping fee.
Sayangnya, resistensi warga Pandeglang tak terelakkan.
Keuntungan lainnya juga disampaikan, digadang-gadang pembangunan PSEL akan membuka banyak
lapangan kerja, menjadi warisan peradaban bagi generasi selanjutnya, mengurangi
ketergantungan pada bahan bakar fosil, dan mendorong Kota Tangsel lebih hijau.
Tentu harapan ini menjadi keinginan seluruh warga.
Namun, kejelian religius perlu dimaksimalkan dalam melihat proyek ini. Patriot
Bond adalah instrumen obligasi strategis yang digunakan untuk memperoleh
pendanaan jangka menengah hingga panjang, khususnya untuk mendukung
program-program pembangunan nasional dan mendanai proyek-proyek strategis
negara, seperti proyek energi baru dan terbarukan (EBT) atau konversi sampah
menjadi energi (waste-to-energy).
Patriot Bond disebut memiliki tingkat keamanan yang tinggi atas
pokok investasi (modal) yang disetor, dan dinilai berkontribusi pada
pembangunan nasional. Meskipun hasil imbal tetap (kupon) relatif rendah,
sekitar dua persen dibandingkan obligasi pasar pada umumnya, investor tetap
mendapatkan imbal hasil secara berkala dalam jangka waktu tenor yang ditentukan
(misalnya lima atau tujuh tahun). Imbal hasil ini memberikan kepastian
pendapatan pasif. Catatan pentingnya, obligasi ini tidak lepas dari unsur riba,
yang diharamkan di dalam Islam.
Sejak didirikannya, Danantara memang berorientasi profit, bukan
pelayanan publik semata. Poin ini yang akan menjadi awal pembahasan perspektif
Islam. Pengelolaan sampah seharusnya bertumpu pada pandangan ideologis, bukan
sekadar teknis manajemen, apalagi profit finansial. Logika kapitalisme sebagai
ideologi yang menguasai dunia saat ini menjadi biang krisis kerusakan alam dan
lingkungan, khususnya persoalan sampah, maka persoalan sampah ini bukan skala
lokal semata tetapi mencakup global.
Kapitalisme—sekularisme yang berpandangan bahwa
alam hanyalah materi tanpa korelasi dengan Sang Pencipta telah mengabaikan
fungsi manusia sebagai khalifah pemakmur bumi. Sampah adalah bagian dari gaya
hidup konsumtif eksploitatif kapitalisme. Perusahaan besar melakukan advertensi
yang memaksa tanpa sadar konsumsi dan menimbulkan berbagai macam sampah.
Kapitalisme juga akan menampakkan
sifat aslinya yang serakah dan tidak peduli dengan ekses negatif yang akan
menimpa masyarakat dan menambah beban keuangan negara sendiri. PLN selama ini
sudah memiliki kewajiban membeli listrik dari pihak swasta (Independent
Power Producer/IPP) berdasarkan perjanjian yang sudah disepakati, yang
dikenal sebagai Perjanjian Jual Beli Tenaga Listrik (PPA). Padahal listrik yang
dihasilkan PLN sendiri sebenarnya cukup, bahkan berlebih. Beban keuangan PLN
bisa ditutupi dengan menjual kembali listrik yang sudah diserap kepada
masyarakat dengan harga yang akan terus dinaikkan. Inilah ekses negatif yang
berpotensi menjadi beban bagi masyarakat luas.
Sedangkan Islam, memiliki prinsip
nilai dan ekonomi terhadap lingkungan yang sangat berbeda dengan kapitalisme.
Islam adalah sistem sempurna dan komprehensif untuk mengatur seluruh urusan
manusia yang berasal dari Pencipta, memandang hubungan manusia dengan alam
bukan sebagai konflik, tetapi alam Allah tundukkan untuk kemaslahatan manusia.
Walhasil, PSEL ini berpotensi
menjadikan sampah sebagai ladang penyubur pundi-pundi para kapitalis, yakni
melalui pengembalian obligasi dan bunganya. Di sisi lain, proyek ini sebenarnya
menyimpan mafsadah, yakni potensi kerugian PLN, yang notabene adalah kerugian
negara.
Islam menjadikan bumi adalah
amanah Allah untuk manusia bertahan hidup dan objek eksploitasi guna mencukupi
kebutuhan manusia, yang tentu saja harus menggunakan kaidah yang ditentukan
syariat. Maka PSEL akan menjadi ibadah jika pengaturannya sesuai Islam, tetapi
bila kiblatnya hanya keuntungan dan hipokrisi slogan hijau, maka Danantara tak
ubahnya mesin kapital yang memberikan banyak keuntungan pada sedikit orang
dengan slogan sustainability.
Pengolahan sampah akan mampu
dituntaskan secara holistik tanpa muncul ekses mafsadah dengan peran seluruh
masyarakat dan pemerintah. Pemerintah akan membuat kebijakan untuk
menyelesaikan persoalan sampah secara tuntas, tidak mengandung unsur profit
untuk kalangan tertentu, memilih teknologi terbaik, dan menjalankannya untuk
taat kepada Allah. Ketundukan kepada Allah Swt. inilah akan menjadi landasan
pengelolaan alam dan lingkungan. Jika setiap penyelesaian dikembalikan kepada
syariat-Nya, maka pasti akan mendatangkan manfaat.[]

0 Komentar