Sertifikasi Dapur MBG: Antara Idealisme Pemerintah, Realitas SLHS, dan Nyawa Generasi


Reni Setiawati


#Tangsel — Merebaknya temuan kasus keracunan di beberapa lokasi penerapan program Makan Bergizi Gratis (MBG) pada anak sekolah penerima paket program tersebut memicu reaksi cepat pemerintah daerah dan pusat untuk memperketat standar higienis dapur dan penyedia MBG. Gejala keracunan makanan yang dialami para korban umumnya merasakan mual, muntah, pusing, mules, diare, kejang-kejang, sesak napas, dan dugaan meninggal. Kasus dugaan meninggal yang dialami oleh seorang siswi kelas XII SMKN 1 Cihampelas memang masih menjadi perdebatan dan belum disimpulkan secara definitif oleh otoritas kesehatan setempat. 


Menurut Koordinator Nasional Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, tercatat 10.482 anak yang mengalami keracunan sejak program MBG diluncurkan awal tahun 2025 (kontan.co.id, 09/10/2025). Yang bila dikutip dari pernyataan Presiden Prabowo Subianto sebelumnya, menyatakan bahwa memang ada keracunan makanan tetapi hanya 0,00017 persen dari kurang lebih 30 juta penerima manfaat baik siswa maupun ibu hamil (cnnindonesia.com, 29/09/2025), tetaplah jumlah korban keracunan makanan itu sangat besar. Perhitungan tersebut karena menyangkut nyawa manusia, bukanlah barang produksi yang mengalami kecacatan.


Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menerbitkan Surat Edaran Nomor HK.02.02/C.I/4202/2025 tentang Percepatan Penerbitan Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) bagi Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang ditujukan kepada seluruh kepala dinas kesehatan provinsi, kabupaten/kota, serta kepala Kantor Pelayanan dan Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi di seluruh Indonesia. (kemkes.go.id, 06/10/2025)


Pemerintah Kota Tangerang Selatan (Tangsel) segera merespons kasus keracunan makanan pada program MBG dengan menginstruksikan dan mewajibkan memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS) bagi dapur MBG atau Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) untuk mencegah kejadian serupa. Melalu akun Instagram @pilarsaga_sppg, 30 September 2025, Wakil Wali Kota Tangerang Selatan menegaskan bahwa kebijakan itu adalah tindak lanjut dari arahan Menteri Dalam Negeri (Mendagri) yang juga merupakan upaya pengetatan pengawasan kualitas makanan. SLHS nantinya akan diterbitkan oleh Dinas Kesehatan (Dinkes) yang meliputi pemeriksaan kelayakan lokasi, sanitasi, sumber air, tata cara pengolahan, hingga penjamah makanan yang terlatih. Bagi SPPG yang tidak memenuhi standar dapat ditutup sementara sampai ada perbaikan. 


Upaya sertifikasi SLHS bagi seluruh dapur MBG patut diapresiasi sebagai bentuk tanggung jawab, pelayanan, dan pengurusan terhadap rakyat. Evaluasi standar keamanan akan menaikkan tingkat kepercayaan rakyat, khususnya orang tua, bahwasanya makanan yang disediakan memang terjaga dari sisi kualitas keamanan dan juga kehalalannya. Orang tua pun akan memiliki rasa tenang ketika anak-anak mereka di sekolah mengonsumsi makanan MBG.


Pemerintah harus mendorong dan memastikan bahwasanya semua dapur MGB memiliki sertifikat terakreditasi. Jika tidak dilakukan dengan sesegera mungkin, maka otomatis tingkat kepercayaan akan merosot sangat tajam sekali dan akan sekadar menghambur-hamburkan uang saja. Sekaligus pemerintah memberikan kemudahan bagi SPPG dalam pengurusan SLHS. Sebagaimana hadis Nabi saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim: 

“Setiap kalian adalah pemimpin (ra’in), dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” 


Keterlibatan negara dalam pandangan Islam (ri’ayah suunil ummah) adalah mengatur kehidupan rakyatnya. Ada dua aspek penting yang menjadi perhatian negara, yakni kebutuhan-kebutuhan personal (sandang, papan, pangan) dan kebutuhan-kebutuhan komunal (pendidikan, kesehatan, transportasi, infrastruktur). 


Dalam pengurusan SLHS ini pun negara sepatutnya berprinsip pada kemudahan prosedur, terjangkau biayanya bahkan gratis, cepat dan akurat, serta kejujuran dalam mengurusnya. Jika prosedur berbelit, biaya mahal, dan lama dalam penerbitan sertifikat makan akan membuka celah kecurangan berupa jual beli sertifikat SLHS. Hal ini tentu tidak diharapkan, karena tujuan sertikasi itu sendiri adalah mengurangi dan meminimalisir keracunan makanan. 


Inilah tantangan yang berpotensi muncul dalam persyaratan SLHS bagi seluruh dapur MBG. Potensi ini bisa terbuka lebar jika pengaturan seluruh sendi kehidupan bernegara diletakkan pada konsep dagang ala kapitalisme, yaitu mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Dana MBG yang terealisasi hingga awal Oktober mencapai Rp20 triliun yang disalurkan melalui 13 ribu SPPG atau setara dengan 28,1 persen dari pagu Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang ditetapkan pemerintah senilai Rp71 triliun adalah jumlah yang sangat besar, (liputan6.com, 09/10/2025). Sepatutnya dana ini sudah mencakup kemudahan pengurusan SLHS bagi seluruh SPPG.


Jika pengurusan SLHS mengurangi catu porsi MBG, maka pertaruhannya adalah turunnya kualitas makanan. Para pengelola SPPG akan memutar otak agar tetap bisa menyajikan makanan MBG tetapi dengan penurunan kualitas, baik dari segi kuantitas maupun kualitas keseimbangan gizi. Akhirnya, tujuan semula diadakan program MBG agar seluruh warga negara dapat mengakses gizi yang baik agar mendukung tumbuh kembang kognitifnya, masyarakat lebih sehat dan produktif, dan terutama penanggulangan tengkes (stunting) bak jauh panggang dari api serta hanya akan menjadi program populis penguasa.


Belajar dari sejarah, apalagi sejarah terbaik sepanjang masa, tentang program MBG ini, maka Islam dan peradabannya yang terbentang tiga belas abad lamanya bisa menjadi panduan terbaik. Dengan konsep ruhiyah mazjul maddah birruh (menyatukan materi dan ruh), Islam menetapkan penjaminan pangan bagi masyarakat. Konsep ini adalah tujuan dari penerapan syariat (maqasid asy-syari’ah) untuk menjaga jiwa (hifdz an-nafs) dan melindungi keturunan (hifdz an-nasl). Al-Qur’an Surah Quraisy Ayat 3–4 menyatakan:

"Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan (pemilik) rumah ini (Ka’bah), yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan mengamankan mereka dari rasa ketakutan."


Hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim “Imam adalah penggembala, dan ia bertanggung jawab atas rakyatnya.” Telah dipraktikkan oleh para sahabat penerus kepemimpinan Rasulullah. Khalifah Umar bin Khattab tercatat telah mendirikan dapur umum saat paceklik. Cicitnya, Umar bin Abdul Aziz, Ketika menjadi khalifah di era Kekhilafahan Bani Umayah selalu memastikan tidak ada rakyatnya yang lapar. 


Di era terakhir Kekhilafahan Islam, Imaret Ottoman adalah dapur publik yang didirikan di seluruh wilayah Utsmani untuk menyediakan ribuan porsi makanan gratis setiap hari. Makanan tersebut diperuntukkan untuk staf kantor Kekhilafahan, ulama, pelajar, dan orang-orang yang tidak mampu. Prinsipnya makanan harus halal, tayib, adil, dan tidak menimbulkan stigma.[]

Posting Komentar

0 Komentar