NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Proyek kereta cepat Whoosh, diluncurkan pada Oktober 2023, semula dielu-elukan sebagai lambang kemajuan teknologi dan transportasi Indonesia. Namun dua tahun berselang, sorotan publik bergeser: dari kecepatan kereta menuju kecepatan menumpuknya utang. Polemik gagal bayar kini menjadi kritik atas kredibilitas fiskal dan tata kelola infrastruktur nasional.
Menurut Antara News (22/10/2025), total nilai proyek mencapai USD7,26 miliar atau Rp119,8 triliun, naik sekitar USD1,2 miliar dari rencana awal. PT Kereta Cepat Indonesia China (KCIC) mencatat kerugian Rp1,6 triliun pada semester pertama 2025. Pendapatan tiket tak mampu menutupi biaya operasional dan bunga utang. Tahun 2024, jumlah penumpang sekitar 6 juta orang dengan tarif rata-rata Rp250 ribu, menghasilkan pendapatan kotor Rp1,5 triliun—jauh di bawah bunga pinjaman sekitar Rp2 triliun per tahun menurut laporan Okezone Ekonomi (25 Agustus 2025).
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa, dalam rapat Danantara pada 16 Oktober 2025, dilansir dari Liputan6 Bisnis (17/10/2025), menegaskan APBN tidak akan digunakan untuk membayar utang Whoosh. Tanggung jawab sepenuhnya berada di Holding Danantara Indonesia, yang mengelola dividen BUMN sekitar Rp80–90 triliun per tahun. “Jangan kalau enak swasta, kalau tidak enak pemerintah,” ujarnya (detik.com, 18/10/2025). Sikap ini menjaga disiplin fiskal, tapi menimbulkan pertanyaan: mampukah Danantara membayar tanpa menyeret keuangan negara?
Hingga akhir Oktober 2025, belum ada laporan resmi tentang struktur utang maupun skema restrukturisasi. IDN Financials (19/10/2025) menyebut, Kementerian Keuangan bahkan belum menerima laporan formal dari Danantara. Ketertutupan ini menimbulkan moral hazard—proyek diklaim B2B, tetapi bila gagal bisa dibebankan ke pemerintah.
Komisi V DPR RI melalui Jabar Ekspres (21/10/2025) meminta audit forensik, menilai pembengkakan biaya dan lemahnya proyeksi pendapatan sebagai bukti salah urus. Mantan Menko Polhukam Mahfud MD kepada Suara Merdeka Jakarta (23/10/2025) juga menyoroti minimnya transparansi kontrak Indonesia–Tiongkok. Publik tak tahu bagaimana pembagian risiko utang diatur, memperkuat dugaan proyek ini berjalan dalam kabut informasi.
Lebih jauh, struktur pembiayaan Whoosh menyerupai pola jebakan utang (debt trap) Tiongkok. Inilah.com (20/10/2024) mencatat bahwa pinjaman besar dari China Development Bank berisiko menekan Indonesia jika gagal bayar. Dalam skema semacam ini, kegagalan membayar utang dapat berujung pada pengalihan aset strategis—seperti pelabuhan Hambantota di Sri Lanka.
Relasi penguasa dan pengusaha juga memperkeruh situasi. KBA News (22/10/2024), menyoroti dugaan mark-up biaya dan tender yang tidak transparan. Biaya per kilometer proyek jauh di atas standar internasional, sedangkan isi kontrak tidak pernah dipublikasikan. Seorang pejabat bahkan menyebut “proyek ini sudah busuk sejak awal”, dikutip dari Suara Merdeka Jakarta, (23/10/2024). Lemahnya kontrol dan konflik kepentingan membuat proyek strategis berubah menjadi beban publik.
Dampaknya bukan hanya fiskal. Bila gagal bayar, risiko penjaminan utang dapat menekan APBN, mengurangi ruang fiskal untuk pendidikan, kesehatan, dan subsidi publik. SindoNews (21/10/2024) memperingatkan reputasi investasi Indonesia bisa terguncang karena lemahnya manajemen proyek besar. Sementara itu, manfaat sosialnya belum terasa luas—tiket mahal dan akses terbatas membuat rakyat kecil hanya menjadi penonton kemegahan proyek.
Namun, ancaman nyata bagi rakyat Indonesia bukan hanya soal angka, melainkan dampak sosial dan moral yang menyertainya. Pertama, ancaman kemiskinan struktural. Ketika utang luar negeri menumpuk dan proyek gagal bayar, pemerintah akan menutup defisit dengan pajak baru atau pemotongan subsidi. Harga kebutuhan pokok naik, daya beli menurun, dan rakyat miskin menanggung beban pembangunan yang tidak mereka nikmati.
Kedua, ancaman kedaulatan ekonomi. Ketergantungan pada pinjaman asing membuat kebijakan nasional rentan ditekan kepentingan luar. Bila aset strategis dijadikan jaminan, bangsa kehilangan kendali atas infrastrukturnya sendiri. Ketiga, ancaman moral dan keadilan sosial. Ketika proyek besar dijalankan dengan ketertutupan, korupsi, dan kolusi, maka hilanglah nilai amanah dan tanggung jawab publik. Rakyat kehilangan kepercayaan terhadap pemimpinnya.
Dari sudut pandang Islam, krisis ini bukan sekadar kegagalan ekonomi, melainkan ujian amanah dan keadilan. Islam menolak praktik riba, utang berlebihan, serta pembangunan yang menzalimi rakyat. Dalam Al-Qur’an (Surah Al-Baqarah Ayat 279), Allah memperingatkan, “Jika kamu tidak meninggalkan sisa riba, maka ketahuilah bahwa Allah dan Rasul-Nya akan memerangimu.” Prinsip ini menegaskan bahwa pembangunan harus bebas dari beban bunga dan spekulasi yang menjerat bangsa.
Islam menekankan tanggung jawab sosial negara: pemimpin adalah pelayan umat (sayyidul qaumi khadimuhum). Setiap proyek publik harus berpijak pada keadilan, keterbukaan, dan maslahat umum. Dalam konsep ekonomi Islam, investasi negara seharusnya dibiayai dengan mekanisme bagi hasil atau dana publik tanpa bunga—bukan pinjaman yang menjerat generasi.
Proyek Whoosh menjadi cermin: di satu sisi ia menunjukkan ambisi besar bangsa, di sisi lain membuka luka lama soal utang, korupsi, dan ketimpangan. Jika tak segera dibenahi, proyek ini bisa berubah dari simbol kemajuan menjadi simbol pengkhianatan terhadap amanah rakyat.
Kecepatan kereta bukan ukuran kemajuan bangsa. Ukurannya adalah seberapa cepat pemimpin mengembalikan arah pembangunan pada nilai keadilan, tanggung jawab, dan keberpihakan pada rakyat—sebagaimana diajarkan Islam. Hanya dengan itulah rel pembangunan Indonesia benar-benar menuju kemaslahatan, bukan menuju jurang utang. Wallahualam.[]

0 Komentar