Whoosh: Pembangunan Tanpa Orientasi Rakyat Melahirkan Masalah

 



Ruruh Hapsari



#Wacana — Dilansir dari Kompas.com, Purbaya sang Menteri Keuangan menolak untuk membayar tunggakan Proyek kereta Cepat dengan dana APBN. Menurutnya, pemerintah tidak lagi menerima deviden dari BUMN karena sudah dialihkan kepada Badan Pengelola Investasi Danantara (15/10/2025). Sehingga Pendapatan Negara Bukan Pajak (PNBP) terancam berkurang sebesar Rp80 triliun yang pada tahun 2025 PNBP mempunyai target mencapai Rp513,6 triliun.



Ia menyatakan bahwa penolakan pembayaran proyek Kereta Api Cepat ini sudah disampaikan kepada CEO Danantara, Rosan Roeslani. Purbaya juga menyatakan bahwa Danantara telah menerima deviden dari BUMN sebanyak Rp90 triliun dan menurutnya cukup untuk membayar utang kereta cepat sebanyak Rp2 triliun tiap tahunnya. 



Penolakan Bayar Utang



Sikap yang sama pun terlihat saat Ignasius Jonan menjabat sebagai Menteri Perhubungan. Jonan sejak awal konsisten menolak menggunakan uang APBN untuk membayar Proyek Strategis Nasional tersebut. Selain Jonan, langkah menteri keuangan itu juga didukung oleh mantan Menko Polhukam, Mahfud MD. Ia menyatakan bahwa sangat tepat untuk menyelamatkan uang negara yang selama ini proyek warisan era Jokowi telah membebani keuangan negara. 



Mahfud juga melihat banyak kejanggalan yang serius dalam proyek itu, pasalnya dengan membangun proyek Kereta Api Cepat tersebut justru pembangunan yang berorientasi pada rakyat, banyak yang dihilangkan (suara.com, 16/10/2025). Selain itu, ia juga menduga adanya permainan harga (mark up) yang berjalan tidak wajar dengan adanya perbedaan perhitungan dari pihak China dan dinaikkan berkali lipat di Indonesia. 



Tidak hanya itu, Mahfud sendiri mengkhawatirkan bila Indonesia sudah terjerat dengan diplomasi utang negeri Tirai Bambu. Tak jarang pihak China meminta kompensasi strategis jika terdapat kegagalan pembayaran utang. Berkaca pada Srilangka yang harus merelakan pelabuhannya sebagai kompensasi atas utang yang menjeratnya. Sehingga bukan hal yang aneh bila Mahfud mengkhawatirkan Natuna Utara sebagai wilayah yang sedang berkonflik sekaligus strategis akan dijadikan kompensasi apabila utang yang selangit tersebut gagal dibayarkan. Bukan hanya itu, ia juga mengkhawatirkan bila China akhirnya membangun pangkalan militer di Natuna. 



Pembangunan Proyek Strategis



Pada kenyataannya, pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta–Bandung memang bukan merupakan hal yang mendesak, karena notabene transportasi antara kedua kota ini sudah terpenuhi. Untuk transportasi darat saja sudah ada kereta api reguler, bus, travel pun kendaraan pribadi.



Namun, Jokowi menggangap perlu untuk membangun proyek hasil kerja sama yang awalnya bussines to bussines antara China 40% dan Indonesia 60% dengan biaya awal Rp84 trliun kemudian membengkak menjadi Rp118 triliun. Nilai proyek ambisius yang besar ini bersumber dari dana utang China Development Bank dengan bunga 3,3 persen. 



Pembayaran bunga proyek ini per tahun mencapai Rp2 triliun padahal pendapatan paling tinggi dari tiket Woosh adalah Rp1,5 triliun per tahun. Dari sini sumber dari operasional saja jelas tidak bisa menutupi pembayaran utang. Luhut sendiri membenarkan banyak proyek transportasi publik seperti KCIC, MRT juga LRT untuk membayar proyeknya sendiri saja tidak memenuhi dari penjualan tiket. Sehingga harus ada subsidi dari pemerintah ataupun bisnis lainnya. 



Ichsanuddin Noorsy saat memberikan tanggapannya pada program Rakyat Bersuara di Inews, menyatakan bahwa investasi asing dan pinjaman luar negeri pada hakekatnya adalah menggadaikan keberadan negara kepada asing. Ia juga menyatakan bahwa keberadaan Woosh walaupun Purbaya tidak ingin membayar dengan anggaran APBN, tapi sebenarnya Danantara pun membayarnya dari deviden BUMN, yang artinya masyarakat banyak yang menanggung pembayaran utang tersebut. 



Pembangunan yang Berorientasi Rakyat



Pada awal pembangunannya apabila hanya berlandaskan untuk menancapkan sebuah capaian tanpa kepentingan yang berarti untuk rakyat adalah sebuah kesia-siaan dan lebih lagi merupakan sebuah kerugian. Karena keberadaan negara dan penguasa bukan untuk menancapkan capaian tapi untuk memelihara urusan rakyatnya. Ditambah lagi capaian tersebut adalah merupakan proyek jumbo yang memakan nilai fantastis dengan uang hasil pinjaman luar negeri, maka jelas akan menjadi masalah besar dikemudian hari. 



Padahal dalam kitab Daulah Islamiyah tulisan al ‘Allamah Syekh Taqiyudddin An-Nabhani menyatakan bahwa negara dibentuk dari iman dan ketakwaan penduduknya serta keterikatan mereka terhadap aturan Yang Maha Kuasa, karena hanya Allah Swt. Sang Pengatur termasuk yang mengatur tata aturan bernegara. Sedang pembangunan infrastruktur negara menjadi nomor kesekian setelah pembangunan iman dalam negeri dirasa aman dan tidak ada lagi yang harus dikhawatirkan. 



Kemudian dalam hal menjaga persatuan, keamanan, dan stabilitas negara Syekh juga menyatakan dalam kitabnya Sistem Pemerintahan Islam, bahwa negara setiap saat harus dalam keadaan siaga untuk menyerang dan diserang musuh. Hal ini menandakan bahwa kondisi dalam negeri selain iman dan takwa yang dibangun, penguasa juga membangun ketahanan negara yang mapan. Mulai dari industri perang, pendidikan militer, hingga hal lain yang mendukungnya.



Sehingga negara yang berlandaskan Islam jelas tidak dengan mudahnya mengajak asing untuk masuk dan bekerjasama apalagi hingga mengikat dan memberikan kompensasi yang sangat merugikan kedaulatan negeri dan warga negara. Sayangnya, saat ini justru pengaturan kenegaraan alternatif versi Islam justru dibuang dan dianggap negatif. Padahal dengan kembalinya kaum muslimin kepada aturan syariat justru kesejahteraan dan rahmat-Nya akan hadir. Wallahualam.[]




Posting Komentar

0 Komentar