Gaza Memanggil Umat untuk Membebaskannya!

 



#FOKUS Gencatan senjata yang ditandatangani 10 Oktober lalu tidak menghapus penderitaan rakyat Gaza. Warga Gaza sebagian besar masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Memasuki musim dingin, badai dan banjir menerpa tenda-tenda mereka. Badan PBB untuk Pengungsi Palestina di Timur Dekat (UNRWA) mengatakan, hujan yang mengguyur Jalur Gaza memperburuk situasi yang sudah sangat mengkhawatirkan di wilayah tersebut.

Sejumlah tenda sobek dan roboh membuat keluarga para pengungsi tidak memiliki perlindungan. Kantor Media Pemerintah Gaza memperkirakan sekitar 93% tenda pengungsian sudah tidak layak huni, yaitu sekitar 125.000 dari total 135.000 tenda. Berdasarkan keterangan dari UNRWA, bahan bangunan untuk pengungsian dan perlengkapan musim dingin bagi keluarga pengungsi Palestina sebenarnya tersedia di gudang-gudang UNRWA di Yordania dan Mesir. Namun, lagi-lagi pengirimannya tertahan karena Zion*s memblokir jalur-jalur pengiriman.

Keluarga-keluarga pengungsi juga menghadapi keterbatasan bahan kebutuhan dasar. Mereka kesulitan mendapatkan bahan pokok serta layanan penting di tengah blokade. Sedikitnya 260 warga Palestina tewas dan lebih dari 630 lainnya mengalami luka-luka sejak gencatan senjata dimulai pada Oktober lalu.

Akar Masalah Palestina Adalah Penjajahan

Krisis kemanusiaan yang terus memburuk di Gaza menunjukkan dengan jelas bahwa gencatan senjata bukanlah solusi. Ini karena akar masalahnya adalah penjajahan di wilayah itu oleh Zion*s Yahudi yang didukung oleh negara-negara Barat.

Syekh Taqiyuddin an-Nabhani dalam Kitab Mafahim Siyasiyah di bab “Masalah Timur Tengah” menggambarkan akar masalah penjajahan di Palestina. Secara garis besar dijelaskan bahwa Barat ingin menguasa Timur Tengah karena beberapa potensi strategis. Potensi itu terkait dengan Islam dan bahayanya bagi Barat, letak Timur Tengah yang strategis, Yahudi yang menjadi garis terdepan bagi pertahanan negara-negara Barat, serta kekayaan alam yang melimpah di wilayah itu, terutama minyak.

Untuk mencapai tujuannya, Barat membuat instabilitas di wilayah itu dengan mewujudkan entitas Yahudi melalui inisiasi Inggris, kemudian dilanjutkan Amerika. Kala itu (1917) Inggris menetapkan perjanjian Balfour yang isinya Inggris menjanjikan kepada Yahudi untuk dapat menduduki Palestina dan mendirikan negara di sana.

Setelah Perang Dunia I yang diikuti runtuhnya Negara Khilafah, Barat kemudian mendirikan Liga Bangsa-Bangsa (LBB) yang merupakan cikal bakal Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB). Salah satu tugas LBB adalah memecah negeri-negeri (bekas wilayah) Khilafah Utsmani menjadi negara bangsa seperti Yordania, Lebanon, Arab Saudi, Suriah, dan lainnya, melalui ”mandat” bagi Dunia Arab yang dikuasakan kepada Inggris dan Prancis.

Dengan sistem mandat ini Inggris dan Prancis mendapatkan kontrol yang mereka inginkan di Timur Tengah hingga berakhirnya Perang Dunia II yang melahirkan negara adidaya baru Amerika Serikat. Usai PD II PBB memutuskan pembagian daerah Palestina melalui resolusi nomor 181 pada 29 November 1947 yang membagi Palestina menjadi dua, yaitu wilayah Palestina dan Yahudi penjajah. Dengan itu Barat berhasil mencangkokkan organ asing di tengah kaum muslim yang memorakporandakan kesatuan mereka.

Timur Tengah yang dulunya bersatu, kini tersekat-sekat dengan negara bangsa. Penguasa yang ada di wilayah itu berkuasa bukan karena kehendak rakyat tetapi sengaja dibentuk oleh negara-negara Barat penjajah dan dijadikan antek-antek mereka untuk melestarikan penjajahan.

Sementara itu, rakyat Palestina sejak wilayahnya diduduki oleh entitas Yahudi selalu melakukan perlawanan. Pada April 1936 warga Palestina melakukan mogok masal, tetapi dibalas oleh Inggris dengan penindasan. Pada 1948 terjadi Nakba dan rakyat Palestina tetap melawan dengan gagah berani. Pada 1987 muslim Palestina melakukan intifada pertama. Selanjutnya pada 2000 terjadi intifada kedua.

Thufan al-Aqsapada 7 Oktober 2023 adalah salah satu bentuk perlawanan Gaza dan berhasil meluluhlantakkan entitas Yahudi. Namun, Yahudi pengecut membalas serangan itu dengan brutal, melakukan genosida, menghancurkan rumah-rumah penduduk, fasilitas umum, rumah sakit, dan sekolah. Mereka memblokade bantuan yang masuk hingga membuat rakyat Palestina mengalami penderitaan luar biasa. Meski demikian, perlawanan Hamas terus berlanjut hingga menimbulkan kerugian besar di pihak entitas Yahudi.

Gencatan Senjata Melanggengkan Penjajahan

Perang yang berkelanjutan membuat Amerika Serikat merancang gencatan senjata yang dinarasikan sebagai langkah awal menuju perdamaian yang kuat dan kekal. Namun faktanya, gencatan senjata tidak lebih sebagai sarana untuk melumpuhkan perlawanan sehingga genosida leluasa dijalankan.

Ini terbukti, meski dalam poin kesepakatan gencatan senjata disepakati bahwa bantuan untuk Gaza akan dibuka, minimal sesuai dengan yang tercantum dalam perjanjian 19 Januari 2025 mengenai bantuan kemanusiaan, nyatanya tidak terealisasi. Bantuan, termasuk rehabilitasi infrastruktur (air, listrik, dan pembuangan limbah), rehabilitasi rumah sakit dan toko roti, serta pengadaan peralatan yang diperlukan untuk membersihkan puing-puing dan membuka jalan, hanya tertulis di atas kertas, tidak mewujud dalam realitas.

Zion*s pun terus melanjutkan genosida dan menutup akses pengiriman bantuan sehingga menyebabkan rakyat Palestina makin menderita. Bantuan telah tersedia, tetapi tidak bisa masuk ke Palestina karena blokade. Sejatinya gencatan senjata yang ditindaklanjuti dengan KTT Sharm El-Sheikh (13-10-2025) adalah bagian dari proyek Amerika yang lebih luas untuk menata ulang penjajahan di Palestina, mengintegrasikan entitas Yahudi ke dalamnya, dan menghilangkan masalah Palestina melalui proses politik yang dibuat-buat setelah melemahkan rakyat Gaza dengan perang dan blokade.

Dominasi AS dalam Opini Global

Dunia internasional sering kali melihat Gaza melalui narasi yang dikendalikan Amerika Serikat. Ketika media global menyiarkan bahwa kondisi sudah membaik pascagencatan senjata, sejatinya itu merupakan upaya menutup fakta bahwa krisis makin parah.

Dominasi Amerika Serikat dalam membentuk opini global telah membuat banyak pihak menganggap Gaza baik-baik saja. Padahal, warga di lapangan menghadapi kondisi yang makin buruk.

Kegagalan solusi-solusi yang ditawarkan Barat selama puluhan tahun sejak entitas Yahudi menduduki Palestina makin membuktikan bahwa mereka tidak pernah bertujuan menyelesaikan penjajahan ini. Selama akar masalah yaitu penjajahan Zionis tidak dicabut, penderitaan rakyat Palestina akan terus berulang.

Gencatan senjata kerap dinarasikan sebagai jalan keluar, tetapi kenyataannya tidak mengubah apa pun. Blokade tetap diberlakukan, bantuan dibatasi, dan warga Gaza tetap hidup dalam kondisi yang tidak manusiawi.

Oleh karena itu, penderitaan Gaza tidak akan berhenti selama dunia Islam terus bergantung pada solusi-solusi Barat yang rapuh. Solusi yang mereka berikan hanya dimaksudkan untuk melanggengkan penjajahan. Akibatnya rakyat Gaza terus hidup dalam penderitaan yang tidak berkesudahan. Sudah saatnya umat mencari solusi dari keyakinan mereka sendiri.

Mengakhiri Penjajahan

Tidak ada solusi tuntas untuk menyelesaikan masalah Palestina kecuali mengenyahkan penjajah dari bumi yang diberkati itu. Para penguasa muslim seharusnya menyadari bahwa dukungan mereka terhadap solusi yang ditawarkan Barat sama saja mereka sedang mengkhianati perjuangan rakyat Gaza serta mengkhianati Allah dan Rasul-Nya.

Para penguasa itu seharusnya mengetahui bahwa Allah Swt. tidak rida saat mereka memberikan jalan kepada penjajah untuk menguasai kaum muslim. Allah Taala menegaskan dalam firman-Nya, ”Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman.” (TQS An-Nisa [4]:141).

Ayat itu jelas-jelas menegaskan larangan bagi umat Islam untuk memberikan jalan bagi orang kafir menguasai kaum muslim. Juga ada larangan untuk mengambil Yahudi sebagai penolong. “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpinmu.” (QS Al-Maidah [5]:51).

Para penguasa itu seharusnya menolong Gaza dengan mengerahkan kekuatan militer dan tentara untuk melawan entitas Yahudi. Para tentara itu tidak boleh pulang sebelum mereka berhasil mengalahkan penjajah Yahudi dan mengusirnya dari bumi Palestina, atau mereka syahid ketika membela saudaranya. Ini sebagaimana firman Allah Taala, ”Jika mereka meminta pertolongan kepadamu dalam (urusan pembelaan) agama, kamu wajib memberikan pertolongan.” (QS Al-Anfal [7]: 72).

Sejak awal pendudukan, warga Gaza sudah melakukan perlawanan sekuat tenaga melawan entitas Yahudi. Hanya saja, kekuatan mereka tidak seimbang dengan kekuatan penjajah sehingga belum cukup untuk mengantarkan kepada kemenangan. Sementara itu, para penguasa negeri muslim hanya diam tidak menolongnya.

Hal ini seharusnya menyadarkan kaum muslim akan kebutuhan terhadap Khilafah yang telah lama runtuh. Khilafah adalah institusi politik yang merupakan perisai bagi seluruh umat Islam. Rasulullah saw. bersabda, “Sesungguhnya imam (khalifah) adalah junnah (perisai), orang-orang berperang di belakangnya dan berlindung kepadanya.” (HR Muslim).

Khilafah bukan sekadar struktur pemerintahan, tetapi mekanisme nyata yang akan menghapus segala bentuk penjajahan atas warganya. Dengan kekuatan militer yang terpusat, kebijakan luar negeri yang independen, dan persatuan wilayah muslim, Khilafah akan mampu menolak dominasi kekuatan global dan melindungi nyawa kaum muslim di mana pun mereka terancam, termasuk Gaza.

Khilafah Harus Diperjuangkan

Namun, Khilafah tidak akan hadir begitu saja. Ia harus diperjuangkan dan terus disuarakan dengan lantang tanpa lelah melalui dakwah Islam ideologis. Yaitu dakwah yang menjelaskan bahwa Islam bukan hanya ajaran ritual, melainkan sistem kehidupan lengkap yang mencakup politik, ekonomi, pertahanan, dan hubungan internasional. Tugas dakwah ideologis adalah menyeru umat kepada penerapan Islam secara kafah di bawah naungan negara Khilafah.

Pengemban dakwah ideologis yang memperjuangkan tegaknya din Islam akan menjadi golongan yang mendapat pujian Rasulullah saw., “Akan senantiasa ada sekelompok dari umatku yang tegak di atas perintah Allah. Tidak membahayakan mereka siapa pun yang mencela mereka, atau menyelisihi mereka, hingga tiba keputusan Allah dan mereka meraih kemenangan atas manusia.” (HR Muttafaqun ’alaihi).

Dengan persatuan di bawah naungan Khilafah, umat Islam akan menjadi kuat. Dengan kekuatan itulah penjajah bisa dienyahkan dari bumi Palestina dengan jihad. Sejarah telah membuktikan, sepanjang Khilafah tegak, bumi Palestina selalu terlindungi. Ada Khalifah Umar bin Khaththab yang menaklukkan Palestina, ada Shalahuddin al-Ayyubi yang merebut kembali Palestina dari Tentara Salib, dan ada Sultan Hamid II yang tidak mau melepaskan sejengkal pun tanah Palestina untuk Yahudi. Mereka semua menunaikan amanah Allah untuk menjaga bumi Palestina yang diberkahi dari tangan-tangan penjajah yang akan merebutnya.

Sedangkan kita adalah bagian dari umat yang dipanggil Allah untuk menolong mereka dan membebaskan Baitulmaqdis. Semestinya kita malu dengan anak-anak Palestina. Mereka lahir di bawah dentuman bom, hidup dengan atap langit, dan tidak ada persediaan makanan, tetapi mereka tetap teguh mempertahankan Palestina. Mereka tahu janji Allah lebih kuat dibandingkan gedung-gedung yang runtuh.

Gaza tengah memanggil dengan seruan, “Ainal muslimun? Sedangkan kita hanya diam tidak melakukan apa-apa, maka setiap teriakan, tangisan, dan darah. Mereka akan meminta pertanggungjawaban di hadapan Allah Swt. karena diamnya kita.

Saudaraku, mereka telah membayar dengan darah mereka, kini giliran kita untuk terus berjuang tanpa lelah, bekerja keras untuk menegakkan kembali Khilafah ’ala minhaj an-nubuwwah. Hanya dengan Khilafah umat ini akan kembali memiliki pelindung yang akan membebaskan Palestina, Kashmir, Sudan, dan seluruh wilayah Islam yang ada di bawah kekuasaan penjajah.

Allah Taala berfirman, ”Pada hari kemenangan itu bergembiralah orang-orang mukmin karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.” (TQS Ar-Rum [30]: 45).

Posting Komentar

0 Komentar