#SuaraMuslimah —
Pengesahan UU KUHAP terbaru pada 18 November 2025 memunculkan banyak
kegelisahan di tengah masyarakat, terutama di kalangan muslimah yang peduli terhadap
keadilan dan perlindungan hak-hak warga. Sejumlah pasal dianggap memberi
kewenangan yang sangat luas kepada aparat penegak hukum, membuka ruang
subjektivitas, dan berpotensi menekan aktivitas dakwah serta kritik terhadap
penguasa. Untuk memahami hal ini dari perspektif Islam, Muslimah Jakarta
Official mewawancarai seorang tokoh muslimah Jakarta, Khairina Wulansari,
S.P. Berikut rangkuman tanya jawab kami.
Q: Dalam perspektif Islam,
bagaimana Ibu menilai pasal-pasal UU KUHAP yang memberi kewenangan besar kepada
aparat penegak hukum?
A: Pada dasarnya, sebuah
UU atau aturan dibuat untuk mengontrol dan mengatur kehidupan masyarakat dan
negara. Peran negara dalam hal ini adalah memastikan bahwa aturan yang dibuat
adalah semata untuk melindungi keamanan rakyat.
Hanya saja, dalam UU KUHAP
yang baru saja disahkan pada 18 November 2025 ini ternyata masih mengandung
banyak pertanyaan besar apakah UU ini disahkan untuk melindungi rakyat atau
melindungi kepentingan elite politik? Karena banyak sekali pasal-pasal yang
dianggap karet, yang justru menunjukkan bahwa pengesahan UU KUHAP ini bukan
untuk melindungi rakyat, bahkan banyak pengamat yang mengatakan bahwa aturan
ini akan mampu membungkam aktivitas muhasabah lil hukam.
Sebagai contoh, dalam
Pasal 5 dinyatakan bahwa aparat keamanan boleh menangkap seseorang yang
dilaporkan melakukan tindak pidana walaupun belum terkonfirmasi apakah terbukti
melakukan tindak pidana atau tidak. Pasal ini memberikan potensi bahwa
kewenangan kepolisian akan makin luas bahkan melewati pengadilan.
Dalam Pasal 89 dinyatakan
bahwa aparat kepolisian berhak melakukan upaya paksa penetapan tersangka,
penahanan, penggeledahan, penyitaan, penyadapan dan pemblokiran. Padahal di UU
No. 8/891 diatur bahwa tindakan tersebut harus meminta izin pengadilan negeri.
Termasuk pasal-pasal lain
yang mengatur perbuatan yang dapat menimbulkan kebencian dan permusuhan
berdasarkan agama atau kepercayaan, dan pelarangan penyebaran paham yang
dianggap bertentangan dengan Pancasila yang bisa membatasi bahkan
mengkriminalkan aktivitas dakwah Islam.
Semua pasal kontroversial
tersebut dilakukan sesuai subjektivitas aparat keamanan. Frase "upaya
paksa" atau "paham yang dianggap bertentangan dengan pancasila",
ini bisa sangat subjektif dan berpeluang terjadi penafsiran semena-mena yang
mengancam hak-hak keamanan warga.
Q: Bagaimana prinsip
pembatasan kekuasaan dan pengawasan publik dalam sejarah Islam (Khilafah) bisa
diterapkan untuk menilai UU KUHAP di Indonesia saat ini?
A: Konsep dasar sistem
pidana dan peradilan Islam menjunjung hak setiap warga negara. Negara termasuk
aparat keamanan dan pengadilan bukanlah lembaga superbodi yang bebas menindak
warga, apalagi hanya berdasarkan prasangka. Atau dugaan yang subjektif.
Ketika negara melakukan
pelanggaran terhadap hak warga, maka negara berkewajiban memberikan kompensasi
sesuai syariat Islam, seperti membayar diyat atas kesalahan vonis yang
dijatuhkan.
Begitupula dalam Islam
tidak ada privillege untuk aparat penegak hukum. Mereka bisa diseret ke
pengadilan, disita hartanya, bahkan diberhentikan dan dijatuhi sanksi pidana
bila terbukti melanggar hukum.
Sayangnya, pasal-pasal
karet yang ada di UU KUHAP ini justru memberikan kewenangan yang sangat besar
kepada aparat kepolisian yang menjadikan mereka over power, over
regulation dan bisa mengarah pada police state.
Selain itu, kewenangan
aparat kepolisian yang besar ini memiliki potensi untuk dimanfaatkan oleh
negara/penguasa dalam rangka menjaga status quo. Dengan kata lain,
polisi adalah alat untuk melegitimasi kekuasaan negara.
Q: Apakah UU KUHAP sudah
selaras dengan prinsip maqāṣid al-syariah: perlindungan jiwa,
kehormatan, harta, dan kebebasan warga?
A: Secara substansi,
adanya negara adalah untuk mengurus rakyat, memelihara urusan rakyat, dan dalam
rangka mewujudkan kesejahteraan mereka. Negara memiliki fungsi untuk melindungi
rakyat; baik melindungi harta, kehormatan, dan jiwa.
Sayangnya, sistem
kapitalisme hari ini tidak dirancang untuk itu. Aturan yang lahir dari sistem
kapitalisme justru merampas harta, kehormatan bahkan jiwa rakyatnya. Banyak
aturan yang lahir malah menyengsarakan rakyatnya.
Termasuk lahirnya UU KUHAP
ini, pemerintah berkilah bahwa UU KUHAP ini dibuat untuk mengatasi kriminalitas
yang makin meningkat. Apakah benar demikian?
Kita bisa lihat dari
pendekatan yang digunakan oleh negara dalam mengatasi kriminalitas adalah
apakah dengan security approach, atau prosperity approach.
Ketika negara menggunakan security
approach, maka aturan yang lahir akan menekankan pada pendekatan yang keras
dan berpihak kepada penguasa. Lalu, memberikan kewenangan yang besar kepada
aparat kepolisian. Maka UU yang dilahirkan isinya hanya sebatas tentang
bagaimana mengatur penangkapan, kewenangan penyidik, proses penyelidikan,
penyadapan, pemblokiran, dll. Tanpa melihat apa akar masalah masyarakat
melakukan kriminalitas.
Sebaliknya, ketika
pendekatan yang dilakukan negara untuk mengatasi kriminalitas adalah prosperity
approach, maka UU yang dibuat adalah bagaimana fokus menyejahterakan
rakyat. Karena ketika masyarakat sejahtera, maka peluang untuk melakukan
kriminalitas akan makin sedikit.
Faktanya, jika umat belum
sejahtera, kemudian dilakukan pendekatan hukum/keamanan, maka akan makin
menyiksa rakyat. Istilahnya rakyat sedang kesulitan, entah sulit secara ekonomi
atau yang lain, malah dihukum dengan keras. Jelas ini sebuah kezaliman.
Q: Dari perspektif Islam,
apa solusi agar hukum acara pidana tetap adil dan tidak digunakan untuk menekan
rakyat?
A: Dalam Islam, sebelum
ada vonis pidana yang tegas, ada mekanisme pembuktian yang harus ditempuh oleh
para hakim. Tanpa bukti dan saksi maka seseorang tidak boleh dijadikan
terpidana. Termasuk tidak diperkenankan bagi aparat penegak hukum memenjarakan
seorang tersangka sebelum ada putusan pengadilan.
Ada sejumlah aturan hukum
yang ditetapkan Al-Qur'an dan Sunah sebagai upaya menciptakan keamanan dan
penegakkan hukum, di antaranya:
1. Islam melarang tindakan
negara termasuk aparat hukum memata-matai warga, seperti melakukan penyadapan
adalah haram walaupun dengan alasan mencegah kejahatan atau melakukan operasi
tangkap tangan.
2. Islam menetapkan bahwa
hukum asal sesorang adalah terbebas dari kesalahan (al ashlu baro'ah adz
dzimmah), sehingga seseorang tidak bisa dijadikan tersangka tanpa
pembuktian yang sesuai syariat Islam.
3. Proses pembuktian
tersebut harus dilakukan di pengadilan yang ditangani oleh qadhi
(hakim). Tugas kepolisian hanyalah menjaga keamanan dan melindungi warga, bukan
menetapkan seseorang sebagai tersangka.
4. Pada dasarnya setiap
muslim maupun kafir dzimmi sebagai warga negara dalam sistem Islam,
terlindungi harta, kehormatan, dan jiwanya. Siapa pun termasuk negara tidak
boleh melanggarnya sampai kemudian terbukti di pengadilan.
5. Dalam sistem peradilan
Islam, para qadhi diperintahkan untuk membebaskan tersangka bila bukti
dan kesaksiannya meragukan.
Q: Bagaimana masyarakat
sipil dan ulama dapat berperan agar KUHAP berjalan sesuai prinsip keadilan
Islam dan tidak disalahgunakan?
A: Dalam Islam ada
kewajiban amar makruf nahi mungkar yang akan menjadi catatan amal salih ketika
dilakukan dengan benar sesuai syariat-Nya.
Aktivitas amar makruf nahi
mungkar harus dilakukan oleh siapa pun,
termasuk oleh negara, agar kehidupan bisa berjalan dengan lancar. Islam tidak
akan berkembang pesat dan menjadi menjadi peradaban yang gemilang ketika tidak
ada aktivitas ini.
Maka, sudah menjadi
kewajiban seluruh elemen rakyat untuk memahami bahaya dari UU KUHAP ini dan
menyebarluaskannya kepada masyarakat sehingga terbentuk opini umum di tengah
warga untuk melakukan amar makruf nahi mungkar agar UU KUHAP ini dihapuskan dan
diganti dengan sistem peradilan Islam yang sudah jelas akan membawa keberkahan
karena aturannya langsung berasal dari Allah Swt. Wallāhu a’lam bish-shawāb.[]

0 Komentar