Remaja Korban Bullying Makin Membahayakan

 



 

Annisa Suciningtyas

 

#Wacana Kasus bullying atau perundungan hingga kini masih menjadi persoalan yang belum tertangani dengan tuntas. Berbagai bentuk kekerasan yang menyertainya pun terus menambah daftar panjang masalah yang dihadapi oleh generasi saat ini.

 

Baru-baru ini, seorang santri di Aceh Besar ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus terbakarnya asrama pondok pesantren. Pemicunya lantaran karena rasa sakit hati akibat kerap menjadi korban bullying dari teman-temannya. (Kumparan, November 2025). Kasus yang sama juga terjadi di SMAN 72 Kelapa Gading, Jakarta Utara. Beredar informasi bahwa pelaku ledakan di sekolah tersebut diduga pernah mengalami bullying. Hingga saat ini pihak kepolisian menyatakan masih akan menyelidiki lebih jauh terkait dugaan bahwa pelaku sebenarnya korban bullying. (Kumparan, November 2025)

 

Merebaknya perundungan seakan sebuah ancaman serius yang menggerogoti dunia pendidikan. Terlebih kasus perundungan kini tidak melulu soal kekerasan fisik atau verbal yang tampak. Dapat juga muncul dalam bentuk tekanan yang lebih terselubung, seperti pengasingan sosial, ejekan melalui media sosial, hingga tekanan psikologis yang sulit dibuktikan secara langsung. Dengan kata lain, meskipun suasana sekolah, pesantren, atau kampus tampak tenang, bisa saja terdapat budaya kekerasan yang tersembunyi di dalamnya.

 

Gangguan mental pun kerap dialami oleh korban perundungan, seperti kecemasan berlebih, depresi, hingga hilangnya rasa percaya diri. Situasi ini kerap memicu munculnya pikiran untuk mengakhiri hidup, terlebih korban menganggap itu sebagai jalan paling masuk akal untuk lepas dari beban berat yang mereka rasakan.

 

Banyak faktor yang membuat bullying atau perundungan kian menjamur  di lingkungan pendidikan. Salah satu yang paling menonjol adalah peran media sosial. Banyak penelitian menunjukkan adanya keterkaitan kuat antara intensitas penggunaan media sosial dengan meningkatnya kasus bullying dan bentuk kekerasan lain di kalangan remaja. Platform yang seharusnya berfungsi sebagai sarana edukasi itu justru sering berubah menjadi tempat lahirnya kekerasan verbal.

 

Belum lagi dampak sekularisme yang membuat lunturnya rasa empati di tengah masyarakat, sehingga korban perundungan merasa sendiri menanggung beban mental akibat di-bully. Mereka tidak berani bersuara soal apa yang menimpa dirinya kepada orang lain. Namun, korban juga ingin membuktikan bahwa dirinya tidak selemah yang dikira pelaku bullying. Oleh karena itu, mereka lalu mencari inspirasi melalui media sosial yang bisa mengakomodasi eksistensi dirinya.

 

Lebih tragis lagi, korban bullying kadang mencari validasi dari konten-konten gelap di internet. Ada yang jadikan peristiwa kekerasan sebagai inspirasi pelampiasan. Akhirnya lahirlah tindakan-tindakan berbahaya yang dulu sulit dibayangkan terjadi oleh anak-anak usia sekolah.

 

Sudah selayaknya dunia pendidikan menjadi sorotan utama dalam persoalan ini. Maraknya kasus bullying beserta berbagai bentuk kekerasan yang menyertainya hanya memperpanjang deretan masalah moral remaja yang terus merosot. Fenomena ini juga berkaitan dengan meningkatnya pergaulan bebas, perilaku menyimpang, budaya kekerasan, hingga gaya hidup hedon yang makin mengakar.

 

Sistem pendidikan negara yang berbasis kapitalisme ini seakan-akan dirancang hanya untuk melayani kepentingan para pemilik modal, dengan fokus utama menghasilkan tenaga kerja terampil berupah rendah, bukan membentuk manusia beradab yang mampu membangun dan memimpin peradaban gemilang. Akibatnya, banyak lulusan yang unggul secara pengetahuan tetapi lemah dalam adab dan moral. Bahkan muncul fenomena individu yang berpendidikan tinggi tapi terlibat dalam tindakan kriminal atau menjadi sumber kerusakan.

 

Fenomena bullying yang kerap berujung pada tindakan bunuh diri atau motif balas dendam korban ke pelaku, sebenarnya dapat diminimalisir dan dihentikan dengan mengganti paradigma pendidikan sekuler menuju pendidikan berlandaskan Islam. Sebab, Islam bukan hanya mengatur ritual ibadah kepada Allah Swt., melainkan juga menyediakan seperangkat aturan lengkap yang bertujuan menjaga dan melindungi generasi dari berbagai bentuk kekerasan dan perilaku menyimpang. Mekanisme itu hadir melalui akidah, syariat, dan sistem sanksi yang diterapkan dalam negara yang menerapkan syariat Islam secara kafah, yaitu Khilafah.

 

Penanaman kurikulum berbasis akidah Islam menjadi kunci dalam membentuk pribadi yang berkarakter islami, yakni memiliki pola pikir dan perilaku yang sejalan dengan ajaran Islam. Pendidikan akidah harus dikenalkan sejak dini sebagai fondasi utama, dan ini merupakan amanah pertama bagi orang tua sebagai pendidik terpenting dalam kehidupan anak. Orang tua perlu menjadi contoh nyata, menunjukkan kepedulian, empati, serta akhlak mulia baik di rumah maupun di masyarakat. Dengan kepribadian Islam yang kuat, para remaja tidak akan mudah terjerumus pada tindakan merusak atau perilaku menyimpang.

 

Masyarakat yang hidup berlandaskan hukum syariat akan berperan sebagai pengawas sosial terhadap perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Hal ini karena Islam memiliki aturan jelas mengenai interaksi sosial dan kewajiban untuk saling mengajak pada kebaikan serta mencegah kemungkaran. Ketika budaya saling menasehati terbentuk, masyarakat pun tidak akan memberi ruang bagi tindakan kekerasan dalam bentuk apa pun. Oleh karena itu, pembiasaan amar makruf nahi mungkar perlu terus dirawat di tengah masyarakat agar nilai kepedulian dan empati antar sesama tetap hidup dan mengakar kuat dalam diri setiap individu.

 

Maka dari itu, Islam mampu melahirkan generasi bertakwa dan beradab dengan pengimplementasian sistem Islam secara kafah. Dengan  cara inilah kasus bullying dapat dicegah dan diantisipasi oleh Islam, sehingga generasi penerus akan tumbuh dengan kepribadian Islam yang khas.[]

 

 

Posting Komentar

0 Komentar