Karina Fitriani Fatimah
#TelaahUtama — Rancangan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) resmi disahkan menjadi UU oleh
Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) pada Rapat Paripurna DPR
RI, Selasa (18/11). Pemerintah memandang pentingnya pembaruan KUHAP lama yang
dikeluarkan pada tahun 1981 guna menutupi segala kekurangannya dalam penegakan
hukum negeri ini. Disebutkan bahwa KUHAP 1981 tidak memiliki sistem peradilan
yang rinci dalam menjamin hak-hak baik tersangka, korban dan saksi serta
norma-norma di dalamnya dianggap tidak lagi kompatibel dengan perkembangan
hukum modern global. Dari sini pemerintah mengklaim bahwa KUHAP yang baru
disahkan akan mampu menyesuaikan kebutuhan sistem peradilan Indonesia bersamaan
dengan penguatan peran advokat sejak awal proses hukum berjalan (rm.id,
21/11/2025).
Hal senada disampaikan
pula oleh peneliti Indikator Politik Indonesia Bawono Kumoro yang menyebutkan
bahwa KUHAP baru menawarkan sejumlah koreksi atas kekurangan yang dimiliki
KUHAP lama. Ia menuturkan KUHAP baru adalah instrumen penting dalam menata ulang
mekanisme praperadilan yang dirancang memperkuat akuntabilitas aparat penegak
hukum (APH). Sehingga tidak benar jika dikatakan bahwa KUHAP baru berpotensi
melanggar hak-hak warga negara (antaranews.com, 21/11/2025).
Berbeda dengan klaim
pemerintah, Koalisi Masyarakat Sipil justru menilai pengesahan KUHAP baru
sebagai bentuk pembangkangan badan legislatif (DPR) terhadap agenda nasional
dalam reformasi Polri. Mereka mencatut beberapa pasal yang disebut memberi
kewenangan luas dan kuasa lebih besar bagi Polri atas perkara tindak pidana.
Sejumlah pasal yang dianggap bermasalah ialah Pasal 5, 7, 8, 16, 74, 90, 93,
105, 112A, 124, 132A, dan 137 (tempo.co, 18/11/2025).
Pada pasal 16 ayat (1)
tentang tata cara penyelidikan misalnya, operasi pembelian terselubung (undercover
buyer) dan penyerahan di bawah pengawasan (controlled delivery)
dimasukkan sebagai investigasi khusus tanpa disertai syarat dan prosedur
kewenangan APH dalam jenis investigasi ini. Oleh karenanya, KUHAP baru memberi
peluang bagi APH untuk menjalankan penyelidikan dengan dua jenis operasi
tersebut pada operasi tindak pidana umum, bukan hanya terbatas pada perkara
narkotika. Pasal tersebut kemudian membuka peluang lebih luas bagi aparat
melakukan penjebakan guna menciptakan rekayasa tindak pidana beserta pelaku
fiktif sesuai kebutuhan APH.
Sedangkan pasal 5 ayat (2)
tentang tata cara penangkapan, memberi ruang bagi penyelidik atas instruksi
penyidik untuk menangkap, memberi larangan meninggalkan tempat, penggeledahan
hingga penahanan tanpa adanya aba-aba dari hakim ataupun konfirmasi adanya
tindak pidana. Hal ini berbeda dengan KUHAP lama yang memberi ruang terbatas
bagi APH untuk melakukan penahanan tanpa persetujuan hakim lebih dahulu. Oleh
karenanya tidak mengherankan jika pasal tersebut melanggar Hak Asasi Manusia
(HAM) warga negara dengan dalih penegakan hukum.
Selain itu pada pasal 93,
99, 105, 112A, 124, dan 132A aparat dapat secara paksa melakukan penggeledahan,
penyitaan, dan penyadapan tanpa seizin hakim. Disebutkan bahwa operasi tersebut
boleh dilakukan oleh APH dalam kondisi “mendesak”, yang tentu saja makna kata
“mendesak” tersebut benar-benar subyektif dan dapat berubah-ubah sewaktu-waktu
sesuai kebutuhan APH. Dari sini jelas, risiko penyalahgunaan kekuasaan aparat
kian besar.
Di sisi lain, pasal 74
membuka peluang untuk dilakukan restorative justice dari sejak awal
tahap penyelidikan. Aturan ini kemudian bisa dengan mudah disalahgunakan karena
dapat menutup kasus secara paksa dengan dalih perkara pidana diselesaikan
secara “kekeluargaan”. Celakanya, kondisi tersebut bisa memudahkan APH untuk
memeras calon tersangka bahkan sebelum ada kepastian bahwa tindak pidana
benar-benar terjadi.
Pasal-pasal kontroversial
lainnya terkait dengan penyadapan dan pemblokiran rekening yang dimuat dalam
pasal 136 dan 140. Keberadaan kedua pasal tersebut dalam KUHAP baru memungkinan
APH melanggar privasi warga negara dengan dalih investigasi hukum. Sekalipun
pihak DPR menyebutkan bahwa dalam pelaksanaan pasal terkait penyadapan akan
diatur lebih lanjut dalam UU, tidak ada kepastian hukum dalam KUHAP yang
menyebutkan hal demikian. Oleh karenanya tidak berlebihan jika kita menyebut
KUHAP ini melegalkan penyidik untuk melakukan tindak penyadapan atas seluruh
jenis tindak pidana.
Pembahasan RUU KUHAP yang
terkesan tertutup dan terburu-buru menghilangkan peran publik dalam pembuatan
UU. Pasalnya sebanyak 1.676 daftar masalah terkait hukum acara pidana
dirampungkan hanya dalam 2 (dua) hari, yakni tanggal 10–11 Juli 2025
(kompas.com, 18/11/2025). KUHAP baru juga dinilai banyak pakar gagal menyentuh
masalah paling krusial—sistem peradilan yang paling rawan disalahgunakan
penguasa, yaitu proses penangkapan dan penahanan.
Seperti kita ketahui bahwa
KUHAP ialah hukum formil yang mengatur tata cara penegakan hukum pidana materil
yang diatur dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana). Artinya, KUHAP
layaknya “buku panduan” bagi APH untuk membuktikan segala tindak pidana yang
dirinci dalam KUHP dan kemudian menegakkan aturan-aturan dan sanksi yang
tertuang dalam KUHP. KUHAP yang menjadi pondasi sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system) negeri ini menjadi sangat krusial
keberadaannya dalam memastikan proses hukum berjalan secara transparan dan
adil.
Hanya saja, KUHAP ataupun
hukum-hukum formil lainnya memiliki kelemahan asasi. KUHAP sejatinya merupakan
hukum buatan manusia yang sudah pasti tidak sempurna dan berpotensi memunculkan
perpecahan serta permusuhan antar anggota masyarakat. Hukum buatan manusia juga
sarat akan kepentingan. Terlebih dengan banyaknya pasal kontroversial yang
cenderung lebih berpihak kepada aparat penegak hukum, berpotensi besar menjadi
alat gebuk penguasa dalam “mematikan” lawan politik ataupun individu yang
dianggap “berbahaya".
Hukum buatan manusia
sebagaimana KUHAP memberi peluang orang-orang yang berkuasa untuk
mempertahankan hegemoninya dengan memasukkan pasal-pasal yang disesuaikan
dengan kebutuhan oligarki. Oleh karenanya bukan hal yang aneh jika hukum-hukum
positif yang ditelurkan oleh otak manusia cenderung menguntungkan pihak-pihak
tertentu, bukan rakyat banyak.
Demikianlah hipokrasi
demokrasi. Seluruh kebijakan yang dilahirkan dalam sistem demokrasi menjadikan
nilai-nilai kebenaran bersifat relatif. Dalam kasus pengesahan KUHAP, terlihat
jelas bagaimana pemerintah berusaha menjadikan aparat penegak hukum sebagai
penentu standar kebenaran. Tidak perduli benar dan salah, tanpa adanya
kepastian tindak pidana aparat penegak hukum diberikan keleluasaan dalam
menindak anggota masyarakat yang dinilai melanggar hukum. Definisi tindak
pidana pun menjadi kabur karena aparat bisa lebih mudah mengakses informasi
masyarakat secara illegal melalui penyadapan serta melakukan penyergapan dan
penahanan tanpa landasan hukum.
Padahal, telah nyata
bagaimana hukum-hukum buatan manusia termasuk yang dilahirkan dalam sistem
demokrasi hanya akan menggiring umat manusia pada kerusakan. Hukum buatan
manusia telah terbukti gagal menyelesaikan persoalan umat manusia kecuali
segelintir saja. Hukum semacam ini juga benar-benar menjauhkan masyarakat dari
fitrah taat untuk menjadikan nilai-nilai illahi sebagai standar hidupnya.
Allah Swt. sendiri telah
melaknat siapa saja yang tidak berhukum pada hukum-hukum Allah. Dia berfirman,
“Barang siapa yang tidak memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan
Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. Barang siapa yang tidak
memutuskan perkara berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu
adalah orang-orang yang zalim... Barang siapa yang tidak memutuskan perkara
berdasarkan apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang
fasik." (Surah Al-Maidah Ayat
44, 45, 47)
Wallahu a’lam bi
ash-shawab.[]

0 Komentar