NR. Nuha
#CatatanRedaksi — Pemerintah kembali mewacanakan pembatasan game online setelah peristiwa di SMAN 72 Jakarta, Kelapa Gading, Jakarta Utara. Dalam laporan Detikcom pada 9 November 2025, Mensesneg Prasetyo Hadi menyebut bahwa game seperti PUBG dapat memengaruhi psikologis remaja karena memberikan sensasi menembak. Wacana ini segera menyedot perhatian publik. Banyak orang merasa seolah-olah game menjadi jembatan yang menghubungkan hiburan digital dengan tindakan kekerasan nyata.
Namun, laporan dari Antara dan Liputan6 justru memperlihatkan gambaran berbeda. Kepolisian masih menelusuri kemungkinan bahwa pelaku adalah remaja yang merasa sendiri, mengalami perundungan, dan tidak memiliki orang dewasa yang benar-benar mau mendengarnya. Ia memendam banyak beban batin yang tak pernah tersampaikan. Dalam konteks seperti ini, menyalahkan game tidak hanya terburu-buru—populis reaktif—tetapi juga membuat kita jauh dari akar persoalan.
Reaksi cepat seperti pembatasan game memang terasa meyakinkan. Ia memberi kesan pemerintah sigap. Tetapi apakah ini solusi yang benar? Game hanyalah layar yang tampak; yang tidak tampak adalah kekosongan yang dialami banyak generasi muda hari ini. Mereka tumbuh dalam arus sekularisme yang memisahkan hidup dari nilai agama. Tanpa pegangan moral, tanpa tujuan hidup, dan tanpa keterhubungan dengan sesuatu yang lebih tinggi dari dirinya, remaja mudah kehilangan arah. Mereka menguasai teknologi, tetapi tidak mengenal alasan mengapa mereka hidup.
Dalam tradisi keislaman yang menjadi napas sebagian besar masyarakat Indonesia, seorang anak dibentuk bukan hanya oleh pendidikan formal, tetapi juga oleh keteladanan akhlak di rumah, masjid, dan lingkungan. Ketika ruang-ruang pembentukan karakter ini makin mengecil, remaja tumbuh tanpa pondasi nilai Islam yang kuat. Mereka mengenal kecanggihan, tetapi tidak mengenal kebijaksanaan. Mereka terhubung dengan dunia, tetapi terputus dari makna.
Padahal, Islam sejak lama menegaskan bahwa manusia diciptakan dengan tujuan mulia: menjadi khalifah di bumi, membawa kebaikan, dan memakmurkan kehidupan. Ketika tujuan ini tidak dikenalkan sejak dini, generasi akan tumbuh dengan kehampaan eksistensial. Mereka mencari arah pada layar dan algoritma, bukan pada nilai yang meneguhkan. Di titik inilah kekacauan batin mudah berubah menjadi tindakan yang salah arah.
Krisis ini memang tidak bisa diselesaikan hanya dengan menutup aplikasi. Banyak pemuda negeri ini tidak memiliki kompas batin. Mereka tidak memiliki standar untuk menilai benar dan salah, baik dan buruk. Mereka tidak memahami tujuan dari potensi yang mereka miliki, apalagi bagaimana memberdayakannya untuk kebaikan dan peradaban. Sistem hidup modern memberi kebebasan, tetapi tidak memberi arah. Akibatnya, tekanan kecil dapat menjadi badai dalam jiwa yang rapuh.
Karena itu, kasus SMAN 72 Jakarta seharusnya menjadi panggilan untuk memperbaiki cara kita membentuk generasi. Negara dan masyarakat tidak boleh berhenti sekadar pada solusi teknis seperti pembatasan game. Kita membutuhkan langkah yang lebih dalam: menghadirkan pendampingan mental di sekolah, ruang aman untuk bercerita, guru yang dilatih memahami kesehatan mental, serta keluarga yang hadir bukan hanya secara fisik tetapi juga secara batin. Dan yang paling utama, negara perlu memiliki pandangan dan kebijakan komprehensif yang membentuk generasi kuat, berakhlak, dan cemerlang bagi peradaban.
Kita sangat membutuhkan orientasi nilai hakiki—pandangan hidup yang memberi arah, makna, dan tujuan. Tanpa itu, kebijakan apa pun hanya akan menyentuh kulit luar bahkan terkesan populis tanpa makna. Pembatasan game mungkin menenangkan sebagian orang, tetapi tidak menyentuh akar persoalan: generasi yang kehilangan makna hidup. Yang dibutuhkan bukan sekadar larangan, tetapi bimbingan. Bukan sekadar aturan, tetapi nilai hidup yang sahih. Bukan sekadar batasan, tetapi tujuan hidup yang ditanamkan sejak dini dan diarahkan agar potensinya berdaya.
Kasus kekerasan yang membayangi generasi saat ini bukan peringatan tentang bahaya game, tetapi peringatan tentang bahaya kehampaan. Jika kehampaan itu tidak diisi dengan nilai hidup yang benar, bermakna, dan spiritualitas yang menuntun, tragedi serupa akan terus mengintai. Reaksi cepat mungkin terlihat seperti tindakan, tetapi sering kali hanya membuat kita bergerak di permukaan, sementara jiwa generasi muda menunggu diselamatkan dengan cara yang lebih mendalam. Wallahualam.[]

0 Komentar